30). Something Deep in Heart

Felina sedang melangkah menyusuri jalanan sempit menuju kompleks perumahan ketika ekor matanya menangkap sosok wanita yang berdiri persis di dekat rumah Vino.

Sejauh mata Felina memandang, dia sama sekali tidak mengenalnya, apalagi penampilan wanita itu terlalu glamor hingga cewek itu mengira kalau ada selebriti nyasar. Persepsi itu bukannya tanpa alasan karena ada sebuah mobil keluaran terbaru yang nangkring cantik di dekatnya, membuat siapa saja menoleh ke arahnya dengan tatapan kagum.

Benar saja, semua orang yang berlalu-lalang terang-terangan melirik dengan tatapan ingin tahu. Felina merasa yang mendominasi adalah mobilnya. Jika saja mobil yang pintunya dibuka geser ke atas itu tidak berada di sana, penampilan wanita tersebut tidak akan sekentara itu.

"Felina...."

Felina sukses terkejut ketika wanita itu memanggilnya. Apa dia tidak salah mendengar? Selebriti nyasar yang ditemani mobil mahal seperti itu bisa mengetahui namanya?

Felina segera mengedarkan pandangan ke sekeliling hingga ke bagian atas kepala untuk mengecek apakah asumsinya benar; sekadar memastikan apakah ada alat tertentu sebagai kepentingan untuk mendokumentasikan sesuatu.

"I-ini... nggak lagi syuting variety show, kan?" tanya Felina pelan, lantas berpikir untuk bertanya langsung. Jika variety show itu memang tidak ada, bukankah ada alasan lain mengapa dia bisa mengenalnya?

"Kakak ngenal saya?" tanya Felina saat langkahnya sampai di hadapan wanita itu. Dari dekat, kecantikannya begitu paripurna. Selain fakta mempunyai kulit yang sangat mulus, polesan make up di wajahnya tampak begitu alamiah karena melekat sempurna.

Wanita itu melepas kacamata hitam dan mengayunkannya ke atas kepala. Tepatnya, kacamata tersebut beralih fungsi menjadi bando di atas rambutnya yang begitu halus, mengekspos jelas sepasang netra yang tampak unik hingga Felina menyadari kalau dia mengaplikasikan soflens dengan warna yang menarik.

Ekspresi wajahnya lembut dan ketika dia berbicara, Felina mendapat kesan kalau wanita itu adalah orang yang baik. "Kamu mungkin bingung karena kamu nggak kenal sama Tante. Tapi meskipun begitu, tolong percaya sama Tante. Herfian, papa kamu, adalah orang yang baik. Dia udah nyelamatin hidup Tante. Jadi, biarkan Tante menjelaskan karena ini sepenuhnya kesalahan Tante, bukan kesalahan Herfian."

"Saya--"

Wanita tersebut membuka tas bermereknya dan mengeluarkan sebuah kartu nama, yang segera diterima oleh Felina meski ekspresinya masih bingung.

"Felina, Tante harap kamu mau percaya. Beri Tante waktu untuk menceritakan semuanya dari awal, tepatnya apa yang terjadi delapan tahun yang lalu. Tante mohon sama kamu. Hubungi Tante secepatnya ya, Tante tunggu."

Felina menundukkan kepala untuk membaca kartu nama yang diserahkan padanya. Nama yang tertera di sana adalah Yenni beserta nomor yang bisa dihubungi.

Saking fokusnya pada kartu nama tersebut, Felina tidak sadar kalau wanita yang bernama Yenni telah meninggalkan area perumahan bersama mobil mewahnya. Cewek itu berpikir untuk mengabaikannya apalagi ini semua terkait erat dengan papa yang dibencinya, tetapi mengingat bagaimana Vino curhat tentang mamanya yang sudah mengetahui semuanya, mau tidak mau dia merasa ragu.

Apakah dia harus percaya pada wanita berpenampilan glamor yang bernama Yenni itu? Dilihat dari ekspresi wajahnya--seperti yang Felina simpulkan pada kesan pertama, kelihatannya dia memang bukan orang yang jahat.

Masih bingung dengan apa yang harus dilakukan Felina selanjutnya, tepat pada saat itu ada sebuah taksi yang berhenti di mobil mewah Yenni sempat terparkir tadi dan seseorang keluar dari pintu bagian belakang.

"Felina, kamu kenapa berdiri di sini? Nggak masuk?" tanya Nirina, menatap anak perempuannya dengan tatapan penuh tanya.

"Ma...." Felina merespons, lantas menyembunyikan kartu nama di saku celananya sementara Nirina tersenyum, walau agak kaku. Mamanya jelas masih kesal padanya.

