22). Threatened
"Felix? Lo balik lagi? Bukannya tadi lo bilang males gabung sama kita-kita?" tanya Remmy, lantas melempar bola basket ke arah Felix, yang segera menangkap dan membidiknya ke ring basket.
Syuuut! Bola berhasil masuk dengan mulus, padahal posisi Felix berada di arah jam delapan dari ring tersebut. Three-point.
"Cool, Bro! Mau tanding?" tanya Remmy, menangkap bola yang memantul ke arahnya dan melakukan dribble dengan gaya sok. Visualnya segera membeludak hingga dua kali lipat, terbukti banyak cewek random yang histeris gemas setelah memperhatikannya.
Sesuai karakter playboy cap rakunnya, tentu saja Remmy membalas semua reaksi tersebut dengan mengedipkan sebelah mata.
"Gue nggak mood. Kalian aja yang main."
"Lah trus lo ke sini ngapain?" tanya Dido, wajahnya tampak mengilap oleh keringat. Cowok itu membuka tutup botol air kemasan yang telah dipegangnya sejak tadi dan meminum setengah isinya.
"Nggak asik dong kalo cuman nonton kita main," timpal Ardi, memakai kacamata polosnya kembali. Ditilik dari intensitas keringat mereka, bisa dipastikan mereka baru saja menyelesaikan satu set pertandingan basket.
"Gue lagi gabut bukan berarti harus ikut main, kan?" tanya Felix datar. Ada nada dingin dalam suaranya, membuat ketiga temannya saling berpandangan dan lantas gagal paham karena nada bicaranya.
Felix duduk di tepi lapangan dengan gaya memeluk lutut, diikuti Remmy yang tersenyum miring sekilas sebelum ikut duduk di sebelahnya dengan gaya yang sama.
"Jangan bilang... lo baru dibentak sama kakak tersayang lo?" tebak Remmy. "Galaknya memang nggak ketulungan sih, wajar kalo emosi lo dibuat jungkir balik."
"Iya nih, kita berdua aja nggak nyangka ternyata kakak tiri lo bisa buat Remmy gagal jadi perayu wanita," timpal Ardi, duduk di sebelah Felix yang lain, sementara Dido duduk di hadapan Felix.
Remmy mengulurkan tangan untuk meninju Ardi, tetapi gagal karena targetnya berhasil menghindar. Alhasil, Ardi balas menatapnya dengan tatapan mengejek.
"Siapa bilang gue gagal? Gue masih belum serius mulai. Liat aja, gue pasti bisa menangin hatinya. Coba sebutin deh, apa sih yang nggak bisa gue lakuin dalam menggaet hati cewek? Gue senyum tipis aja mereka udah pada kejang-kejang, apalagi grepe-grepe!" jawab Remmy dengan nada enteng meski tersirat ragu di balik tatapannya.
"Tuh, tuh! Ekspresi lo aja udah insecure duluan," ledek Dido dan dia segera mengajak Ardi ber-tos ria, membuat Remmy menghadiahinya sebuah tinju pada lengan atasnya. "Ouch, it hurts!"
"Lo jadiin Felina sebagai bahan taruhan?" tanya Felix dengan nada berbahaya, sukses membuat kicep semua temannya.
"Jangan serius gini dong, Bro. Lo selalu nanggapin semuanya dengan sensitif kalo emosi lo kacau gini," kata Remmy dengan nada manis, berharap emosi Felix bisa mereda.
"Gue nggak mau tau. Intinya gue nggak akan tinggal diem kalo lo mainin perasaan Felina. Cewek yang mau sama lo kan banyak, jadi jangan ganggu kakak tiri gue. Ngerti lo? Arrrggghhh! Mood gue makin jelek aja jadinya!" hardik Felix, segera berdiri dan meninggalkan area lapangan dengan alis berkerut.
"Gue yakin dia lagi marahan sama Felina, tapi kenapa dia masih aja ngebela kakak tirinya?" celetuk Remmy, tidak tahan untuk tidak berkomentar sementara matanya masih terarah pada punggung Felix yang menjauh.
"Udah deh, ngaku kalah aja lo. Jelas-jelas nggak akan bisa menang, juga." Dido berujar, puas dengan asumsinya sendiri hingga tersenyum lebar. "Duitnya bisa lo transfer sekarang."
