31). True Affection
"Kita ke mana?" tanya Cindy dari balik punggung Vino karena dia menariknya dengan kedua tangan mereka yang saling terkait.
"Lo pengennya ke mana? Atau... ada sesuatu yang pengen lo cicipi, nggak?" tanya Vino balik, lantas menghentikan langkah dan memutar tubuhnya untuk menghadap Cindy.
Keduanya sekarang berada di halaman rumah Vino sementara langit baru saja gelap, tanda hari sudah berganti malam.
"Gue belum laper. Lo lagi butuh hiburan, kan? Lo yang ngatur aja, gue ngikut."
"Oke," jawab Vino, tersenyum senang hingga menunjukkan eye-smile pada Cindy. "Gue tau tempat yang bagus buat habisin waktu tanpa rasa bosan. Yuk."
"Tapi...."
"Tapi kenapa, Cin?" tanya Vino, tanpa sedikit pun mengurangi kadar senyumnya.
"Gue rasa ini nggak benar," kata Cindy, menatap Vino dengan ekspresi canggung, lantas menatap tangannya sendiri yang masih terbungkus erat oleh tangan Vino. "Maaf."
"Hmm... maksud kamu?" tanya Vino yang baru paham setelah mengikuti arah mata Cindy. "Oh, gue paham."
Vino melepas tautan di antara mereka, senyumannya secara perlahan berganti mode yang awalnya sumringah menjadi canggung.
"Maaf ya," ucap Cindy sekali lagi. "Awalnya gue nggak paham tentang kata-kata lo tadi, yang katanya nggak akan menyia-nyiakan gue. Sekarang setelah gue ngerti, gue nggak mau berpura-pura. Kalo Felix tau, dia pasti bakal kecewa sama gue."
"Hmm, tapi Cin--"
Cindy mendongakkan kepala dan matanya segera bertemu dengan mata Vino, menatapnya intens yang menunjukkan penegasan yang kentara. "Gue hanya punya Felix dan dia juga cuma punya gue, karena dia nggak punya siapa-siapa di sisinya. Itulah sebabnya, gue udah ambil keputusan kalo gue akan kembali ke apartemen sama Felix. Dipikir-pikir, itu juga solusi terbaik buat kalian, kan?"
Ekspresi Vino seketika seperti sedang tertampar oleh kata-kata Cindy, sebelum akhirnya menunjukkan senyum lebar seakan perkataan tadi tidak memberikan efek apa pun. "Woya jelas, lo berusaha ikut psikoterapi sama menyembuhkan diri lo, itu demi Felix, kan? Nah... bisa dibilang lo mengalami peningkatan karena sejauh pengamatan gue, lo udah jarang mimpi buruk lagi. Kalopun iya, lo udah bisa berjuang sendiri tanpa harus mengalami yang namanya depresi dadakan. Gue salut sama perkembangan lo."
"Makasih, Vin."
"Kalo kita lanjut jalan... nggak apa-apa, kan? Berhubung kita nggak mungkin bisa masuk karena duo tersayang lagi butuh privasi. Anggap aja sebagai formalitas buat nemenin gue. Oke?"
"Iya, boleh kok. Yuk."
*****
Sepeninggal Vino dan Cindy, Felina dan mamanya masih bergeming, seakan terlalu menghayati peran di dunia mereka masing-masing. Bisa dibilang, cewek itu cukup syok dengan apa yang didengarnya barusan dan mau tidak mau dia segera dihinggapi oleh perasaan bersalah karena ada beberapa hal yang disalahpahaminya.
Salah satunya adalah fakta bahwa Felix sama sekali tidak mempunyai ikatan darah dengannya. Jika kebenarannya memang benar adanya, maka bukankah papanya tidak pernah selingkuh?
Felina mendongakkan kepala untuk menatap Nirina, yang matanya terpancang pada satu titik ke salah satu cangkir berisi teh hijau yang telah lama dingin, jelas masih tenggelam dalam dunianya sendiri.