"Kalo dilihat dari ekspresi kamu, kayaknya Vino udah lapor ke kamu, kan? Biar Mama ulangi sekali lagi; Mama udah tau tentang Felix dan kamu nutupin semuanya dari Mama, termasuk bersekongkol sama Vino."

"I-iya, Ma. Aku tau aku salah, aku sebenarnya--"

"Kita ngomong di dalem. Mama juga mau interogasi Vino, secara langsung dan eksklusif."

Felina sempat melayangkan tatapan jengah, tetapi segera mengembalikan ekspresinya menjadi innocent ketika Nirina memelototinya. Jika diartikan, seharusnya tatapan mata mamanya berarti; nggak-usah-banyak-protes-kamu-utang-penjelasan-sama-Mama.

Keduanya masuk ke dalam rumah Vino, sementara sang pemilik jelas tidak bisa berkelit lagi. Namun dalam usahanya menenangkan Nirina, sepertinya cowok itu memanfaatkan Cindy sebagai pengalihan.

Setelah mengetahui kalau Nirina senang akan fakta Vino mempunyai pacar, seharusnya Cindy bisa membantu.

"Selamat sore, Kak Nirina." Cindy menyapa ramah, mengabaikan tatapan penuh tanya oleh Felina pada Vino, yang dibalas anggukan pelan oleh pamannya beberapa kali.

Jika diartikan, Felina menanyakan apa maksud semua ini dan segera direspons oleh Vino kalau dia akan menjelaskan semuanya nanti.

"Sore. Hm... kamu...."

"Saya Cindy Naraya," kata Cindy sembari mengulurkan tangannya ke Nirina dengan sopan, tetapi gagal paham ketika Vino menyikutnya pelan. "Apa?"

Vino tertawa terlalu keras hingga Nirina memicingkan matanya curiga. "Kamu nggak usah malu-malu gini. Bilang aja ke kakak aku, nggak apa-apa."

"Hmm, terus terang apa?" tanya Cindy polos hingga mencondongkan tubuhnya ke arah Vino. "Gue mesti bilang apa ke kakak lo?"

Vino berdeham keras seakan tenggorokannya tersumbat sesuatu yang begitu mengganggu. "EHEM! EHEM! Dia pacar aku, Kak."

Kalimat terakhir Vino diucapkan dengan sangat pelan, hampir menyerupai bisikan, sementara Nirina menaikkan alisnya dengan tatapan penuh minat.

Cindy membelalakkan mata, tetapi Vino memiringkan kepala dan memberi isyarat dari matanya dengan tatapan memelas. Jika diartikan, seharusnya tatapan Vino berarti; tolong-gue-plis.

Cindy lagi-lagi membelalakkan matanya, hendak protes, tetapi dia tahu kalau dia tidak bisa melakukannya. Oleh sebab itu, setelah melayangkan tatapan death glare-nya ke Vino, cewek itu mengalihkan atensinya pada Nirina yang sempat terputus tadi. "Eh, iya. Aku pacarnya Vino, Kak."

"I smell something weird here," respons Nirina, tetapi tatapannya sarat akan tatapan jenaka ketika memandang Vino. "But, it's okay. Kakak bukan tipe keluarga yang lakuin background check dulu sebelum memberi restu."

"Kakak syuting di Bandung, ya?" tanya Cindy ramah. "Aku punya kenalan bos yang punya stasiun televisi. Terakhir aku denger, dia lagi nyari calon selebriti muda yang--"

Sikap Nirina selanjutnya benar-benar tidak sinkron dengan apa yang diucapkannya barusan karena wanita itu menggenggam kedua tangan Cindy dan berkata, "Vino serius sama kamu, deh. Buktinya dia mau ngenalin kamu ke aku sebagai kakaknya. Moga hubungan kalian awet, ya. Kakak restuin kalian. Eh, jadi, kapan-kapan boleh dong kenalkan aku sama bos stasiun itu."

Bisa dipastikan bagaimana reaksi duo Felina dan Vino di belakang Cindy; sama-sama menatap Nirina jengah hingga memutar bola mata mereka secara serempak.

"Oke, sekarang waktunya untuk interogasi kalian berdua," kata Nirina dengan aura berbahaya pada adik dan anak perempuannya, tetapi ekspresinya berubah lembut ketika mengalihkan atensinya sejenak ke Cindy. "Kalo kamu nggak keberatan, tolong buatkan teh hijau buat kami bertiga, boleh kan? Bubuknya banyakin nggak apa-apa, kebetulan mood aku lagi pahit banget jadi mau minum yang pahit-pahit."

Duo Felina dan Vino sukses dibuat kicep hingga melipat bibir mereka bersamaan setelah mendengar kalimat terakhir Nirina yang sengaja ditekan.

"Nah, sekarang ceritakan semuanya tanpa ada satu pun yang terlewat," perintah Nirina, duduk di sofa sementara Cindy bergerak menuju dapur. "Duduk, kalian."