Remmy menjulurkan sebelah kaki untuk menendang tulang kering milik Dido, tetapi sayangnya kali ini targetnya harus meleset karena dia berhasil menghindar. "Gue masih belum nyerah. Kalo kalian ngeremehin kemampuan gue sebagai playboy cap rakun, kalian salah besar."
Dengan rasa kepercayaan diri yang patut dipuji, Remmy mengeluarkan ponsel dari saku celana training-nya.
"Lo ngapain?" tanya Dido kepo, sementara Ardi sudah mengalihkan pandangan ke cewek berkacamata yang berjalan menuju arahnya bersama dua temannya yang lain. Rupanya dia adalah Alina, cewek yang pernah ikut group dating dan menjadi pasangannya di Cafe Young.
"Gue mau hubungi Felina. Liat aja, dia pasti langsung kepo kalo gue ungkit nama Felix sekarang."
Dido memutar matanya jengah, lantas memutuskan untuk bergabung dengan Ardi yang sudah berhadapan langsung dengan tiga cewek.
"Eh, kalian yang ngikut group dating, kan?" tanya Dido pada ketiga cewek di hadapannya. "Gue Dido, masih inget, kan? Dan lo pasangan gue."
Dido menunjuk cewek paling tinggi di antara mereka, yang balas menatapnya dengan jengah.
Tersenyum miring, Dinda--cewek yang ditunjuk--lantas berkata, "Oh, elo. Gue ingetnya lo punya banyak istri online, kan?"
Dido menepuk-nepuk tangannya dengan mata yang berbinar. "Senengnya di-notice sama cewek cantik kayak lo. Kalo lo mau, gue nggak nolak pacaran offline sih sekarang."
"Si Remmy ngapain?" tanya Viona, yang posisi berdirinya di sebelah Dinda, mengabaikan temannya yang bergidik jijik karena gombalan Dido.
"Biasaaaaa... lagi menuntaskan misi menggaet hati targetnya," jawab Dido, mengalihkan atensinya pada Viona. "Ngakunya sih playboy cap rakun, soalnya dia berprinsip mau kayak binatang rakun yang pandai mencuri."
"Gue jadi bertanya-tanya, kapan ya gue ditargetkan?" tanya Viona, membuat semua yang berkumpul di sana menatapnya dengan mata yang dilebarkan. "Gara-gara Meilvie sama temen lo satunya yang sok cool itu, jadinya group dating kita agak absurd gimana gitu."
"Felix, maksud lo? Yaaa... memang sih dari semua temen-temen gue, memang gue yang paling normal," celetuk Ardi sembari membenarkan letak kacamata dan menatap Alina di hadapannya dengan tatapan penuh arti. "Yang satu playboy cap rakun, satunya cool kayak freezer berjalan, dan satunya lagi playboy juga sih, tapi kemampuannya hanya sebatas dunia gim."
Tatapan Ardi tentu saja dibalas Alina dengan malu-malu uwu persis di Cafe Young waktu itu.
"Heh, gue juga bisa jadi playboy dalam dunia nyata, kali!" hardik Dido tidak terima.
"Oh ya?" tantang Dinda. "Coba gombalin gue, kalo gue berhasil malu-malu uwu kayak Alina, gue bakal pacaran sama lo."
"Oke, siapa takut?" balas Dido sembari menelan salivanya sebagai persiapan untuk melancarkan aksi. "Kita main tebak-tebakan. Kucing apa yang paling romantis?"
"Kucingta padamu," jawab Dinda dengan tatapan jengah meski dia mau-mau saja menjawab gombalan receh Dido.
"Asik. Beda kamu sama lukisan tuh apa?"
"Ya beda dong. Kalo lukisan makin lama makin antik, kalo aku makin lama makin cantik," jawab Dinda sambil menyibakkan rambut panjangnya dengan kepedean yang tidak kira-kira.
"Trus, trus. Bis apa yang paling mabok?"
"Bis-ikan sayang dari kamu."
"Satu lagi nih, kamu pasti nggak bisa jawab," kata Dido yang makin lama makin pede sementara Ardi serta dua temen cewek yang lain berhasil dibuat membeku karena permainan tebak-tebakan yang super konyol dan aneh itu. Sikap keduanya sekarang seakan menjadikan dunia milik mereka berdua saja.
Ardi menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tatapan datar lalu berkata, "Penilaian gue nggak salah. Hanya gue satu-satunya yang normal."
