18). What Exactly the Truth
Seorang wanita berpenampilan glamor melangkah menuju restoran berbintang lima. Pintu super lebar otomatis dibukakan oleh salah seorang petugas dan segera menundukkan kepalanya dengan hormat sebagai bentuk pelayanan.
Wanita itu membalas anggukan kepala tersebut dengan gaya yang sangat anggun hingga membuat siapa saja takjub setiap melihatnya.
Wajahnya berbentuk hati, dengan dandanan yang cukup tebal meski terlihat natural, alih-alih mencolok. Wanita itu memakai terusan bermotif bunga yang dilengkapi dengan blazer putih sebagai lapisan luarnya, menutup asal sepanjang pundaknya tanpa benar-benar dipakai. Aksesories yang dipakai juga semakin menambah visualnya; anting-anting bermodel panjang berwarna keperakan yang menjuntai ke bawah telinga, tas tangan yang dipastikan asli dan bermerek, hingga high heels yang berwarna senada dengan blazer-nya.
Dari luar, wanita itu terlihat seperti baru menginjak kepala tiga dikarenakan pakaiannya yang modis, padahal usianya hampir menginjak kepala empat.
Rupanya wanita itu telah membuat janji dengan seseorang, terbukti dari penyampaiannya pada salah satu pelayan restoran yang segera membimbing wanita itu ke area tujuannya.
Benar saja, sudah ada seseorang yang menunggunya kemudian tersenyum lebar, yang dibalas oleh wanita itu tidak kalah lebarnya.
"It's very long time no see," sapa wanita itu sembari menekuk lutut untuk duduk dan melipat sebelah kakinya ke kaki yang lain dengan anggun. "How's life, Herfian?"
"You're back. Finally. As you see, Yenni. I'm always that fine. Would you like to order something?" tanya Herfian.
"One small black coffee, please." Yenni memesan pada pelayan restoran yang sedari tadi menunggunya untuk memesan.
"Alright. Make it two. Thanks," kata Herfian pada pelayan itu.
Setelah pelayan itu pergi, Yenni tersenyum lagi pada Herfian. "Oh ya. Gimana kabar Jerico?"
"Sebelum nanya Jerico, kenapa kita nggak bahas Felix dulu?"
Yenni refleks membuang napas panjang. "Soal Felix, aku masih nggak tau bagaimana cara menemuinya. Sampai sekarang dia belum tau kalo aku adalah ibu kandungnya. Selama delapan tahun ini dia mungkin berpikir aku adalah ibu jahat yang tega meninggalkannya."
"Aku juga masih menutupinya dari Jerico," timpal Herfian dengan nada lelah, terlihat dari embusan napas beratnya. "Bahkan sampai sekarang. Aku nggak seberani itu mengatakan kalo dia punya adik. Itulah sebabnya mengapa aku membiarkan Felix pergi dari rumah saat dia emosi. Aku takut ketahuan kalo dia dan Jerico bersaudara. Aku minta maaf nggak mencarinya meski sebelumnya aku udah ngomong sama Cindy--yang tinggal serumah sama dia untuk membiarkan Felix tinggal sama dia selama beberapa bulan atau setidaknya setelah situasi lebih terkendali. Aku lega karena di saat aku dilema, kamu akhirnya kembali."
"Nggak apa-apa, Herfian. Aku selalu tau bagaimana keadaan anak-anakku lewat relasi yang terpercaya. Bagaimanapun kalo kamu nggak menolongku waktu itu, mungkin aku sudah meninggal. Juga berkat kamu, aku jadi lebih termotivasi untuk bertahan hidup."
Kata-kata itu membuat ingatan Herfian melayang ke delapan tahun silam layaknya video dokumenter yang diputar ulang.
"Yenni, kamu nggak apa-apa?" tanya Herfian cemas, dia menggenggam tangan Yenni erat.
Yenni sedang terbaring di atas brankar dalam ruangan putih dan berbau obat. Sebelah tangannya terinfus dan sebagian wajahnya ditutupi alat bantuan pernapasan.
Yenni balas menggenggam tangan Herfian kuat. "Herfian, tolong dengerin aku."
Herfian mendekatkan telinga dan mendengar setiap patah per patah yang diucapkan oleh teman seperjuangannya semasa muda dulu. "Selama aku operasi, aku mohon rawat anakku, ya?"