"Aku yang salah, Ma. Vino hanya ikutin kemauan aku," kata Felina setelah mendengus ringan.

"Nggak, aku juga terlibat," timpal Vino dengan ekspresi serius. "Aku sempat menghubungi Kak Herfian beberapa kali."

"APA?" pekik Nirina sementara Felina memejamkan mata dan meringis, lalu melemparkan tatapan penuh celaan pada pamannya.

"Apa itu harus diceritain, Vin?"

"Oh, jadi kamu udah tau dan nggak mau kasih tau Mama?" tanya Nirina emosi hingga menekan kedua telapak tangan di atas meja kaca untuk menatap intens duo paman-keponakan. "Kekompakan kalian benar-benar harus diacungi jempol."

"Kak, aku udah jujur jadi Kakak harus jujur sama diri sendiri. Apa Kakak benar-benar nggak mau rujuk sama Kak Herfian?"

"Kamu bela dia?" hardik Nirina, semakin emosi. "Setelah semua yang dia lakuin--"

"Dari mana Kakak tau tentang semua ini?" tanya Vino yang pembawaannya kalem secara tidak terduga. "Dari Kak Herfian, kan? Apa dia udah ceritain semuanya ke Kakak? Apa alasannya yang sebenarnya?"

"Kamu udah tau?" tanya Nirina balik, alih-alih menjawab pertanyaan tersebut. "Dan kamu percaya itu?"

"Aku nggak tau," jawab Vino jujur sembari menghela napas panjang dan berat, sementara Felina hanya bisa memandang perseteruan paman dan mamanya dalam diam. "Tapi aku... entah kenapa aku masih punya rasa kepercayaan ke Kak Herfian. Aku yakin dia punya alasan untuk itu."

"Dia memang punya alasan," kata Nirina dengan nada pelan hingga menyerupai bisikan. Meski pelan, kata-kata tersebut jelas bernada dingin dan menusuk. "Alasan yang tepat hingga dia mengorbankan aku dan Felina. Apa kamu mau tau alasannya?"

Nirina tertawa hampa, kentara sekali kalau wanita itu memaksakan tawanya. "Alasannya sederhana; dia melindungi Felix. Saat itu kesalahannya adalah, dia bodoh karena langsung pergi dari rumah aku tanpa menjelaskan. Selanjutnya, dia harus menyembunyikan keberadaan Felix dari keluarga besar sebagai usahanya untuk melindungi Felix, tetapi dengan konsekuensi mengorbankan aku. Itulah sebabnya mengapa dia tidak pernah kembali untuk menjelaskan semuanya. Dia takut jika anak itu ketahuan sebagai anak kandung Yenni, dia mungkin akan dinikahkan lagi oleh papanya sendiri demi mencegah rumor buruk yang mungkin akan muncul. Benar-benar mencerminkan keluarga konglomerat banget, kan?"

"Does it make sense?" tanya Vino dengan tatapan tidak percaya. "Kenapa Kak Herfian nggak ngaku aja sih yang sebenarnya kalo Felix bukan anak dia?"

"Felix bukan anak dia?" Felina membeo dengan tatapan tidak percaya juga, menghalangi Nirina membuka mulutnya. "Jadi, Felix bukan saudara tiri aku?"

Alih-alih menjawab, Vino memandang kakaknya dengan intens dan menuntut. "Tebakan aku bener kan, Kak? Felix nggak mungkin anak Kak Herfian, dia nggak mungkin selingkuh, kan?"

Nirina mengangguk, tetapi emosinya tidak mereda. Wanita itu membuang pandangan ke luar jendela seakan berharap suasana hatinya akan membaik.

"Kak, trus apa masalahnya?" tanya Vino, sementara Felina masih syok di tempat duduknya.

"Kamu nggak ngerti, Vin!" hardik Nirina, nada bicaranya naik satu oktaf tetapi itu tidak membuat Vino kaget meski Felina-lah yang terlonjak dari duduknya. "Delapan tahun bukan waktu yang singkat! Kamu seharusnya tau itu!"

"Justru itu, Kak! Untuk apa pengorbanan selama delapan tahun itu kalo Kakak sama Kak Herfian sama-sama menyakiti diri sendiri? Bukankah lebih baik kita fokus ke masa depan bukannya terus terkurung dengan masa lalu? Toh kita udah tau kebenarannya. Kak Herfian juga nggak mengharapkan kejadian kayak gini!"