"Gue setuju," jawab Alina, lantas memandang Dinda dengan tatapan tidak percaya. "Mungkin mereka berdua bakal jadian duluan daripada kita-kita."
"Oh, lo ngasih kode nih?" tanya Ardi dengan tatapan jenaka dari balik kacamata beningnya.
"Ish! Bukan itu maksud gue!" seru Alina dengan nada kesal, tetapi berbanding terbalik dengan ekspresi wajahnya, bahkan dia memukul-mukul lengan cowok culun itu dengan gaya uwu khas cewek kasmaran.
Tidak jauh dari mereka, Viona menghela napas gereget. "Dasar ya, mentang-mentang kalian udah ada pasangannya. Sayang banget Meilvie lagi sibuk di perpustakaan, jadi nggak bisa nistain kalian bareng-bareng. Ck!"
*****
Meilvie memandang kakak-kakak kelas yang mengepung dirinya dengan bingung. Dia mengenal mereka, termasuk cewek yang berdiri di tengah. Tari. Dia adalah salah satu anggota OSIS yang terlibat selama MOS waktu itu. Kedatangan mereka secara tiba-tiba membuatnya penasaran sekaligus bingung apa tujuan mereka menemuinya.
Meskipun Meilvie tidak mengenal dua teman di sisi Tari, cewek itu bisa mengetahui nama dari name tag yang terbordir di seragam mereka. Cewek berambut sebahu yang berdiri di sebelah kanan Tari bernama Vika, sementara yang rambutnya sama panjang dengan Tari--meski lebih bergelombang, bernama Gea.
Apakah Meilvie telah melanggar salah satu peraturan sekolah? Seharusnya tidak. Kalau begitu, apa tujuan ketiga senior itu?
"Ada apa ya, Kak Tari?" tanya Meilvie sopan.
"Apa ini punya lo?" tanya Tari dengan senyum seringainya sembari mengacungkan sebuah amplop berwarna merah muda.
Mata Meilvie refleks melebar selebar-lebarnya. Bukankah itu adalah suratnya untuk Revan?
Meski Meilvie tidak kunjung mengerti mengapa surat miliknya ada di tangan Tari, cewek itu tetap mengangkat tangan untuk merebut surat itu, sempat berpikir untuk mengeceknya sendiri, tetapi sayangnya dia kalah gesit. Situasi ini diuntungkan oleh postur tubuh Tari yang lebih tinggi sehingga dia bisa melemparkannya ke teman yang lain, yang kemudian saling bermain oper-operan diiringi tawa yang menyebalkan.
"Kembalikan!" perintah Meilvie panik. "Itu bukan milik lo!"
"'Bukan milik lo'?" ulang Tari marah, senyum seringai segera menghilang dari bibirnya. "Apa lo bilang? Ulang sekali lagi!"
Teman Tari yang bernama Gea lantas mendorong bahu Meilvie dengan kasar hingga tergencet ke dinding sementara Tari segera maju dan menarik kerah seragam Meilvie.
Tari dan antek-anteknya sudah sedari tadi memantaunya dan baru berani bertindak setelah cewek itu keluar dari perpustakaan sekolah. Ketiganya kemudian menyudutkannya di ujung koridor yang mana jarang dijamah oleh murid-murid bahkan guru pengawas.
Lebih tepatnya, koridor tersebut terhubung ke tangga menuju rooftop sekolah.
"Lo memang nggak tau atau sengaja nggak tau kalo gue pacarnya Revan?" tanya Tari dengan nada berbahaya.
"Apa?" Seakan ada petir menyambar dalam hati Meilvie. Bagaimana mungkin Revan bisa menjalin hubungan dengan cewek kasar ini?
"Revan itu milik gue, jadi jangan sampai lo berani deket-deket sama dia! Lo akan tau akibatnya kalo lo nggak dengerin kata-kata gue! Ngerti nggak?"
"Kalo gue nggak mau?" tanya Meilvie pelan tanpa memandang Tari. Sejujurnya dia sangat takut. Akan tetapi, dia berusaha mengalahkan rasa takutnya karena dia tidak mau menjadi pengecut hanya karena sebuah ancaman. Setidaknya, dia merasa perlu berusaha untuk menunjukkan kalau rasa sukanya memang setulus itu.
