20). Unexpected Trouble

Jerico tidak menyangka tujuan berkunjung ke Cafe Young malah dipertemukan dengan Felina dan diperparah oleh fakta mamanya ternyata masih mengingat cewek tomboi itu.

"Sekarang kamu jelasin sebelum Mama nyari tau sendiri," perintah Yenni dengan nada yang tidak bisa diganggu gugat setelah Jerico membawanya ke sudut luar Cafe Young untuk berbicara. Sebenarnya dia hendak membawa mamanya lebih jauh, hanya saja wanita itu sudah telanjur curiga dan menghentikannya di tengah perjalanan.

"Jelasin apa, Ma?" tanya Jerico yang masih berusaha ngeles meski dia cukup tahu kalau usahanya sia-sia saja.

Masalahnya Yenni sudah telanjur melihat Felina.

Jerico merutuki diri sendiri. Seharusnya sewaktu mendengar nama lengkap Felina disebut oleh pamannya, dia segera mengambil tindakan untuk membawa Felina jauh-jauh dari Cafe Young, bukannya malah menonton pertunjukan kisah cinta konyol seperti tadi.

Jerico masih gagal paham dengan sikapnya selama ini. Lebih tepatnya, dia tidak kunjung mendapatkan kepastian jawaban atas tindakan mendekati Felina selama beberapa hari terakhir ini.

Seharusnya dia tidak perlu ikut campur, seharusnya dia tidak perlu mengganggu Felina, dan seharusnya dia tidak perlu peduli dengan semua itu.

"Kamu nggak usah pura-pura nggak tau, Jerico! Jelas-jelas kamu lagi nutupin sesuatu, kan? Sekarang jelasin ke Mama! Atau... apa perlu Mama masuk lagi ke dalem untuk nanyain langsung ke Felina?" tanya Yenni, menatap anaknya dengan tatapan penuh kecurigaan dan kemudian segera tertampar oleh asumsi dalam pikirannya.

Dengan mata yang melebar dan memancarkan sinar kecemasan yang kentara, Yenni meremas kedua bahu Jerico dan menyuarakan pertanyaan, "Jangan bilang... ini ada kaitannya sama Mama?"

Jerico berdeham dan menarik senyuman yang terlalu lebar, yang justru memperkeruh suasana. "Nggak gitu kok, Ma. Paman Fendy ngajak Mama ke sini kan karena mau ngajak makan siang bareng sekalian melepas kangen. Aku tiba-tiba kepengen ke restoran sushi yang baru dibangun nggak jauh dari sini. Aku kabari Om Fendy, ya?"

Jerico mengeluarkan ponsel tetapi segera dihalangi oleh Yenni yang menatapnya dengan penuh selidik. "Even you're not going to tell me, I'll definitely find out by myself."

"Ma--"

"Or I can ask Herfian directly," potong Yenni dengan senyum miring dan memperhatikan wajah Jerico dengan intens untuk mengetahui reaksinya. Dugaannya benar, karena anak sulungnya tampak begitu was-was sekarang.

"Okay, I'll tell you then. But please don't involve me," kata Jerico akhirnya setelah jeda cukup lama di antara mereka dan cowok itu menghela napas frustasi.

*****

Cindy mendengus kecewa. Dia baru saja menelepon Felix untuk menemaninya mengunjungi museum demi tugas kelompok di klub fotografi, tetapi cowok itu menolaknya.

"Sekali lagi, maaf banget ya, Cindy. Kalo pergi sama Kak Vino aja, gimana?" usul Felix, membuat Cindy mendengus kecewa lagi.

Cindy melirik Vino yang sedang membuat teh herbal lagi di dapur. Haruskah dia mengajak cowok itu?

Lalu seakan bisa mendengar suara hati Cindy, Vino membalikkan tubuh menghadap cewek itu dan tersenyum. Sebenarnya dia tahu apa yang membuat Cindy melihatnya seperti itu, karena lima menit yang lalu Felix sudah mengirimkan chat supaya menggantikannya menemani cewek itu ke museum.

"Oke deh kalo kamu nggak bisa," kata Cindy akhirnya dan menutup panggilan setelah mendengar respons terakhir Felix yang kurang lebih maknanya sama; meminta maaf dengan perasaan bersalah.

Cindy tampak menimbang-nimbang selagi dia mendekati Vino yang baru selesai menyeduh teh herbal. "Hmm... lo... gue..."

"Lo mau teh herbal?" tanya Vino ceria.