"Ma," panggil Felina, cukup keras dan tegas karena dia tahu suara pelan tidak akan berpengaruh pada mereka yang menatap kosong.
Benar saja, Nirina segera kembali ke dunia nyata, sedikit terhenyak tetapi wanita itu segera memusatkan perhatian pada anak semata wayangnya. "Ya?"
"Mama masih kesel sama aku?"
"Nggak juga."
"Berarti masih," kata Felina menyimpulkan, sementara Nirina berdeham ringan dan mengambil teh hijau untuk menyesapnya secara perlahan. Cairan pahit tersebut mulai membasahi tenggorokan Nirina, yang entah kenapa terasa menenangkan di saat yang sama.
"Kamu... apa alasan kamu nyari Felix?" tanya Nirina sembari meletakkan cangkir teh hijau ke atas meja kaca, memperhatikan Felina dengan intens meski sudah tidak segalak tadi.
Sepertinya teh hijau memberikan efek yang besar, Felina percaya itu, karena dia juga mengambil cangkir yang lain dan menyesapnya juga.
"Kalo aku jawab, Mama mungkin bakal lempar aku pake cangkir itu," jawab Felina setelah mengikuti jejak Nirina meletakkan cangkirnya. Tatapannya jenaka, sepertinya dia berusaha mencairkan suasana yang terlalu kaku untuk pertama kali.
Meski Felina sering cekcok tidak jelas dengan mamanya karena beberapa hal sepele, keduanya tidak pernah terjebak dalam situasi secanggung ini.
"Kita terbuka saja, Sayang. Karena kamu juga udah tau semua kebenarannya," kata Nirina kalem secara tidak terduga, mengingat dia sempat meledak-ledak ke Vino lima belas menit yang lalu. "Meski bagi Mama, kamu itu masih bayi, tetap aja Mama pikir kamu harus tau semuanya. Lagian dari segi umur, kamu juga udah dewasa. Jadi, keterbukaan seperti ini harus kita lakukan demi tercapainya hubungan ibu-anak yang harmonis."
"Sedikit lebay sebenarnya, tapi aku setuju," jawab Felina sembari mengangkat kedua bahunya dengan cuek. "Oke, aku terus terang. Itu karena aku sayang sama Felix."
Kepala Nirina kembali ke anak perempuannya dengan tatapan penuh tanya. "Kamu nggak benci dia, tapi malah sayang sama dia? But... why?"
Felina mengangkat kedua bahunya lagi. "Nggak tau, Ma. Aku cuma merasa Felix itu nggak salah. Dia nggak pernah minta dilahirkan atau hidup di dunia. Perkara yang terjadi selama ini berasal dari--hmm... Papa sama Mama, kan?"
"Papamu yang nyari masalah, bukan Mama!" bantah Nirina, bersungut-sungut.
"Iya, aku ralat. Perkaranya dari Papa."
Keduanya lantas menikmati teh hijau mereka dalam diam. Ruangan semakin gelap sementara di luar malam telah semakin larut. Nirina lantas beranjak dari duduknya untuk menghidupkan lampu di ruang tamu.
"Kamu laper?" tanya Nirina dalam perjalanannya kembali ke sofa, menatap Felina sembari berjalan. "Mau mama masakin?"
"Mama punya waktu?" tanya Felina balik. "Bukannya jadwal syuting lagi padat-padatnya?"
"Hmm... iya sih. Mama harus balik setengah jam lagi, tapi masih ada waktu sih kalo makan mi instan. Mau Mama masakin?"
"Cuma masak mi doang. Aku lebih dari bisa, Ma. Mama kembali ke lokasi syuting aja. Aku bisa sendiri, kok."
Nirina menghela napas panjang dan menatap Felina dengan tatapan merasa bersalah. "Kamu pasti kesepian selama ini. Cuma punya satu orang tua yang statusnya terbagi antara ibu rumah tangga dengan pencari nafkah. Mama bersyukur kamu nggak terbawa arus oleh dunia gelap."