"LO NANTANGIN GUE?" teriak Tari dengan mata menyala-nyala. "Lo perlu dikasih pelajaran rupanya!"
Tari mengangkat tangannya untuk menampar Meilvie, tetapi ditahan oleh Vika.
"Kenapa?" tanya Tari ketus. "Lo nggak usah halangin gue buat gampar cewek busuk ini! Berani-beraninya dia nantang seniornya sendiri! Dasar nggak tau malu!"
Vika mendekatkan kepala untuk membisikkan sesuatu ke telinga Tari. Sepertinya dia mempunyai ide yang lebih licik, terlihat dari senyum seringai Tari yang muncul kembali.
"Bagus juga ide lo, Ka. Tapi gue mau sekarang! Nggak bisa tunda lagi!"
"Gue udah siapkan, Tar. Lo tenang aja," kata Vika yang menunjukkan senyum seringainya persis seperti Tari. Cewek itu mengeluarkan sebuah kantong besar berwarna hitam pada sang ketua dari tas selempangnya. Meilvie tidak tahu apa itu, tetapi dia yakin itu pasti adalah sesuatu yang akan membahayakannya.
Benar saja. Isinya adalah kumpulan kertas dalam jumlah banyak. Tari hanya mengeluarkan selembar sembari tersenyum jahat.
"Lo tau nggak, untungnya Revan belum baca surat lo. Dia cuma baca nama lo doang di amplopnya. Meskipun dia tau lo pasti nyatakan cinta ke dia, dia nggak akan tau kalo isinya udah gue ubah menjadi lebih menarik," jelas Vika, menjawab ekspresi bingung yang ditunjukkan oleh Meilvie.
"Lo hebat, Ka! Gue salut sama lo. Tulisan lo bahkan bisa sama persis dengan tulisan anak cebol itu," puji Tari, tatapannya kemudian beralih pada Meilvie. "Lo mau denger bunyi surat ini?"
Akhirnya Meilvie paham. Surat itu telah dimanipulasi, diperbanyak, dan mungkin akan disebarluaskan ke teman-teman di sekolahnya!
"'Nama aku Meilvie, Kak. Melalui surat ini, aku hanya mau bilang kalo aku suka banget sama Kakak. Tapi aku hanya berani berbicara lewat surat ini soalnya aku nggak mau ada yang tau. Jujur, aku sebenarnya juga suka sama cowok lain. Hatiku terbagi. Aku masih bingung mau pilih yang mana. Tapi yang pasti, aku suka dua-duanya. Aku harap Kakak mau jadi pacar aku. Mungkin seiring berjalannya waktu, aku bisa memilih siapa cowok yang akan aku pertahankan. Aku harap Kakak terima cinta aku, ya. Aku tunggu Kakak sepulang sekolah nanti. Kalo Kakak nggak dateng, aku anggap Kakak tolak cinta aku. Salam cinta, Meilvie'."
"Gue nggak pernah nulis surat kayak gitu!" hardik Meilvie marah. "Kembalikan surat asli gue!"
Tangan Meilvie berusaha merebut surat asli dari tangan Tari, tetapi sayangnya lagi-lagi cewek itu kalah gesit karena Tari telah mengambil korek gas dari saku roknya dan membakar surat itu. Dalam waktu kurang dari semenit, surat cinta Meilvie telah berubah menjadi abu.
Meilvie meraung marah dan refleks menampar Tari tepat di pipi kanannya. Tidak terima, kedua antek-anteknya balas memukul Meilvie dan rambutnya dijambak dengan kasar.
"Lo berani sama gue?" teriak Tari tidak terima, tangannya menyentuh pipinya dengan tatapan murka. "Ka, cepetan lo lempar surat itu ke bawah! Kita liat sampai kapan cewek busuk ini bertahan di sekolah!"
"Siap, Tar!" jawab Eka patuh sambil mengambil kantong yang sempat diletakkan di lantai.
"JANGAN!" teriak Meilvie dengan mata melebar, bertepatan dengan kehadiran seseorang yang tidak disangka-sangka.
Kejadiannya berlangsung selama sepersekian detik. Meilvie tidak tahu pasti bagaimana kejadiannya, yang jelas tangan Vika telah ditahan oleh seseorang sehingga kantong tersebut tidak jadi dibuang ke bawah.
"Felix?" panggil Meilvie pelan, seakan tidak percaya dengan penglihatannya.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top