12). First Crush

Mobil Vino melaju ke jalan tol setelah trio Felina, Vino, dan Felix masuk ke dalamnya. Mereka berencana akan langsung menemui Cindy di Universitas Asoka. Rupanya cewek itu satu kampus dengan Vino, namun kenyataannya jelas tidak memungkinkan bagi cowok itu untuk mengetahui Cindy kuliah di sana mengingat jumlah mahasiswanya yang tidak sedikit itu.

Berdasarkan informasi dari Felix, Cindy sekarang semester empat dan sedang mengikuti Ujian Akhir Semester. Kesimpulannya, itu berarti dia adalah adik tingkat Vino.

Mereka menunggu Cindy di bangku panjang yang letaknya strategis sehingga jika cewek itu keluar, mereka bisa langsung menemuinya. Benar saja, tidak lama kemudian ketika ada gerombolan mahasiswa yang keluar secara bersamaan lewat pintu lebar, Felix bisa menemukan Cindy tanpa kesulitan.

"Cindy!" panggil Felix, membuat yang dipanggil segera menoleh dan refleks tersenyum lebar.

Cindy segera memperlebar langkahnya untuk menghampiri Felix, sementara Felina yang semula duduk di bangku panjang bersama Vino segera mendekat untuk nimbrung.

"Hai. Lo Cindy, kan?" tanya Felina sopan sambil mengulurkan sebelah tangan untuk menyalaminya, yang dibalas oleh Cindy dengan ekspresi bingung meski akhirnya dia menyambut salamnya. "Gue Felina, kakaknya Felix. Senang kenalan sama lo. Hmm... jadi gini. Singkat cerita, gue udah memutuskan untuk tinggal di Bandung dan rencananya gue mau tinggal sama Felix. Gue denger kalian tinggal di apartemen, ya? Hmm... gue punya ide, nih. Gimana kalo lo sama Felix tinggal sama gue? Sebenarnya bukan rumah gue, sih. Itu rumah Vino--paman gue. Vin...." Felina refleks menoleh ke samping, mengira Vino berada di sampingnya, namun ternyata tidak. Alih-alih menghampiri mereka, cowok itu masih bergeming di bangku panjang. Ekspresinya agak aneh, seperti sukses dibuat membeku gegara sesuatu.

Geregetan, Felina berteriak, "Etdah, Vin! Lo ngapain bengong gitu? Cepetan ke sini!"

Vino mendongakkan kepala dan herannya, wajahnya memerah. Felina merasa cowok itu seperti kerasukan setan. Maka dari itu, dia lantas menghampiri Vino dan menarik sebelah tangannya. "Lo kenapa, sih? Lagi nggak enak badan atau lagi kesambet arwah random?"

Tiba-tiba saja, Vino mengelus bagian dadanya berkali-kali dengan ekspresi ngeri. "Gue kenapa sih? Kok gue jadi gini?" gumamnya pelan, berbicara lebih pada dirinya sendiri.

"Ish! Lo kenapa sih? Udah, ah!" sembur Felina kesal. "Cepetan kita ke sana! Mereka udah nungguin kita loh!"

Keduanya segera bergabung dengan Cindy dan Felix, meski Vino melangkahkan kakinya ragu seakan dia dipaksa menggantikan Presiden untuk berpidato. "Kenalin, dia Vino--paman gue."

Felina menyikut pinggang Vino dengan siku dan memberi tatapan peringatan lewat sudut matanya. Jelas, cewek itu memerintahkan pamannya untuk berinisiatif mengulurkan tangannya terlebih dahulu.

Vino mengulurkan tangannya dengan gerakan yang sangat lamban, membuat Felina merasa ada sesuatu yang tidak beres. Hingga ketika keduanya berhasil bersalaman, Felina merasa yakin kalau pamannya mendadak terserang sindrom aneh.

"Nah, kembali lagi ke topik yang gue bicarakan tadi. Gue ada ide gimana kalo lo dan Felix tinggal di rumah gue--eh maksud gue, rumahnya Vino? Menurut gue, ini ide yang cukup bagus jadi kalian nggak perlu tinggal di--"

"Maaf," potong Cindy pelan meski ada nada tegas dalam suaranya. "Saya rasa itu bukan ide yang bagus. Saya nggak terbiasa kalo tinggal serumah dengan banyak orang, apalagi orang asing. Atau... setidaknya biarkan saya pertimbangkan terlebih dahulu sebelum saya kasih tau jawaban yang pasti. Felix, aku tunggu kamu di mobil ya."

"Gue coba ngomong sama Cindy dulu deh ya," hibur Felix pada Felina setelah punggung Cindy menjauh. "Gue rasa ini semua terlalu mendadak bagi dia. Gue yakin, dia pasti kesel sama gue karena gue nggak cerita sebelumnya ke dia. Ntar malam gue kabari lo ya, Fel? Siniin ponsel lo, gue masukin nomer WA gue."