"Jerico, maksud kamu?" tanya Herfian.
Yenni menggeleng pelan. "Aku bisa mengatasi Jerico. Dia bisa tinggal dengan pamannya. Lagi pula dia sudah cukup besar. Aku harap kamu bersedia merawat Felix."
"Felix?" ulang Herfian syok. "Jadi maksudnya, kamu mau misahin Felix dari Jerico? Apa dia tau soal ini?"
Yenni menggeleng. "Dia mungkin sudah lupa punya adik karena aku jarang membawa Felix bermain dengannya. Bisa jadi dia kira kalo Felix itu teman tetangganya atau apa. Intinya, aku nggak mau memberatkan beban paman Jerico. Dia sudah cukup terbebani dengan merawat Jerico. Aku mohon, Herfian, anggap aja aku menagih hutang budimu dulu. Hanya cukup titipkan kepadamu sampai aku selesai operasi. Aku janji akan menghubungimu setelah aku sembuh. Tapi jika ternyata aku nggak berhasil selamat, kamu boleh menitipkannya ke panti asuhan. Biarkanlah aku sendiri yang menanggung dosa ini. Aku juga nggak enak sama Nirina kalo sampai membiarkan kalian menjaga Felix terlalu lama. Aku ini memang orang tua yang nggak berguna. Kalo saja aku bisa hidup lebih lama--"
"Mana boleh begitu?" tegur Herfian. "Anakmu adalah anakku juga. aku janji akan membantumu merawatnya. Yang penting kamu harus sembuh dulu, ya."
"Makasih, Herfian. Kamu memang sobatku paling baik. Bahkan suamiku yang sudah di surga pun memberkatimu. Aku yakin jika aku mati setidaknya aku ingat akan kebaikanmu."
"Jangan khawatir, Yenni. Aku janji akan menjaganya. Yang penting kamu harus sembuh."
"Aku selalu mengingatmu di saat aku berada di antara hidup dan mati," kata Yenni, membuyarkan lamunan Herfian. "Dan aku juga ingat dengan anak-anakku. Terutama Felix. Walaupun nantinya dia nggak akan mengakuiku, itu tidak masalah. Setidaknya aku bisa melihat mereka sampai sekarang. Sampaikan terima kasih aku sama Nirina, ya. Aku udah ngerepotin kalian."
"Kalo begitu, apa kamu sudah menghubungi Jerico?" tanya Herfian. "Aku yakin dia selalu merindukanmu setiap malam. Aku pernah melihat fotomu di balik bantalnya."
Yenni tertawa. "Sudah lama aku nggak lihat Jerico. Setinggi apa dia? Apakah wajahnya ganteng seperti suamiku?"
"Tentu saja wajahku yang paling ganteng. Bahkan anakmu mengakuinya. Hahaha... tapi aku lumayan kaget sama penampilanmu sekarang. Bagaimana bisa penampilanmu berubah jadi drastis begini?"
"Perjalanan hidupku panjang dan bakal aku ceritain pelan-pelan mulai dari sekarang soalnya aku bakal menetap di sini. Ini juga yang mau aku sampaikan ke Jerico. Tapi sebelumnya, aku mau minta maaf sama kamu karena setelah aku selesai operasi aku malah lost contact sama kalian. Nirina nggak marah kan sama aku? Soalnya kalian jadi nambah satu anggota keluarga gara-gara aku. Tapi aku juga sempat mengira mungkin Nirina bakal seneng-seneng aja soalnya dia pernah ngaku sama aku kalo dia pengen punya anak laki-laki juga. Dan bukankah dia sempat senang banget waktu gendong Felix yang baru lahir waktu itu? Aku inget dia pernah bilang, 'Ah ternyata gini ya rasanya punya bayi lagi.'
"Terkesan nyari-nyari alasan, memang. Tapi aku sempat berpikir untuk membiarkan Felix diasuh sama kalian. Meski ujungnya akan berakhir dia nggak tau aku adalah ibu kandungnya, kupikir Felix akan lebih bahagia sama kalian yang berperan sebagai orang tua lengkap untuknya. Kalo dia tau aku adalah orang tuanya yang asli, dia akan dihadapkan dengan kenyataan kalo dia hanya mempunyai single parent yang kehidupannya masih terombang-ambing tidak jelas dan punya sejarah penyakitan kayak aku ini. Jadi aku minta maaf karena sempat egois, Herfian. Kupikir setelah aku berhasil, aku baru berani kembali dan setidaknya aku baru mempunyai muka dan harga diri untuk mengakui kalo aku adalah ibu kandungnya. Kupikir juga, ini satu-satunya solusi yang terbaik," lanjut Yenni setelah tidak ada reaksi apa pun dari Herfian.