"Punya satu ibu bukan berarti artinya aku anak broken home, Ma. Aku punya Mama sama Vino yang sayang sama aku. Aku nggak kekurangan kasih sayang kok, tenang aja, Ma."
"Hmm... oke. Baguslah, Mama senang dengernya."
"Mama nggak mau nanya pendapat aku?"
"Tanya apa, Sayang?" tanya Nirina tidak mengerti, tetapi secara perlahan dia mulai paham ke mana arah pembicaraan Felina, terbukti dari tatapannya yang menatap canggung sekarang.
"Soal rujuk. Apa Mama benar-benar udah yakin nggak bakal rujuk sama Papa?"
"Kamu mau Mama rujuk sama Papa?" tanya Nirina balik, terdengar seperti menuduh.
"Yang berumah tangga kan Mama, bukan aku."
"Felina!"
"Iya deh, iya. Aku serius. Coba Mama tanya aku lagi. Tanyain, apakah aku mau Mama sama Papa rujuk lagi apa nggak."
"Oke. Kamu mau Mama rujuk sama Papa atau nggak?"
"Kembali ke Mama. Aku ngikut."
"Felina, kamu lagi bercanda?" tanya Nirina dengan tatapan super jengah.
"Ini jawaban aku paling serius, Ma. Bukan berarti aku maafin Papa dan bukan berarti juga aku nggak setuju kalo Papa sama Mama rujuk. Aku udah habisin waktu delapan tahun sama Mama, dan itu bukan waktu singkat. Terlepas dari adanya kehadiran Papa di tengah-tengah kita atau nggak, aku sama Mama tetap bersama, kan?"
Nirina yang sempat menatap anak perempuannya dengan tatapan datar lantas berubah menjadi tatapan penuh haru. "Felina, anak Mama...."
"Iya, aku anak Mama. Jadi, apa pun keputusan Mama, aku hargain. Oke?"
Nirina refleks beranjak dari sofa dan menghampiri Felina untuk memeluknya. "Makasih, Sayang. Mulai hari ini dan seterusnya, kita pikirkan kebahagiaan kita, ya?"
"Iya, Ma. Oh ya, karena aku udah telanjur kuliah di Bandung, Mama bakal netap di sini, nggak? Rumah Vino nggak kecil-kecil amat, dia pasti setuju kalo Mama tinggal di sini untuk sementara. Lagian Mama juga ada urusan syuting di sini, kan?"
"Hmm... akan Mama pikirkan. Yang penting kamu baik-baik sama Vino di sini, ya?"
"Oh ya, Ma. Satu lagi."
"Ya, Sayang?" tanya Nirina sembari melepaskan pelukannya dan memandang Felina sepanjang lengan.
"Aku tetap boleh berhubungan baik sama Felix, kan?"
Tangan Nirina yang sempat mengelus pundak Felina, terhenti mendadak. Wanita itu balas menatap anak perempuannya dengan tatapan serius hingga akhirnya menghela napas berat.
"Maafin Mama, Fel. Mama nggak tau kamu sesayang itu sama Felix."
"Loh, kenapa? Kenapa ekspresi Mama kayak gitu?"
"Mama sempat ngomong sesuatu yang bikin Felix sakit hati. Sebenarnya kejadiannya tepat setelah Mama nggak lama ketemu Papa, makanya emosi Mama masih belum mereda. Kalo kamu ketemu Felix, sampaikan permintaan maaf Mama, ya. Atau kalo Mama ketemu dia lagi, Mama juga akan minta maaf sama dia."
"Aku juga udah beberapa hari nggak ketemu Felix karena sempat ngomong hal yang bikin dia sakit hati," curhat Felina dan dia juga menghela napas berat, mengikuti jejak mamanya.
"Kayaknya besok aku harus nyari dia deh, Ma. Kasian dia, merasa seperti anak terbuang padahal dia masih punya aku."
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top