13). Promise and Upset
Felix mengikuti pengarahan Masa Orientasi Siswa dengan perasaan malas. Sudah menjadi tradisi para senior di sekolah yang memegang kendali sebagai penanggung jawab MOS. Selama tiga hari berturut-turut mereka harus tunduk sepenuhnya dan Felix berharap semoga tiga hari terkutuk itu segera berlalu.
Untunglah selama tiga hari MOS, Felix bisa menjalaninya dengan baik tanpa terkena hukuman atau yang terparah mempertaruhkan statusnya sebagai murid baru di SMA Asoka. Setelah MOS berakhir, masa belajar pun dimulai. Felix sekelas dengan Remmy di kelas X MIPA-1, sedangkan Dido dan Ardi di kelas X MIPA-2.
Felix segera merebut bangku favoritnya di dekat jendela barisan belakang supaya dia bisa menyegarkan matanya ke luar jendela di kala bosan. Remmy menyusul dan segera duduk di sebelahnya. Berbeda dengan Felix, dia lebih suka mengedarkan pandangannya ke sekeliling kelas dan mengajak teman baru untuk bersosialisasi.
Murid-murid lain juga melakukan hal yang sama; mencari bangku favorit mereka. Kawasan bangku di bagian belakang lebih banyak diminati, terbukti dari bangku barisan depan yang masih banyak kosong. Felix tidak terlalu memperhatikan siapa saja murid-murid yang sekelas dengannya. Pemandangan di luar jendela jelas jauh lebih menarik dari apa pun.
Bel berdering tidak lama kemudian, menjadi alarm bagi semua murid yang berada di luar untuk segera masuk dan menempati bangku mereka masing-masing. Seorang guru berkacamata tebal masuk ke dalam ruang kelas. Beliau adalah Bu Dina, wali kelas X MIPA-1.
"Sebelum kita memilih pengurus kelas, Ibu ingin mengatur tempat duduk kalian. Ibu tidak setuju jika kalian duduk berdasarkan kemauan kalian sendiri. Lihat saja sekarang, semuanya duduk dengan sesama jenis. Ibu harus pindahkan kalian semua supaya tidak ribut. Dengan demikian, sesi belajar-mengajar kita akan lebih fokus," tutur Bu Dina setelah merespons salam dari anak didiknya.
Terdengar protes keras dari murid-murid, membuat Bu Dina terpaksa harus memukul papan tulis dengan sebilah rotan untuk mengalahkan keributan. Meskipun demikian, beliau tetap saja bersikukuh memindahkan murid-muridnya.
Proses pindah-memindah menghabiskan waktu yang cukup lama karena sepertinya beban di bokong para murid bertambah tiga kali lipat, sama halnya saat mereka berjalan ke bangku yang telah ditentukan oleh wali kelas mereka.
Felix bersyukur karena dia bertahan di bangku favoritnya meski dia harus dipisahkan dari Remmy. Cowok berkulit sawo matang itu kini duduk di dua bangku di depannya, bersebelahan dengan cewek berambut ikal.
Felix memutuskan lebih baik kembali menikmati pemandangan di luar jendela ketika ada gerakan seseorang yang meletakkan tas di sebelah bangkunya, membuat cowok itu menoleh.
Ekspresi wajah Felix agak kacau sekarang karena setelah menunjukkan tatapan penuh celaan, dia harus syok ketika mengenal siapa cewek yang duduk di sebelahnya itu.
"Meilvie?" panggil Felix dengan suara yang cukup untuk mengalihkan perhatian sebagian murid di sekitar mereka meski hanya sebatas barisan belakang.
Yang dipanggil hanya melirik sekilas, tersenyum sedikit, lalu mengeluarkan bukunya tanpa menoleh lagi.
Felix tidak tahu apakah hari-harinya sebagai murid baru akan menjadi lebih menyenangkan atau justru menjadi bencana.
*****
Felina mendengus kesal. Dia benar-benar tidak percaya dengan apa yang dilihat dan didengarnya setengah jam yang lalu. Dia tidak menyangka bahwa Vino, paman sekaligus sahabat terdekatnya akan mengkhianatinya seperti ini.