"Nggak apa-apa, Yenni. Kamu udah melakukan yang terbaik sebagai orang tua. Setidaknya kamu bisa bertindak sebagai orang tua yang seharusnya. Aku salut sama kamu," kata Herfian sembari berdeham pelan dan menyesap kopi pahitnya dengan perlahan, padahal sebenarnya itu hanya sebagai cara untuk menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.
*****
"Jerico," panggil Yenni, membuat yang dipanggil tersentak. Dia tahu siapa pemilik suara itu. Walaupun kerinduannya memuncak, ada perasaan kesal yang mendominasi sehingga dia sama sekali tidak menoleh ketika Yenni mendekatinya.
"Jerico, Mama is coming home. Don't you miss me?" tanya Yenni lembut dari balik bahu Jerico.
Jerico menggeleng. "Bukannya Mama senang liburan ke Amerika sampai lupa sama anak Mama sendiri? Kenapa masih sediakan waktu buat pulang?" sindirnya.
Yenni menghela napas dan tersenyum lembut. Sekeras apa pun sikap Jerico kepadanya, dia tahu kalau anak pertamanya mempunyai hati yang lembut. "Jerico, Mama tau kamu masih marah sama Mama. Tapi asal kamu tau, Mama nggak pernah lupa sama kamu. Mama selalu rindu sama kamu seperti kamu rindu sama Mama."
"Memangnya Mama ngapain aja sih di Amerika?" tanya Jerico, sedikit melunak, membuat Yenni tak henti-hentinya tersenyum.
"Karena kamu udah dewasa, sudah saatnya Mama cerita semuanya ke kamu. Kamu boleh marah sama Mama setelahnya, tapi biarkan Mama cerita dulu semuanya ke kamu. Oke?"
"Ya deh," jawab Jerico akhirnya. Sebesar apa pun rasa bencinya, tetap saja tidak pernah bertahan lama. Entah kenapa, dia punya firasat kalau mamanya bukan meninggalkannya karena egois, melainkan memang ada alasan.
"Sebelum Mama cerita, kamu boleh kan cerita sama Mama tentang pengalaman kamu disini? Soal Om Herfian juga. Soalnya setelah Mama ngomong sama Om Herfian, Om kamu nggak mau banyak cerita. Bagaimana ceritanya sih, kok kamu bisa tinggal sama Om Herfian? Kalo kamu tinggal sama Om Herfian, berarti kamu tinggal sama anaknya dan istrinya dong ya? Tapi kok Mama nggak liat mereka ya?" tanya Yenni sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan seakan berharap istri Herfian dan anaknya muncul dari balik pintu.
Jerico terdiam. Dia lantas teringat ucapan Herfian yang meminta pertolongannya satu jam yang lalu.
"Jerico, kamu tolongin Om, ya? mamamu sudah kembali dari Amerika dan mau ketemu sama kamu. Kalo mamamu tanya soal keluarga Om, bilang aja mereka tinggal di Jakarta ya? Pokoknya jangan sampai ketahuan Yenni. Kamu janji ya sama Om?"
"Jerico?" panggil Yenni lembut, membuat Jerico tersentak dari lamunannya.
"Ya?" jawab Jerico. "Ma."
Yenni sangat senang Jerico mau memanggilnya dengan sebutan itu. Itu tandanya anak sulungnya tidak pernah membencinya.
"Mama tadi tanya sama kamu, gimana keluarga Om Herfian? Kamu udah ketemu sama Nirina dan Felina belum?"
"Hm... udah kok. Biasanya mereka mampir ke sini kalo liburan," dusta Jerico. "Oh ya, gantian Mama cerita dong. Aku penasaran sama cerita Mama."
Yenni menarik kedua lengan Jerico untuk dibawa ke dalam rengkuhannya. "Maafin Mama, Jerico. Mama punya alasan mengapa Mama ninggalin kamu selama delapan tahun ini. Itulah sebabnya mengapa Mama terpaksa meminta tolong Om Fendy buat ngejagain kamu selama ini."