Felina mengangguk pada akhirnya. Benar juga, seharusnya dia tidak perlu terburu-buru seperti itu. Cindy pasti kaget dengan berita yang tidak terduga ini, apalagi mengajaknya untuk tinggal bersama dengan orang yang tidak dikenalnya.

"Vin, lo kenapa sih?" tanya Felina sambil mendecakkan lidah setelah punggung Felix menjauh untuk menyusul Cindy. Felina jadi merasa kalau gelagat Vino turut andil. Gimana ya, bisa saja kan cewek itu merasa Vino terpaksa menyetujui mereka untuk tinggal di rumahnya? "Nggak sinkron deh, lo! Gue memang bilang gue yang bakal ngomong langsung ke Cindy, tapi ya bukan berarti lo diem aja sampai bengong gitu!"

"Gue nggak tau," jawab Vino setelah jeda beberapa saat dan berhasil menenangkan dirinya sendiri. "Setelah lihat Cindy, gue kok jadi aneh begini, ya?"

Tadi sewaktu melihat wajah Cindy, apalagi saat cewek itu menatap langsung ke mata Vino, dia merasa seluruh ototnya lemas dan wajahnya panas. Dadanya juga berdebar tidak keruan. Ada apa ini?

"It can't be love at first sight, right?" tanya Felina, refleks mendengus geli setelah meneliti ekspresi wajah Vino.

"Gue? Jatuh cinta sama dia?" ulang Vino dengan mimik wajah menyebalkan dan bermakna denial yang kentara. "It can't be true! Lagian gue nggak pernah percaya sama jatuh cinta pada pandangan pertama. Terlalu cheesy menurut gue."

"Oh ya? Tapi ciri-ciri lo sekarang persis seperti yang gue saksikan lewat drama-drama yang gue tonton. Salah satu yang paling berkesan, katanya kita hanya perlu tiga detik buat jatuh cinta," tutur Felina enteng, seenteng menaikkan kedua bahunya dengan cuek. "Meski gue juga nggak pernah percaya. Terlalu cheesy menurut gue."

Ekspresi Vino sekarang seperti sedang ditonjok dan dia menatap Felina balik dengan tatapan menuduh. "Kalo pendapat kita sama, kenapa lo harus jelasin tentang drama segala?"

*****

Felina tersenyum gembira karena barusan Felix mengabarinya kalau Cindy setuju tinggal bersama asalkan dia yang membayar biaya sewa yang semestinya dibebankan pada Felix. Dengan kata lain, Cindy membayar dua kali lipat. Felina sendiri sebenarnya tidak mengerti mengapa cewek itu harus membayar bagian Felix padahal cowok itu adalah bagian dari keluarganya. Namun dikarenakan tidak ada yang protes, tidak terkecuali Vino yang notabenenya adalah pemilik rumah, akhirnya Felina memutuskan untuk tidak memperpanjang masalah ini.

Mungkin Cindy merasa dia mempunyai hak atas Felix mengingat cewek itu adalah pacarnya. Yang jelas, apa pun itu, kenyataannya sekarang adalah Felina bisa tinggal bersama-sama dengan Felix sesuai harapannya.

Rencananya Felix dan Cindy akan pindah besok pagi. Oleh karena itu, pagi-pagi sekali Felina sudah siap menunggu di halaman rumah, diikuti Vino, bahkan dia telah menyiapkan sarapan, membuat cewek itu yakin kalau ini ada hubungannya dengan Cindy.

"Gue rasa nggak bakal sopan kalo kita nggak nyiapin apa-apa," jelas Vino membela diri setelah melihat ekspresi Felina, yang menaikkan sebelah alisnya saat melirik sebakul besar nasi goreng spesial lengkap dengan kerupuknya.

Mobil Cindy sampai ketika jarum jam menunjukkan pukul sepuluh lewat seperempat. Awalnya Felina mengira pagi ini akan menjadi pagi yang sibuk karena membayangkan banyak barang yang harus dipindahkan, tetapi ternyata realitanya berbeda. Cindy hanya membawa koper berisi pakaian, begitu pula dengan Felix.

"Hmm... hanya ini nih barang-barangnya?" tanya Felina sembari mengecek kembali bagasi mobil milik Cindy, mengira dia akan menemukan barang lain yang harus dibawa ke dalam rumah Vino.

"Barang gue banyak dan gue bisa nyuruh mobil pengangkut untuk bawa barang gue, cuma masalahnya gue belum tau seluas apa rumah paman lo," jawab Cindy kalem, membuat Felina mengerjapkan matanya tanpa berkata-kata. Nadanya terdengar menyebalkan, tetapi harus dia akui kalau apa yang dikatakan Cindy tidak salah.