"Nggak, thanks. Gue... hmm, sebenarnya gue nggak mau ngajak lo soalnya Felix nggak bisa temani gue. Tapi berhubung dia nggak bisa, lo bisa nemenin gue, nggak? Hmm, maksud gue--"

Vino berpura-pura memasang ekspresi tersinggung padahal sebenarnya dia menjerit-jerit senang dalam hati karena diajak nge-date berdua oleh Cindy. "Kalo lo mau minta tolong, seharusnya lo bisa ngomong lebih sopan. Orang manapun pasti bakal sakit hati kalo lo bilang 'Sebenarnya gue nggak mau ngajak lo'."

"Sori," ucap Cindy malu. "Gue--"

"Lo bahkan nolak teh herbal pemberian gue. Tapi nggak apa-apa, kok. Kalo lo nggak mau tehnya, gue aja yang minum," kata Vino, sengaja mendesah kecewa sembari mengambil kembali cangkir yang sempat dia letakkan di hadapan Cindy.

"Eh, mau kok!" seru Cindy cepat, segera merebut cangkir yang dipegang Vino. "Gue suka teh herbal."

"Trus? Gue udah boleh cabut kan dari sini?" tanya Vino dengan nada datar dan tanpa menunggu reaksi Cindy, dia bergerak melewati cewek itu.

Vino tertawa tanpa suara tepat ketika punggungnya sukses menghadap Cindy, tetapi segera mengembalikan ekspresi datar ketika mendengar cewek itu memanggilnya.

"Eh, tunggu! Gue belum selesai ngomong!" seru Cindy, membuat langkah Vino berhenti secara dramatis. "Gue minta maaf kalo lo udah tersinggung, tapi gue bener-bener butuh bantuan lo. Lo udah pernah ke museum?"

"Cuma sekali. Jadi gue nggak yakin bisa ngegantiin posisi Felix buat nemenin lo," jawab Vino yang mendadak terdengar baper.

"Hmm... gue juga ragu Felix udah pernah ke museum atau belum. Jadi, lo bersedia nemani gue, kan?"

"Oke deh."

"Beneran?" tanya Cindy dengan mata membulat, tampak senang dengan jawaban Vino.

"Iya. Gue bakal nemenin lo ke museum," jelas Vino sambil tersenyum lebar hingga matanya melengkung uwu.

"Makasih ya, Vin. Gue belum pernah ke museum sebelumnya jadi gue nggak bisa bayangin deh gimana kalo ke sana sendirian. Kalo gitu gue siap-siap dulu, ya."

Punggung Cindy kemudian menjauh, sementara Vino menatap kepergian cewek itu dengan tatapan kasih tiada tara. Terkesan lebay sebenarnya, tetapi Vino seperti sedang menikmati pendalaman perannya.

Dalam hal ini, bisa dipastikan bahwa bakat akting Nirina menurun ke adik bungsunya.

Ya sudahlah ya, mungkin Vino terlalu bahagia karena merasa sudah selangkah lebih dekat dengan Cindy.

"Ternyata cinta pandangan pertama itu beneran eksis. Aku harus seneng apa teriak ya?" bisik Vino, mendadak baper hingga melipat bibirnya supaya tidak mewek benaran.

Dua jam kemudian, Vino berjalan beriringan dengan Cindy yang sedang memeriksa hasil foto yang diambilnya selama di museum lewat kamera khusus untuk fotografi. Meski kamera besarnya menghasilkan foto yang berkualitas tinggi, tetap saja cewek itu perlu memastikan kalau tidak ada foto yang terlewatkan.

Karena jika ada yang kurang, dia masih mempunyai kesempatan untuk kembali ke museum mumpung Vino masih menemaninya.

"Thanks ya, Vin, buat hari ini," ucap Cindy dengan senyumnya yang manis. Dia dan Vino sekarang sedang berjalan menuju parkiran mobil sepulang dari museum.

"Kalo lo bener-bener berterima kasih, berarti lo berutang sama gue," kata Vino sambil menyeringai.

"Oh. Maksudnya, lo nggak tulus bantuin gue?" protes Cindy meski dia sebenarnya tidak benar-benar kesal.

"Lo juga awalnya nggak tulus mau ngajak gue. Gue kan cuma pengganti Felix!" tuduh Vino tidak mau kalah.

"Sori deh, maksud gue bukan gitu. Gue kan nggak dekat sama lo, jadi wajar kalo gue lebih mengutamakan Felix. Lagian dia tuh cowok gue."

Vino tersenyum. "Gue tau, kok. Gue cuma bercanda. Jadi setelah ini kita ke mana?"