Yenni kemudian menceritakan segalanya dari awal, termasuk Jerico mempunyai seorang adik laki-laki. Kenyataan itu membuat cowok itu syok. Dari nama yang disebutkan oleh Yenni, namanya adalah Felix.
Jerico segera mengingat nama itu, bahkan pernah bertemu dengannya.
Di rumah ini. Di rumah milik Herfian.
*****
Herfian membuka pintu rumahnya. Hari sudah gelap karena pria itu baru selesai kerja lembur di kantornya. Walau pria itu tidak mengecek arlojinya, dia yakin waktu telah menunjukkan lewat tengah malam.
Herfian memasuki ruang tamu yang gelap gulita dan seketika merasa heran karena biasanya Jerico yang selalu menghidupkan lampu utama. Pria itu sedang bertanya-tanya apakah cowok itu sedang keluar atau kelupaan sementara dia berjalan menuju pojok ruangan untuk menekan saklar.
Herfian hampir saja terlonjak saking kagetnya tatkala melihat ada seseorang yang duduk di sofa pasca menghidupkan lampu. Pria itu lantas menepuk-nepuk bagian jantungnya dengan sayang.
"Jerico, kok kamu di sini? Kenapa kamu nggak nyalain lampu?" tanya Herfian heran dan menghampirinya.
Setelah Herfian duduk, dia menyadari ada yang aneh dengan Jerico yang duduk di seberangnya. "Kamu kenapa? Mama kamu udah dateng, kan? Trus mama kamu mana?"
"Udah pulang," jawab Jerico, masih dengan kepala tertunduk. "Kata Mama, aku punya adik."
Herfian mengerti arah pembicaraan ini. Pria itu lantas berdeham keras. "Mama kamu pasti udah cerita segalanya ke kamu. Jadi Om nggak perlu cerita lagi, kan?"
Jerico mengangkat kepalanya. Herfian bisa melihat mata itu sembab, sepertinya dia baru saja habis menangis. "Kenapa Om nggak pernah cerita sebelumnya kalo aku punya adik? Aku bahkan udah pernah bertatap muka sama dia, tapi aku nggak tau dia itu adik aku."
"Maaf, Jerico. Om hanya pikir akan lebih baik kalo mamamu sendiri yang cerita. Om nggak berhak untuk itu."
"Apakah itu sebabnya Felina salah paham sama Om? Dan istri Om juga? Mereka pikir Felix adalah anak haram Om dengan wanita lain yang adalah Mama aku sendiri?"
Herfian mengangguk pelan. "Benar. Tapi salah Om karena nggak pernah jujur dan cerita. Om langsung pergi gitu aja setelah itu. Jerico, Om harap kamu jangan nyinggung hal ini lagi. Om akan atasi sendiri masalah Om. Yang penting Om lega karena kamu udah nggak salah paham lagi sama mama kamu. Asal kamu tau, dulu hidup mama kamu sangat menderita. Yang harus kamu lakukan sekarang adalah bantuin mama kamu untuk jelaskan semua ini ke adik kamu."
"Ini nggak adil, Om!" hardik Jerico marah. "Bagaimana mungkin Om biarkan mereka benci Om gitu aja? Om sama sekali nggak salah! Walaupun Om nggak jelasin ke mereka dari awal, tapi kenapa mereka nggak pernah nanya? Kenapa mereka nggak nyari Om? Kenapa harus Om yang harus bertekuk lutut ke mereka?"
"Jerico, kamu nggak ngerti! Saat itu seharusnya Om bilang aja ke mereka kalo Felix adalah anak sobat lama Om, bukan anak Om. Tapi saat itu... sudahlah, Jerico! Om minta kamu jangan ungkit masalah ini lagi! Ini masalah Om, kamu nggak berhak ikut campur! Kamu hadapi masalah kamu sendiri, oke?"
Herfian segera bangkit dari sofa dan meninggalkan Jerico begitu saja, padahal cowok itu telah membuka mulutnya untuk menyuarakan apa yang ada dalam pikirannya.
Termasuk jujur pada Herfian kalau dia telah bertemu dengan Felina Anggara secara langsung.
Jadi sekarang, apa yang harus dilakukannya?
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top