29). Distraction

Felix termenung. Walau matanya mengarah ke taman air mancur yang dibangun di alun-alun halaman luas High Mall, mata itu kosong. Pikirannya penuh.

Hari sudah sore, mengingat langit mulai memancarkan jingga keemasan yang begitu indah dipandang sementara banyak orang berlalu-lalang di sekitar halaman mal. Mayoritas berhenti untuk sekadar menikmati air mancurnya atau melempar koin ke dalam ceruk yang tersedia sebagai pelampiasan kesenangan, meski ada juga yang benar-benar menyuarakan permohonan di dalam hati dengan mata terpejam.

Felix sempat tergoda untuk melakukannya juga, tetapi segera tertampar kenyataan bahwa terlepas dari keinginannya meminta permohonan lewat air mancur, dia tidak akan pernah mendapatkannya.

Karena kehadirannya tidak pernah diakui.

Felix lantas menyeringai sebagai usahanya untuk menertawakan diri sendiri meski nyatanya, dengusannya terdengar menyedihkan seakan dia sedang mengasihani diri sendiri. Tatapannya lantas beralih ke anak kecil yang sedang dipeluk erat oleh ayah dan segera berpindah pelukan ke ibunya dengan riang.

Tenggorokan Felix tersekat lagi, yang kali ini dibarengi oleh rasa sakit pada ulu hati, membuatnya bersusah payah menelan salivanya sendiri. Cowok itu berusaha membuang pandangannya, tetapi yang terjadi malahan dia seperti tersihir untuk terus melihat keakraban mereka. Keakraban yang belum pernah dialami dan dirasakan selama hidupnya.

Mungkin, tidak akan pernah....

Felix tidak sadar kalau ada seseorang duduk di sebelahnya sampai suara itu berkata, "Menurut lo jumlah koinnya berapa, ya? Apa mungkin bisa buat bayar uang SPP sebulan?"

Felix tidak menjawab. Menoleh pun tidak, tetapi setidaknya dia tahu kalau Meilvie berusaha menghiburnya dan dia bersyukur dalam hati karena kesedihannya tidak dijadikan sebagai bahan lelucon.

"Hei, lo denger gue nggak? Kalo lo pengen sendirian, nggak apa-apa. Bilang aja."

Felix masih diam sementara Meilvie menghela napas.

"Gue pulang dulu, ya?" pamit Meilvie, yang baru disadari oleh Felix kalau nada bicaranya sudah melembut, berbeda dari biasanya yang selalu galak dan membuat telinga meradang. Cewek itu beranjak tetapi Felix menarik tangannya sehingga dia kembali duduk, dengan hempasan yang cukup kuat.

Meilvie membuka mulut, tetapi Felix berkata, "Tunggu sebentar lagi."

"Tunggu apa?"

Felix diam lagi hingga akhirnya Meilvie memutuskan untuk ikut diam, setidaknya dia berpikir mungkin cowok itu lebih suka ditemani dalam diam. Keduanya menghabiskan beberapa menit memandangi air mancur. Tiga anggota keluarga tadi sudah masuk ke dalam mal.

"Gue anak yang diharapkan nggak pernah ada," kata Felix tiba-tiba. Nadanya begitu sedih hingga Meilvie merasa akan lebih baik jika cowok itu diam saja. "Yang lo liat tadi itu, mama dan papa gue."

Oke, fix. Rupanya Felix tahu kalau Meilvie membuntutinya tanpa ada satu pun terlewatkan.

"Dari dulu gue selalu merasa terbuang, tapi gue nggak pernah peduli dengan hal itu." Felix berujar lagi. "Tapi hari ini beda. Ketika gue liat mama gue dengan mata gue sendiri, gue merasa nggak pantas hidup di dunia ini. Kenapa dia nggak buang gue aja waktu masih bayi? Kenapa gue harus liat mama gue sendiri setelah gue kelas 1 SMA? Dan kenapa... dia harus muncul setelah gue berpikir dia udah meninggal?"

