21). Too Late or Loser?
"APA? MAMA LAGI OTEWE KE SINI?" pekik Felina sekeras-kerasnya, mengabaikan tatapan penuh celaan yang ditunjukkan oleh Vino. "TRUS KITA HARUS GIMANA???"
Vino membuka mulutnya tetapi terhalang oleh kepulangan Felix dari sekolah. Oleh karena tidak ingin ada kesalahpahaman yang mungkin saja memperkeruh situasi, cowok itu segera merendahkan kepalanya untuk berbisik ke telinga Felina. "Fel, jangan keras-keras dong. Felix bisa salah paham nanti."
Felina sempat terhenyak, tetapi untung saja dia segera mengerti dan berusaha mengendalikan emosinya. Lantas, cewek itu memutar tubuh menghadap Felix sementara Vino mendekati Cindy yang sejak tadi memperhatikan mereka, tetapi cukup mengerti untuk tidak bertanya.
Cindy tentu penasaran dengan apa yang terjadi di antara mereka, terutama Felix yang—–sejauh pengamatannya—–sepertinya tidak berada dalam posisi yang diuntungkan.
Atau mungkin... tidak diharapkan oleh keluarga sendiri, sama seperti dirinya.
Melihat bagaimana Felina berusaha menutupi semua dari mamanya sendiri—–yang notabene adalah kakak Vino, cewek itu cukup tahu secara garis besar meski dia belum mendengar cerita lengkapnya. Apalagi sebelumnya, dia pernah mendengar embel-embel 'tiri' dalam percakapan mereka.
"Cindy," panggil Vino, mengalihkan atensi Cindy ke arahnya. "Gue minta tolong, ya. Sebelum kakak gue dateng, boleh nggak lo ajak Felix kemanaaaa gitu? Gue bukannya mau nutupin masalah ini terus-terusan ke kakak gue, gue cuma merasa semuanya terlalu mendadak. Gue rasa, sekarang belum waktunya untuk mengakui kalau Felix tinggal sama kami. Dalam hal ini, lo juga harus sembunyi dulu. Nggak apa-apa, kan? Maaf banget, Cindy, gue—–"
"Nggak apa-apa, gue ngerti kok." Cindy memotong kalem. "Lagian kita semua belum lama tinggal bareng, jadi gue bisa ngerti kalian pasti belum siap jelasin semuanya ke kakak lo."
"Makasih banyak, Cindy. Setelah ini gue bakal pikirin gimana caranya supaya bisa jelasin ke kakak gue yang sebenarnya," kata Vino, menunjukkan senyum leganya yang kentara, yang dibalas anggukan pelan oleh Cindy.
"Gue yang beli bahan makan malam aja kali ya, biar nggak kentara banget," usul Cindy. Dia lantas beranjak dari sofa untuk mendekati Felix dan Felina. "Felix, temani aku beli bahan makan, yuk. Udah lama kita nggak makan shabu-shabu."
"Eh, iya. Gue mau juga," kata Felina, ikut nimbrung dan lantas tersenyum canggung pada duo Felix dan Cindy.
"Kalian yang pergi aja, ya. Gue males belanja."
"Kamu ikut, ya?" pinta Cindy.
"Eh, jangan gitu!" timpal Felina. "Kebetulan gue mau beres-beres rumah sama Vino. Jadi kalian berdua pergi belanja aja, ya?"
Felix refleks mengerutkan alisnya saat merasakan ada kejanggalan di antara mereka. Namun, entah karena takdir menginginkan Felix mengetahui yang sebenarnya atau kebetulan semata, yang jelas ponsel Vino berdering lagi dan ekspresinya terlalu kentara untuk mengundang kecurigaan.
"I-ini ada apa sebenarnya?" tanya Felix dengan mata yang dipicingkan sedemikian rupa hingga dia bisa melihat bagaimana Felina menelan saliva dengan gugup dan Vino refleks mengusap rambutnya dengan agak frustasi. "Kalian nutupin sesuatu, ya?"
"Mendingan kita belanja, yuk." Cindy mengajak, yang sangat tidak tepat karena justru memperburuk situasi.
"Fel, lo nggak merasa perlu jelasin sesuatu ke gue?" tanya Felix dingin selagi ekor matanya menangkap ekspresi duo Felina dan Vino yang semakin menjadi-jadi.
"Hmm, gue—–"
"Nggak ada apa-apa kok, Felix. Cuma perasaan lo aja," potong Vino, sekarang dia terlihat berusaha mengabaikan ponselnya yang terus berdering.
"Kalo gitu, angkat teleponnya."
"Hah? Hmm ini nomor random, Felix. Jadi gue nggak merasa perlu jawab," kilah Vino, tetapi Felix lebih cepat. Cowok itu merebut ponsel dari tangan Vino yang lengah untuk mengecek nama peneleponnya.