Felina mencoba berpikir jernih, tetapi sekeras apa pun usahanya untuk memahami maksud Vino, tetap saja dia tidak habis pikir dengan rencana konyol pamannya itu. Bagaimana mungkin setelah semua yang terjadi, setelah semua usaha yang dilakukan cewek itu untuk bertahan hidup, dan bahkan setelah semua jerih payah yang dilakukan cewek itu untuk menerima cobaan hidupnya, Vino dengan gampangnya mengusulkan ide yang terlalu konyol untuk dipercaya.
Atau kasarnya, terlalu sinting untuk Felina penuhin.
Felina duduk di bangku panjang di halte bis terdekat. Matanya diarahkan ke tanaman liar yang tumbuh di dekat plang bis yang warna pada rambu petunjuknya telah pudar termakan waktu, tetapi tatapannya kosong.
"Vin, sebenarnya ada apa sih lo ajak gue ke sini kalo mau ngomong? Bukannya lebih nyaman kalo kita ngomong di rumah? Lebih santai juga," tanya Felina gagal paham, tetapi cewek itu menikmati jus alpukat yang baru saja dipesannya. "Eh tapi jus di sini enak juga, ya."
Vino tersenyum. "Tenang aja, hari ini gue yang bayarin."
"Trus? Maksud lo ajak gue ke sini hanya buat minum doang?" tanya Felina tidak percaya. "Jangan bilang ini demi misi pendekatan lo sama Cindy."
Vino menggelengkan kepalanya, sikapnya mendadak gugup dan dia tidak henti-hentinya menghela napas pendek, membuat Felina bingung. "Ada yang mau gue sampaikan ke lo. Tapi boleh janji dulu nggak, lo nggak akan marah sama gue?"
Felina tertawa. "Kenapa, sih? Langsung bilang aja deh! Selama ini lo juga nggak pernah minta izin dulu kalo mau buat gue marah. Lo nih ada-ada aja."
"Lo ingat kan soal janji lo ke gue? Tentang syarat yang harus lo penuhin kalo gue ijinkan Felix dan Cindy tinggal di rumah gue."
Felina mengangguk mantap. "Tapi itu nggak penting lagi deh sekarang soalnya bisa dibilang ini kayak win-win solution, kan? Bukannya lo bersyukur ternyata Cindy tinggal di rumah lo?"
Wajah Vino memerah dengan segera. "Iya sih, cuma menurut gue ini penting dan lo harus kabulin apa pun syarat gue, oke?"
"Memangnya apa sih syarat lo? Mau gue nyuci piring selama sebulan? Boleh-boleh aja," tantang Felina.
"Ck. Pokoknya lo harus janji dulu," desak Vino. "Apa pun syarat yang akan gue ajukan nantinya, lo nggak boleh nolak."
"Iya deh," kata Felina akhirnya. "Kalo gitu cepetan kasih tau gue."
"Gue... gue mau lo ketemu sama Kak Herfian."
Vino mengatakannya dalam satu tarikan napas dan cepat, tetapi sangat jelas di telinga Felina. Cewek itu menatap nyalang pada Vino sekaligus tidak percaya. "Maksud lo apa, Vin? Kenapa gue harus ketemu sama dia? Lo lupa ya, dia alasan kenapa gue bisa benci menginjakkan kaki gue di Bandung? Karena dia, kehidupan gue hancur, begitu juga kakak lo! Apa lo udah lupa? Sekarang setelah gue mulai nerima kota ini sebagai bagian dari hidup gue demi Felix, lo malah nyuruh gue ketemu sama dia?"
"Fel, dengerin gue dulu," jawab Vino, tatapannya sarat akan perasaan bersalah yang mengental. "Gue—–"
"Oke, sekarang lo jelasin alasan lo, gue akan dengerin! Tapi jangan harap gue mau ketemu sama dia! Gue nggak habis pikir ya, Vin! Selama ini gue pikir lo ngertiin gue banget, lo pahami perasaan gue! Trus sekarang kenapa lo yang nyuruh gue buat ketemu sama pria itu?"
Felina diam, cewek itu tidak berkata apa-apa lagi. Dia sangat kecewa dengan Vino sekarang. Sementara Vino, dia juga bungkam dan berusaha mencari kata-kata yang cocok untuk menenangkan hati Felina.