Mereka telah sampai di mobil Vino. Keduanya kemudian masuk dan memenuhi bagian depan mobil.

"Pulang aja deh," jawab Cindy sambil memasang sabuk pengaman. "Gue masih harus ngerjain tugas yang lain."

"Kalo ada kesulitan, jangan sungkan ya sama gue. Gitu-gitu gue kan kakak tingkat lo," tawar Vino tanpa menoleh karena cowok itu telah menjalankan mobilnya.

"Tapi jurusan lo kan beda sama gue. Gue Akuntansi dan lo Psikologi."

"Seperti gue bilang tadi, gimanapun gue kan kakak tingkat lo. Jadi setidaknya gue bisa sharing pengalaman gue sebagai anak kuliahan," jelas Vino. "Oh ya lo kok tau gue jurusan Psikologi? Perasaan, gue belum pernah kasih tau lo deh soal ini."

Cindy tampak kikuk. "Sekilas aja, kok. Gimanapun gue kan seatap sama lo, jadi setidaknya gue harus tau info umum soal lo. Gue juga tau info umum soal Felina juga, kok."

Keduanya kemudian terdiam dalam durasi yang cukup lama sementara mobil terus melaju menyusuri jalan tol. Meskipun demikian, jujur saja Cindy tetap merasa nyaman berada di dekat cowok itu. Berbeda halnya dengan Felix karena dia selalu ingin tampil perfect di depannya. Apakah ini disebabkan karena Vino lulusan Psikologi? Yang Cindy tahu, ilmu psikologi adalah belajar tentang kejiwaan seseorang, sehingga tidak heran jika mereka lebih peka dalam memahami perasaan dan perilaku lawan bicaranya.

"Kenapa lo liatin gue kayak gitu?" tanya Vino tiba-tiba, membuat Cindy terlonjak. Meski cowok itu tidak pernah mengalihkan pandangan sesuai kebiasaannya selagi menyetir, Vino memang sepeka itu untuk tahu kalau Cindy sedang memperhatikannya dengan intens. "Jangan salahin gue kalo lo tiba-tiba jadi jatuh cinta sama gue."

Cindy membuang muka, wajahnya memerah tanpa permisi. "S-siapa yang liatin lo? Gue lagi mikirin sesuatu aja, kok."

"Mikirin apa?" tanya Vino curiga, walaupun dia tersenyum geli.

"Memangnya apa peduli lo?" tanya Cindy sinis, mendadak dia kembali lagi ke sikapnya yang ketus.

"Eh, kita mau ke mana?" tanya Cindy lagi sambil mengedarkan pandangannya ke sekitarnya, untuk memastikan kalau Vino memang salah arah. Seharusnya mereka berbelok, bukannya lurus. "Bukannya kita mau pulang, kan?"

"Gue mau beli bahan untuk makan malam. Lo temani gue, ya?" pinta Vino.

Cindy hendak merespons, tetapi terhalang oleh getaran pada ponsel Vino, membuat cowok itu mau tidak mau menepikan mobil untuk menjawab, yang selalu menjadi kebiasaannya selain fokus ke depan ketika menyetir.

"Bentar ya, Cindy. Kakak gue nelpon--halo, Kak?"

"Kamu di mana, Vin?" tanya Nirina dari ujung telepon.

"Aku? Aku di luar, rencananya mau beli bahan makanan. Kenapa, Kak?"

"Guess what, I'm here, Brother!"

"WHAT???" pekik Vino, melebarkan kedua matanya selebar-lebarnya. Jantungnya seketika mencelus. "Kakak di mana?"

"Udah aku bilang, Vino! Aku di sini! Di Bandung! Alamat rumah kamu nggak berubah, kan? Tapi aku nggak bisa langsung ke rumah kamu sih, aku harus ikut pengarahan dulu. Nanti aku cerita lengkap deh pas ketemu. Mungkin satu jam-an lagi."

"Satu jam lagi? Oke," jawab Vino, segera bernapas lega. "Nanti Kakak hubungi aku lagi ya kalo udah mau otewe."

"Kenapa lo syok gitu?" tanya Cindy setelah Vino memutuskan panggilan teleponnya.

"Kakak gue belum tau tentang Felix. Bisa berabe nih kalo kakak gue tau kita tinggal berempat," jelas Vino dengan tatapan sedih. "Gue harus ngasih tau Felina juga. Kita balik aja deh, nggak jadi belanja."

Cindy menganggukkan kepalanya setuju dan mobil Vino segera membelok untuk berpindah haluan.


Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top