"'Kak Nirina'? Maksudnya, Mama Felina, kan?" tanya Felix, tetapi secara bersamaan ekspresinya terlihat seperti baru saja ditampar.
Felix mengerti akhirnya. Mengapa semuanya bersikap aneh sedari tadi. Ternyata inilah alasannya. Alasan mengapa semua menyuruhnya keluar dari rumah sekarang ini.
Felix mau berlagak tidak peduli, tetapi matanya tidak bisa berbohong. Sebagai gantinya, matanya kini menunjukkan seberapa besar luka yang mendalam hingga matanya berhasil memerah.
"Oke, gue paham sekarang. Gue akan pergi dari sini," kata Felix dengan nada bicara yang terlalu pelan, tetapi sebelum dia benar-benar meninggalkan rumah milik Vino, Felina menahan lengannya.
"Felix, jangan salah paham dulu. Plis, dengerin gue—–"
"Kalo bukan salah paham, namanya apa lagi?" tanya Felix, menekankan kata-katanya dengan tegas sambil berusaha menghalangi jatuhnya air mata karena sekali lagi, dia merasakan penolakan dari orang-orang yang disayanginya.
Jangankan papa kandungnya, Felina sebagai kakak tiri yang berbagi separuh darah dengannya saja memilih untuk menutupi semua ini. "Kalian ternyata sama aja. Sama-sama nggak menginginkan eksistensi gue. Kalo ending-nya berakhir sama kayak gini, sia-sia aja lo nyari gue, Fel, karena sama seperti cerita dongeng lainnya, hubungan dekat antara saudara tiri itu nggak pernah nyata!"
"Nggak kayak gitu, Felix, dengerin gue! Waktunya nggak tepat dan semuanya serba mendadak! Gue juga baru tau mama gue tiba di—–"
"Seharusnya sejak awal lo nggak nyari gue, Fel." Felix memotong, lagi-lagi terdengar dingin dan menusuk sembari melempar tasnya asal saja ke lantai. "Hidup gue mungkin lebih aman-aman aja dan gue nggak perlu ngerasain sakit yang entah untuk ke-berapa kalinya. Ah... tapi dipikir-pikir, lo nggak salah sepenuhnya sih. Gue aja yang menilai lo terlalu tinggi. Gue kira, setidaknya ada satu orang yang mengharapkan eksistensi gue, setidaknya ada yang menyayangi gue sepenuh hati, setidaknya ada yang mengakui gue, dan nggak merasa malu untuk itu. Tapi ternyata gue salah. Namanya anak haram tetep aja haram untuk diakui."
"FELIX!" hardik Felina memperingatkan. "Lo nggak percaya sama gue? Asal lo tau ya, gue bener-bener tulus sayang sama lo!"
"Itu bukan sayang, Fel. Itu hanya pencitraan supaya lo bisa nunjukin kalo lo punya adek meski gue hanya sebatas—–"
PLAKKK!! Felina menampar pipi Felix, begitu keras hingga kepala adik tirinya tertoleh ke samping sementara Vino memanggil nama keponakannya dengan seruan keras.
"FELINA!"
Felix mendengus keras sembari menyentuh pipinya yang memerah akibat tamparan telak dari sang kakak tiri. "Makasih tamparannya karena tamparan lo bener-bener membuka mata gue. Tenang aja, gue akan pergi diam-diam."
Felix mengambil kembali tasnya yang teronggok di lantai akibat lemparan tadi dan segera keluar dari rumah tanpa mengatakan apa pun lagi. Cindy refleks menyusul Felix.
"Kenapa jadinya malah kayak gini?" tanya Felina lirih dan menggeram frustasi sebelum menutup wajahnya, sementara Vino membuang napas panjang sambil menepuk-nepuk bahu keponakannya.
"Lo sama Felix sama-sama emosi. Gue rasa kalian harus tenangin diri kalian dulu. Biar nanti gue aja yang ngomong sama Kak Nirina. Lo ngumpet di kamar aja ya nanti."
Felina hendak membuka mulut, tetapi Vino meremas pundak keponakannya dengan tatapan intens yang sarat akan ketegasan yang kentara, menghalangi cewek itu untuk protes. "Fel, dengerin gue. Gue tau lo pengen ngasih tau ke Kak Nirina semuanya, apalagi setelah bertengkar hebat sama Felix. Tapi kita nggak boleh gegabah. Setidaknya gue perlu tau tujuan Kak Nirina ke sini, karena sama seperti lo dan Felix, Kak Nirina juga punya luka, bahkan mungkin lukanya yang paling besar daripada kalian berdua. Gue janji, Fel. Kita bakal ungkapin semuanya, tapi nggak sekarang. Oke?"