"Gue paham perasaan lo sekarang. Tapi coba deh lo liat sisi Kak Herfian juga. Gue yakin ada salah paham di antara kalian. Setidaknya lo dengerin penjelasan Kak Herfian dulu, dia—–"
"Penjelasan apa lagi, Vin? Bukannya dulu udah jelas, dia ninggalin gue dan kakak lo? Trus setelah itu, apa? Dia nggak pernah nyari kami lagi! Lo tau udah berapa lama dia ninggalin kami? Delapan tahun, Vin, dan lo tau itu! Delapan tahun sejak gue berumur sembilan tahun! Apa itu masih belum cukup menunjukkan berapa lama waktu yang terlewatkan?"
Vino hendak membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi segera dipotong oleh Felina. "Oke! Fine! Kalo lo mau bilang setiap orang punya salah, setiap orang khilaf, dan setiap orang bisa dimaafkan! Tapi lo tau apa yang membuat gue nggak bisa maafin dia?"
Vino tidak menjawab, sementara Felina menghela napas panjang untuk menahan jatuhnya air mata. "Di saat mama gue membesarkan gue seorang diri, mencari nafkah untuk kehidupan kami, apa yang dia lakukan? Meratapi penyesalannya? Menyalahkan dirinya sendiri, itu maksud lo, Vin?"
Felina menelan salivanya dengan susah payah karena mendadak saja tenggorokannya serasa tercekat dan pada saat bersamaan, air matanya sedang berlomba-lomba untuk melepaskan diri dari mata beningnya. Cewek itu berusaha semaksimal mungkin untuk menahan jatuhnya air mata dengan mendongakkan kepalanya ke atas. "Jika memang pria itu mau menjelaskan semuanya, kenapa nggak dari dulu? Kenapa harus sekarang, di saat gue udah mulai menerima sikap dia yang sangat nggak bertanggung jawab itu? Lo tau, apa pun kesalahan dia, setidaknya dia harus berada di sana dan menjelaskannya kepada kami waktu itu. Apa gunanya kabur? Kalau memang ada kesalahan, kenapa dia nggak menjelaskannya dari dulu? Kenapa harus tunggu sampai delapan tahun?"
"Justru itu, Fel, lo harus denger sendiri penjelasan Kak Herfian kenapa dia harus menunggu delapan tahun buat jelasin semuanya ke elo," kata Vino akhirnya setelah jeda lagi di antara mereka. "Plis, Fel. Lo mesti kasih kesempatan buat Kak Herfian jelasin semuanya sebelum terlambat. Gue yakin, jauh dari lubuk hati lo yang paling dalem, lo sebenarnya kangen kan sama Kak Herfian? Begitu juga Kak Nirina. Gue yakin itu. Itulah sebabnya kenapa Kak Nirina sampai sekarang belum cerai sama Kak Herfian."
"Sejak kapan lo jadi ngebela pria itu, Vin?" tanya Felina dingin, mengabaikan jus alpukatnya yang bagian luar gelasnya telah basah karena es kristalnya telah mencair. "Oh, gue jadi paham sekarang. Lo berusaha ngajak gue kuliah di Bandung dan tinggal sama lo hanya karena ini, kan? Lo dibayar berapa sih sama pria itu?"
"FELINA!" hardik Vino, berseteru dengan keponakannya untuk pertama kali.
Yang dibentak kontan mendengus keras, menertawakan situasi meski ekspresinya gagal karena air matanya telah telanjur tumpah dalam intensitas yang banyak, membuat Vino menatap semua itu dalam diam dan segera merasa bersalah.
"Fel, gue—–"
"Ini pertama kalinya lo ngebentak gue. So? Posisi lo sekarang sebagai apa, Vin? Lo ngebentak gue sebagai paman yang tercinta atau sahabat dekat gue?"
"Dua-duanya," jawab Vino pelan, masih bertahan dengan ekspresinya tetapi Felina telanjur menatapnya kecewa.
"Justru itu, Vin. Posisi lo sebagai keluarga dan sahabat gue, tapi kenapa lo malah ngecewain gue kayak gini?"
"Felina..."
"Sori, Vin. Gue nggak bisa pura-pura bersikap semuanya baik-baik aja. Beri gue waktu buat ngambek sama lo jadi jangan ajak gue ngomong, gue serius."
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top