"Felix--"

"Kenapa dia nggak pernah nyari gue kalo dia ternyata masih hidup?" potong Felix, air matanya menetes kembali, tetapi dia tidak sesenggukan seperti anak kecil yang menangis histeris. Meilvie baru sadar, untuk pertama kalinya dia bertemu dengan orang yang menangis se-'kalem' itu.

Bukan berarti Meilvie berharap Felix menangis hingga meraung-raung--tidak, sama sekali tidak. Hanya saja... melihat cobaan yang harus dihadapi Felix apalagi di usianya yang masih berumur 15 tahun, Meilvie hanya membayangkan jika dia berada di posisi cowok itu. Jangankan menangis hingga mata bengkak, dia mungkin akan mengalami yang namanya stres tingkat tinggi atau bahkan yang terburuk, mengalami gangguan mental.

Oleh karenanya, Meilvie benar-benar merasa ingin menghibur Felix dengan layak, dalam artian menghibur yang sesungguhnya sejauh yang dia ketahui.

Meilvie memiringkan tubuh dan mengulurkan kedua lengan untuk memeluk Felix, mengabaikan rasa gengsinya sendiri dan juga rasa malu karena dia memeluknya di depan umum. "Gue nggak pandai menghibur orang, tapi setidaknya gue tau kalo nggak ada hiburan yang paling efektif selain ini."

Saking kagetnya Felix tidak bisa berkata-kata, tetapi cowok itu mengakui kalau apa yang dikatakan Meilvie benar adanya. Hatinya serasa lebih hangat dan untuk sejenak, dia merasa kalau eksistensinya tidak seburuk itu untuk ditolak.

Setidaknya untuk saat ini, dia mempunyai Meilvie di sisinya.

"Gue pernah baca ini di suatu tempat. Katanya, sekali pun satu dunia membenci lo akan serasa nggak berefek kalo lo punya satu orang yang ngedukung lo. Dan gue mengizinkan lo untuk menganggap kalo gue-lah satu orang itu. Jadi, jangan sedih ya. Seenggaknya, lo punya gue."

Mereka berpelukan cukup lama, hingga warna senja telah benar-benar mendominasi langit. Sebagian besar orang yang sempat melirik mereka, memutuskan untuk tidak terlalu kepo. Lagi pula, pelukan bukanlah sesuatu yang tabu untuk dilakukan.

Meilvie mulai bergerak untuk melepaskan diri, tetapi ditahan oleh Felix dengan kata-katanya, "Tunggu sebentar lagi, ya?"

"Oh, oke," jawab Meilvie, yang mulai canggung dengan situasi ini. Wajahnya kontan memerah dan dia bersyukur karena wajahnya tidak terlihat oleh Felix. "Hmm... kalo boleh tau, ini pertama kalinya lo ketemu sama mama kandung lo, ya?"

"Iya."

"Menurut gue, seorang ibu yang benar-benar seorang ibu nggak pernah ninggalin anaknya, seorang ibu nggak mungkin tega membuang anaknya, dan seorang ibu juga nggak mungkin cuek sama anaknya. Gue rasa lo perlu dengerin penjelasan mama lo dulu. Setelah itu, lo baru boleh berpikir sesuka hati dan semerdeka lo."

Alih-alih menjawab, Felix mengangkat kedua tangan untuk membalas pelukan Meilvie yang sedari tadi tidak dibalasnya karena berpikir masih secanggung itu untuk melakukannya. Cowok itu mengeratkan pelukannya hingga Meilvie merasa sesak, tetapi serasa hangat di sisi lain.

"Kalo mau nangis, nangis aja. Gue nggak akan menertawakan kesedihan lo. Kali ini gue serius," kata Meilvie, berusaha untuk tidak terlalu terpengaruh dengan pelukan Felix yang sebenarnya membuatnya baper. Gimana ya, soalnya dia tidak pernah berpelukan seerat ini dengan cowok, apalagi cowok seperti Felix yang sebelumnya pernah berseteru dengannya.