*****
"Felix! Felix! Tungguin aku! Ishhhh, FELIX!" teriak Cindy.
Teriakan terakhir Cindy berhasil karena langkah Felix akhirnya berhenti dan dia menoleh dengan ekspresi yang kusut. Suasana hatinya jelas sangat buruk saat ini.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Cindy setelah dia mendekati Felix hingga berada dalam jarak pandang yang cukup.
"Namanya bohong kalo aku bilang aku baik-baik aja," jawab Felix datar. "Aku mau sendiri, Cin. Nggak apa-apa, kan?"
"Felix... walau aku nggak tau masalah sebenarnya, tapi aku yakin mereka nggak seperti yang kamu kira. Mereka bener-bener nggak bermaksud untuk menutupi kehadiran ka—–"
"Terlepas dari itu semua, aku nyesel punya kaitan di antara mereka. Akan lebih baik kalo dari awal aku hidup sendiri," kata Felix dengan nada menutup pembicaraan sembari menyisir rambutnya hingga acak-acakan. "Plis, Cin. Biarin aku sendiri. Oke?"
"Tapi kamu punya aku, Felix. Sampai kapan pun aku nggak akan ninggalin kamu. Selamanya. Jadi, kamu jangan ninggalin aku, ya? Aku nggak butuh yang lain karena kamu udah melengkapi kebutuhan aku," pinta Cindy, yang mendadak terdengar baper. Entahlah, tiba-tiba saja cewek itu merasakan firasat sewaktu Felix mengatakan ingin sendirian, seakan menjadi sebuah peringatan kalau cowok itu hendak meninggalkannya juga.
"Plis... Cin," pinta Felix dengan nada yang memohon. "Aku bener-bener mau sendirian sekarang. Jangan desak aku, ya?"
"Felix—–"
"Oke, kalo kamu maksa. Aku terbuka aja sama kamu. Kita berhenti sampai sini, ya. Selama ini aku anggap kamu kakak aku doang, nggak pernah lebih. Dan selama ini aku juga udah tau kamu punya gangguan PTSD, itulah sebabnya aku bertahan di sisi kamu sampai sekarang."
Felix sadar kalau dia sudah keterlaluan, tetapi emosi yang melingkupi dirinya secara otomatis menjadikan Cindy sebagai pelampiasan.
Cindy menutup mulutnya dengan kedua tangannya dan bergetar. Matanya membelalak, seakan tidak percaya dengan apa yang dikatakan Felix. Dalam waktu sekejap, kedua matanya berair hingga pucuk hidungnya memerah dan dia menangis sesenggukan.
"Bukan aku orangnya. Bukan aku orang yang akan sembuhin kamu."
"Felix, kamu... apa karena PTSD kamu jadi nggak suka sama aku. Iya, kan? Kamu nggak suka aku karena aku punya gangguan mental, kan?"
"Bukan gitu, Cin, kamu salah paham, aku... Plis, Cin. Jangan desak aku terus. Mood aku lagi nggak baik banget, aku—–"
"Iya, pasti bener." Suara Cindy bergetar. Matanya tiba-tiba bersinar dengan sedikit mengerikan. "Kamu sekarang takut kan sama aku? Kamu nggak terima dengan keadaan aku yang kayak gini, kan? Tenang aja, Felix. Aku janji akan sembuhin penyakit ini dan kembali lagi ke kamu. Kamu... kamu pasti jijik sama aku, kan?"
"Cin, dengerin aku!" seru Felix dengan suara keras sekaligus frustasi, jemarinya kembali mengusap rambutnya. Namun tiba-tiba saja, sebuah ide melintas dalam pikirannya. "Ya... ya... bener banget, Cindy. Aku mau kamu sembuh. Aku nggak mau pacaran sama cewek yang punya gangguan mental kayak kamu. Jadi kalo kamu mau kembali sama aku, kamu harus jalani psikoterapi dan sembuhin diri kamu dulu. Oke?"
"Baik," jawab Cindy dengan mata membelalak, membuatnya terlihat seperti orang sinting. "Aku akan lakuin apa pun itu, asalkan kamu nggak tinggalin aku. Kamu harus janji sama aku kalo kamu nggak akan ninggalin aku!"
"Iya, aku janji. Kamu harus rutin ke rumah sakit dan temuin dokter Dude yang nanganin kamu. Juga, kamu bisa minta bantuan Kak Vino karena dia punya pengalaman dalam bidang ini. Kamu harus sembuh, Cin. Oke?"
Cindy bergumam tidak jelas dan tersenyum lebar sebelum akhirnya membalikkan tubuh dan meninggalkan Felix sendirian. Bisa dipastikan dia segera melakukan semua misi yang diembankan Felix padanya.