"Lantas setelah tau kalau Herfian nggak salah, jadi aku mau-mau aja kembali sama dia? Itu maksud kamu?" tanya Nirina, secara tidak sadar beranjak dari duduknya dan memandang Vino dengan tatapan penuh kecewa dan luka, mengabaikan Cindy yang meletakkan nampan berisi tiga cangkir teh hijau dan cukup tahu diri untuk meninggalkan lokasi itu secara diam-diam. "Felina berumur 9 tahun saat itu, Vin. Dia harus kehilangan sosok ayah di umur segitu. Sementara aku, status aku segera berubah menjadi single parent dalam sekejap. Ketika kami sedih, terluka, sakit, kesal, membutuhkan sosok kepala keluarga sekaligus papa, ke mana dia? Ketika guru Felina menyuruhnya untuk membawa orang tua ke sekolah, ke mana dia? Aku harus melakukan dua tugas orang tua sekaligus; sebagai ibu dan sebagai kepala keluarga. Menurut kamu, apa itu sesederhana seperti yang kamu pikirkan? Aku kecewa sama kamu, Vino!"

"Okay, fine. Then let me ask you important question; do you still love him?"

Nirina tertawa. Kali ini tawanya alamiah dan wanita itu benar-benar terhibur. "Me? Which answer do you like then; yes or no? And why?"

"Answer me from the bottom of your heart, Sister, because I know you so well. I'm your closest brother if you don't forget."

"Absolutely, big no. Kalo aku masih mencintainya, aku nggak mungkin sebenci ini, Vino."

Vino tersenyum lebar. "Justru itu. Kakak masih mencintai Kak Herfian dan aku berani bertaruh demi hidup aku. Mau tau alasannya, Kak? Karena semakin kita terluka, semakin kita mencintai orang itu karena kita terlalu melibatkan banyak perasaan di dalamnya. Kak Nirina masih secinta itu sama Kak Herfian."

Kata-kata terakhir Vino ditekan sedemikian rupa seakan ingin menyadarkan kakaknya. Benar saja, selama beberapa saat, Nirina tampak jengah sendiri dengan pernyataan adiknya hingga sukses dibuat bungkam.

Vino mengulurkan kedua tangan, mengelus bahu kakaknya dengan sayang. "Kak, aku pernah denger ungkapan ini; sayangilah orang di sekitarmu, mumpung dia masih hidup di dunia. Aku cuma nggak mau Kakak nyesel aja."

"Fel, gue juga harap lo bisa melepas kebencian lo dan menerima papa lo kembali," nasihat Vino, mengalihkan atensinya ke Felina yang menjadi lebih diam sejak tadi.

Lantas setelah mengucapkan semua itu, Vino meninggalkan ruang tamu dan mendekati Cindy yang rupanya mendengarkan dalam diam di ujung ruangan.

"Kita jalan-jalan, yuk."

"Kakak lo gimana?" tanya Cindy, yang sempat menatap cemas ke arah Nirina yang duduk kembali di sofa dengan tatapan kosong.

"Mereka perlu waktu untuk berbicara berdua. Dan bukankah gue perlu dihibur? Gini-gini gue juga punya masalah keluarga dan perlu dikasihani," jawab Vino sembari mengulurkan sebelah tangannya ke arah Cindy. Tatapannya jelas memelas, berharap diperhatikan oleh cewek itu.

Cindy tersenyum. "Siapa sih tadi yang kasih nasihat bijak ke kakaknya sendiri? Lo kayak punya dua kepribadian aja."

"Gue inget seseorang waktu jelasin itu semua, saat gue bilang 'Sayangi dia mumpung dia masih ada di dunia'. Yang gue maksud itu, lo orangnya. Lo adalah seseorang itu."

"Hah?" tanya Cindy tidak paham.

"Gue tau alasan gangguan mental lo. Felix yang cerita ke gue. Dari lo gue belajar, kita seharusnya menyayangi orang yang kita kasihi selagi mereka masih hidup di dunia. Dalam hal ini, lo termasuk. Jadi gue nggak mau menyia-nyiakan lo."

Mulut Cindy terbuka, tetapi tidak ada suara yang keluar saking kagetnya dengan pernyataan Vino. Tidak tanggung-tanggung, cowok itu sekarang melengkapi rasa kaget Cindy dengan berinisiatif mengaitkan tangannya ke tangan milik Cindy, menariknya untuk mengikutinya.

"Temani gue jalan, ya? Gue perlu dihibur. Gue serius."

Dengan segera, genggaman tangan Vino berubah menjadi lebih intens dengan mengaitkan jemarinya di antara jemari milik Cindy, mengisi ruang kosong di antaranya hingga keduanya saling memberi dan menerima kehangatan masing-masing.

Tanpa mau menunggu lama, Vino segera membawa Cindy keluar rumah, membiarkan kakak dan keponakan berbicara satu sama lain, berharap mereka segera berprinsip seperti dirinya, yang tidak akan menyia-nyiakan seseorang yang berharga di sisinya.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top