"Gue udah nangis, kok. Bukannya lo beberapa kali ngelihat gue nangis? Di mal juga dan... barusan juga."

"Oke, yang penting lo nggak nahan perasaan lo. Apa yang lo rasain, lo harus meluapkannya supaya bisa lega. Itu yang gue tau dari tips menghibur orang yang baik dan benar."

"Menurut gue, tips menghibur orang yang paling benar udah lo lakuin," bisik Felix pelan meski tetap bisa didengar oleh Meilvie karena kedekatan mereka. "Yang ini buktinya."

"Yang ini?" tanya Meilvie, membeo.

"Pelukan lo, menghibur gue banget sampai-sampai air mata gue mengering dengan sendirinya. Makasih, ya."

Meilvie berdeham keras, sebagai usahanya untuk mengabaikan detak jantung yang semakin lama semakin keras hingga cewek itu tidak akan heran jika Felix mendengarnya.

Lantas, momen itu harus berganti dengan nuansa komedi karena terdengar suara perut kelaparan yang berasal dari Meilvie.

Felix melepaskan pelukan itu, memandangnya sepanjang lengan. "Lo laper, ya? Maaf ya, gara-gara gue."

Meilvie hendak menjawab, tetapi juga terhalang oleh suara perut kelaparan dari Felix. Cewek itu lantas tertawa keras.

"Lo juga laper pastinya."

"Mumpung masih di mal, dinner romantis yuk?" ajak Felix, tatapan jenakanya kembali lagi, membuat Meilvie tertawa konyol meski dia tidak bisa berbohong kalau dia juga sesenang itu.

Setidaknya itu lebih baik daripada melihat Felix bersedih.

"Dengan catatan kalo lo yang traktir," balas Meilvie dengan tatapan jenaka juga, membuat Felix sumringah karena untuk pertama kalinya dia melihat ekspresi cewek itu yang berbeda dari biasanya.

"Nggak gratis, Beb. Lo harus bayar pake cara lain," kata Felix dengan nada misterius dan berbahaya, membuat Meilvie parno dan segera memeluk dirinya sendiri selagi keduanya berjalan masuk ke dalam mal.

Felix tertawa melihat reaksi Meilvie. "Ck. Jangan mikir jelek, dong. Ada yang lebih berharga dari itu."

"Apa emangnya?"

"Lo harus janji untuk terus ngedukung gue dan berada di sisi gue seperti yang lo ucapkan tadi. Juga, jangan galak-galak lagi ke gue. Gue lebih suka lo senyum kayak tadi daripada galak-galak. Jujur aja, tiap lo galak trus melototin gue, gue jadi takut dan selalu kepikiran sesuatu."

"Kepikiran apa?" tanya Meilvie kepo.

Siapa sangka, Felix sengaja bermain-main dengan mencondongkan tubuh ke sebelah telinga milik Meilvie, untuk berbisik padanya. "Lo kayak hantu Annabelle kalo lagi galak. Serius. Matanya gede banget lagi, persis kayak lo. Trus kalian juga sama-sama cebol."

"FELIX, AWAS YA!!!" hardik Meilvie, kembali ke mode galak dalam sekejap, membuat Felix terbahak dan dia berkelit ketika cewek itu mengangkat sebelah kaki untuk menendang tulang keringnya.

"AW!" Meilvie memekik karena luka di lututnya sakit lagi. "Gara-gara lo nih, luka gue jadi susah sembuh!"

"Oh, ngasih kode nih biar digendong?"

"Ck."

"Oh, ngasih kode juga biar dicium?"

"HEH, NGGAK USAH NGADI-NGADI, YA!"

"Udah dibilangin jangan galak-galak dong! Ck."

Debat mereka sepertinya tidak segampang itu untuk kelar karena Meilvie memancing perkara dengan mengalungkan lengan ke sekeliling leher Felix untuk memitingnya tanpa ampun hingga cowok itu berteriak kesakitan.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top