Felix menghela napas panjang selagi memandang punggung Cindy yang menjauh.
Setidaknya aku bisa pergi dengan tenang setelah tau kamu akan berusaha untuk sembuh, Cindy. Makasih untuk segalanya.
*****
Yenni membuka pintu lebar di hadapannya dengan sekali sentakan dan suara berisik menyusul, sukses membuat sang penghuni kaget hingga hampir terlonjak di sofa.
"Ya ampun, Yenni! Sejak kapan kamu jadi barbar begini?" omel Herfian sembari mengelus bagian dadanya dengan sayang.
"Sejak aku tau kalo kamu merahasiakan sesuatu dari aku, Herfian!" hardik Yenni dengan tatapan galak dari balik kacamata hitamnya. "Jadi lebih baik kamu jujur sama aku sekarang karena aku udah tau semuanya!"
Herfian melotot. "Kata-kata kamu terlalu ambigu, Yenni! Gimana kalo nanti orang lain ngira aku ada something affair sama kamu?"
"Hebat banget, ya!" sindir Yenni sarkastik. "Kamu nggak mau dikira something affair, tapi kenapa kamu mau-mau aja disalahpahami sampai delapan tahun lamanya?"
Herfian kaget, segera mangap lantas menutup dan membukanya lagi setelah memikirkan kata-kata yang cocok, "Kamu nggak akan ngerti, Yen—–"
"Apanya yang nggak ngerti?" tanya Yenni sembari melepas kacamata hitamnya dengan agak frustasi dan mendudukkan diri di seberang Herfian. Kini tatapan galaknya mendominasi. "Ini jelas ada hubungannya dengan aku. Terkait erat malah! Bagaimana mungkin kamu malah... malah... malah... argggggghhhh!"
Yenni geregetan parah hingga menggebrak meja kaca yang bersisian dengan sofa. Untung saja kualitas perabotan di kantor Herfian bukan abal-abal sehingga gebrakan kasar dari wanita itu sama sekali tidak berpengaruh.
"Herfian, answer me!!" hardik Yenni.
"It's too late," kata Herfian dengan nada lelah, membuat wajahnya tampak semakin tua ketika dia berekspresi seperti itu. "It's too late to explain."
"There's no 'too late' for truth, Herfian," tegas Yenni, membusungkan dada untuk memompa kesabaran lebih, kemudian menyisir rambut panjangnya hingga terkesan acak-acakan meski visualnya tidak berkurang. "Semuanya berakar dari kamu. Emang mau tunggu sampai kapan baru kamu mau jelasin semuanya? kamu pikir kebenarannya bisa terungkap? Nggak, kan? Yang ada kamu semakin memperkeruh situasi! Kamu itu kepala keluarga, Herfian!"
Yenni mengembuskan napas panjang, lantas tiba-tiba saja ada kesimpulan lain yang melintas dalam pikiran hingga membuat wanita itu mengalihkan tatapannya pada Herfian yang masih saja bungkam. "Kayaknya aku salah. Bukan kamu akar masalahnya, tapi aku. Aku yang memulai semua ini. Seharusnya aku nggak menitipkan Felix ke kamu atau setidaknya, seharusnya aku juga membicarakannya dengan Nirina. Aku terlalu egois. Seharusnya—–"
"Yenni—–"
"Seharusnya aku nggak mikir pendek. Ini salahku, Herfian. Sekarang karena aku yang memulainya, maka aku yang harus mengakhiri semua kesalahpahaman ini. Kalo gitu sudah jelas, biarkan aku yang nyelesaikan semuanya."
Yenni sudah beranjak dari sofa dan berjalan menuju pintu ketika kata-kata Herfian menghalanginya. "Aku rasa nggak akan bisa, Yen. Mereka membenci aku. Felina nggak mau menemuiku lagi. Sudah terlambat, Yen. Aku nyesel seharusnya dari dulu aku menjelaskan kepada mereka, tapi aku nggak mengatakannya. Saat itu aku langsung pergi. Ini adalah akibat yang harus aku tanggung sendiri."
"Belum terlambat, Herfian. As I said before, there's no 'too late' for the truth. Percaya sama aku. Setidaknya aku bersyukur aku masih hidup sampai sekarang. Aku yakin Tuhan memberikan aku kesempatan untuk hidup lagi supaya aku bisa membantu kamu bersatu kembali dengan istri dan anakmu."
Lantas begitu saja, Yenni beranjak dari sofa dan memakai kembali kacamata hitamnya dengan gerakan anggun. Bunyi yang dipantulkan antara stiletto dengan lantai marmer di bawahnya seakan menjadi backsound yang mengiringnya keluar dari kantor Herfian.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top