"Hmm... bener juga. Gue bantu bawain kopernya, ya?" Tidak disangka-sangka, Vino maju dan menawarkan diri untuk membantu Cindy, padahal barang bawaannya hanya sebuah koper yang ukurannya tidak terlalu besar.

Vino jelas sedang berusaha melakukan yang terbaik sebagai tuan rumah, sementara diam-diam Felina tersenyum geli.

"Nggak usah, biar gue sendiri aja. Lagian cuma koper doang kok, nggak usah repot-repot," tolak Cindy halus sambil berusaha melepaskan kopernya yang pegangannya telah digenggam oleh Vino.

"Tapi kopernya berat banget, kan." Vino keras kepala, tidak mengijinkan Cindy menarik kopernya. Tindakan tarik-menarik tersebut secara tidak terduga malah menyebabkan kopernya terbuka dan isinya berhamburan, membuat cewek itu mendengus kesal dan dia tidak punya pilihan lain selain menekuk kaki untuk memungut pakaiannya. Sialnya, Vino juga melakukan hal yang sama di waktu yang bersamaan sehingga kepala keduanya terbentur.

"Aw!" teriak mereka kompak. Felina yang berdiri di dekat mereka berusaha menahan tawanya. Pamannya jelas sedang melakukan pencitraan di depan Cindy walau kenyataannya malah membuat segalanya bertambah kacau.

Sesuai rencana, Felix sekamar dengan Vino dan Felina sekamar dengan Cindy. Ternyata Felina tidak memerlukan waktu lama untuk mengakrabkan dirinya dengan Cindy. Cewek itu jauh lebih ramah dibandingkan awal perkenalan mereka di kampus.

Mungkin apa yang dikatakan orang-orang benar, kita tidak boleh menilai seseorang berdasarkan kesan pertama.

"Biar gue yang cuci piringnya," tawar Vino dari belakang Cindy ketika cewek itu meletakkan piring kotornya di bak cuci.

"Thanks," ucap Cindy pelan, sementara Vino tersenyum lebar padanya. Felina yang menyimak situasi ini segera mengambil kesempatan. Dia menghampiri pamannya lalu ikut meletakkan piring dengan senyum yang tidak kalah lebarnya.

"Cuci punya gue juga, ya."

Vino memonyongkan bibirnya dengan kesal, tetapi dia tidak bisa protes karena tidak ingin pencitraannya jadi rusak hanya karena keponakannya.

"Lo ngaku aja deh, lo bener-bener love at first sight kan sama Cindy?" bisik Felina dengan nada menggoda sambil melipat tangannya sementara Vino yang sedang mencuci piring segera membeku dan wajahnya memerah dalam sekejap.

"Hmm... jelas banget, ya? Tapi gue sadar ini nggak bisa dilanjutin. Cindy itu kan pacarnya Felix."

"Lo nggak usah cemas. Felix tuh cuma anggap dia sebagai kakaknya doang, sama seperti dia anggap gue sebagai kakaknya," hibur Felina, membuat Vino auto tersenyum senang. Saking senangnya, dia lupa kalau piringnya sudah bersih. Alhasil, dia menggosok di piring yang sama dengan spons berkali-kali.

"Kalo gitu gue mesti ngomong sama Felix, nih." Vino berujar senang. "Thanks, Fel. Lo harus bantuin gue."

"Ck, tapi kayaknya susah deh. Gue liat Cindy tuh kayak udah cinta mati sama Felix. Lo yakin bisa buat cewek itu berpaling sama lo?"

Vino menciprati Felina dengan air, membuat cewek itu memekik kesal. "VINO!"

Untung saja Cindy dan Felix sudah kembali ke kamar mereka masing-masing sehingga Felina dan pamannya bisa leluasa berbicara sekarang.

Vino membilas tangannya di bawah keran sebelum menatap Felina dengan kesal. "Lo gimana sih? Tadi lo bilang gue nggak usah cemas, seakan-akan mau bantuin gue. Sekarang lo malah bilang susah! Sebenarnya lo mau bantuin gue nggak, sih?"

"Nggak nyangka ya, dalam waktu sesingkat ini, lo cepet banget jatuh cinta. Udah gitu langsung ke level bucin lagi."

"Heh--"

"Jadi kayak gini ya rasanya jatuh cinta?" gumam Felina heran, mengabaikan Vino yang mencak-mencak sendiri saking kesalnya pada sang keponakan. "Sampai rela lakuin apa aja untuk dapetin orang yang kita suka? Apa sih yang lo suka dari dia?"

Vino menoyor kepala Felina dengan jari telunjuknya. "Lo masih kecil, nggak usah banyak nanya. Belajar aja sana!" Kemudian cowok itu meninggalkan Felina sendirian di dapur.

"Arrrgggghhh! Awas aja lo, Vino! Siapa sih yang tadi bilang mau minta bantuan gue?" teriak Felina, gantian dia yang mencak-mencak sendiri saking kesalnya pada sang paman.

*****

"Felix, ada yang mau gue tanyakan sama lo." Vino berkata dengan bisikan yang tidak perlu, membuat Felix heran. Gelagatnya seperti sedang melakukan misi rahasia, dia bahkan mengunci pintu kamarnya.

"Ya? Ada apa, Kak Vino?" tanya Felix. Cowok itu sedari tadi melihat-lihat koleksi buku Vino yang ternyata sebagian besar berhubungan dengan psikologi.

"Lo... hmm... maksud gue...." Vino terbata-bata. Setelah menghela napas panjang-panjang, cowok itu akhirnya berkata, "Gue denger dari Felina, lo nggak sedang pacaran sama Cindy ya--hmm... maksud gue, lo anggap Cindy bukan sebagai pacar, ya? Sori, maksud gue, lo ada hubungan apa sama Cindy? Aduh--" Vino menepuk jidatnya dengan kekuatan penuh, "--maksud gue, Cindy bertepuk sebelah tangan ya? Hmm--bukan...."

"Kak Vino naksir sama Cindy, ya?" tanya Felix kalem sekaligus frontal, membuat Vino syok seketika.

"Lo... lo...." Vino gagap dengan wajah bak kepiting rebus, kemudian segera berdeham keras untuk menutupi rasa gengsinya. "Hmm... kelihatan jelas, ya?"

Felix mengangguk. "Nampak jelas, kok. Gue rasa Cindy juga tau kalo Kak Vino naksir dia. Tapi satu hal yang pasti, Kakak nggak perlu cemas karena gue nggak ada perasaan lebih dari hubungan kakak-adik ke Cindy."

Vino refleks tersenyum, tetapi cepat-cepat menghilangkan senyumnya sebelum Felix melihat.

"Tapi, sebelum kita bahas ini lebih lanjut, gue boleh nanya nggak, Kak Vino?" tanya Felix sambil mengedarkan pandangannya ke koleksi buku Vino yang disusun rapi di rak kayu yang lumayan besar. "Ini semua buku Kak Vino, ya?"

Vino mengangguk. "Yoi. Kenapa emangnya?"

"Kak Vino gemar buku psikologi, ya? Kakak tau tentang PTSD?"

"PTSD?" ulang Vino. "Itu singkatan dari Post-Traumatic Stress Disorder, kan?"

"Kak Vino tau?" tanya Felix dengan mata melebar seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.

"Iya dong," jawab Vino mantap. "Gue kan lulusan S1 psikologi. Gue tau hal-hal kayak gitu meski gue nggak lanjut buat ambil spesialisasinya atau minimal ikut program magang di rumah sakit. Memangnya kenapa?"

Felix tersenyum lebar. Dia segera menceritakan segalanya tentang masalah yang dihadapi oleh Cindy. Jauh di dalam lubuk hatinya, dia berharap akan ada seseorang yang menyelamatkan cewek itu. Entah kenapa setelah mengetahui Vino menyukai Cindy, Felix yakin bahwa Cindy telah menemukan orang yang tepat.

"Apa?" pekik Vino kaget setelah Felix menceritakan hal itu kepadanya. "Lo nggak bohong, kan?"

Felix menggeleng. "Gue mau sembuhin Cindy, tapi sampai sekarang gue nggak tau mau gimana ngomong sama dia. Gue udah kenal dia, jadi gue yakin dia nggak mungkin mau cerita sama siapa-siapa. Gue takut dia bakal syok kalo gue ungkit masa lalunya, makanya gue nggak berani."

"Dia harus jalani psikoterapi kalo mau sembuh," kata Vino pelan. "Tapi thanks, ya. Lo udah mau cerita ke gue. Hmm... tapi kalo misalnya lo nggak cerita ke gue pun, lama-lama gue juga pasti bakal tau karena gue udah hapal gejala penderita PTSD sebelumnya; mulai dari yang umum hingga hal spesifik lainnya."

"Kak Vino tau cara nyembuhin dia?" tanya Felix dengan mata berbinar sementara Vino mengangguk.

"Gue harus deketin dia dulu baru bisa nyembuhin dia. Untuk kasus Cindy, gue tau itu nggak gampang karena dia udah berkali-kali mengalami trauma. Tapi dari cerita lo tentang dia udah lepas total dari obat penenang, gue optimis recovery total dari Cindy. Ini masih belum terlambat, Felix. Percaya sama gue."

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top