11). And Then, Stand by Him

"Lepasin gue, Fel!" hardik Felix sebal, berusaha memberontak tetapi tenaga Felina jauh lebih kuat. Cewek itu tidak memedulikan teriakan atau pun protes sampai keduanya tiba di taman kecil yang tidak jauh dari Siliwangi Bowling. Di sana ada sejumlah tanaman hias, dilengkapi bangku panjang.

Felix mengelus telinganya sembari melirik Felina dengan kesal. Telinganya tidak hanya sakit, tetapi juga merasa telah dipermalukan di depan teman-temannya. Meskipun demikian, kekesalannya tidak berlangsung lama setelah menyadari perubahan signifikan dari gadis di hadapannya. Felina yang dulu sangat berbeda dengan yang sekarang. Bahkan rambutnya jauh lebih pendek meskipun potongan tersebut cocok untuknya.

Keduanya memperhatikan perubahan satu sama lain selama beberapa saat. Kenyataan mereka terpisah selama kurang lebih 8 tahun itu membuat mereka takjub akan perubahan masing-masing. Namun terlepas dari perubahan mereka, Felix menyadari satu hal penting; Felina tidak membencinya.

"Sekarang lo cepetan kasih tau gue," bisik Felina. Untung saja daerah tersebut lumayan sepi sehingga Felix masih bisa mendengarnya. "Gimana kehidupan lo di sini? Gue baru-baru ini tau kalo lo nggak tinggal lagi sama dia."

Felix cukup mengerti siapa yang Felina maksud. 'Dia' pasti adalah Herfian, ayah kandung mereka. Entah kenapa setelah mendengar cara Felina menyebut kata 'dia', membuat cowok itu merasa menyesal karena tidak mencari keberadaan Felina setelah dia kabur. Cowok itu juga baru menyadari kebenaran yang lain; Felina sepeduli itu padanya.

"Gue... memang bener, gue kabur dari dia. Gue... gue... hmm... gue nggak tau mesti ngomong apa ke lo. Tapi lo kenapa nyari gue? Gue masih nggak ngerti alasan sebenarnya lo masih mau nyari gue."

"Lo masih nanya kenapa gue nyari lo?" ulang Felina dengan nada jengah, kemudian melangkahkan kakinya hingga jarak mereka tidak lebih dari setengah meter. "Lo pasti benci sama gue, kan? Lo pasti anggap gue kakak tiri gila yang nyari keberadaan adik tirinya, padahal seharusnya gue benci sama lo, begitu juga dengan lo! So? Lo harap gue pergi dari hadapan lo kan sekarang?"

"Bu-bukan gitu maksud gue. Gue... yahh... setelah semua yang terjadi, gue... gue rasa nggak pantes aja ketemu sama lo. Keluarga lo hancur karena gue. Andai gue nggak pernah ada, kalian nggak akan terpisahkan. Semua yang terjadi itu jelas-jelas karena gue. Gue yang menghancurkan keharmonisan kalian."

Alih-alih menjawab, Felina mengangkat kedua lengannya sekali lagi untuk memeluk Felix erat, kali ini terkesan beda karena dia menepuk pundaknya dengan sayang, seakan ingin menegaskan kalau cewek itu ada untuknya. Mereka berpelukan erat dalam diam, seakan mereka saling menyalurkan perasaan rindu.

Felix ikut mengulurkan tangannya, membalas pelukan Felina. Perlahan namun pasti, cowok itu mulai menitikkan air matanya. Dalam diam, air mata menjadi perwakilan semua perasaannya selama ini. Fakta bahwa Felina sepeduli itu dan mau mendatanginya duluan, membuat dia begitu terharu.

Tangisan Felix serasa menular karena Felina juga ikut menitikkan air matanya saat mendengar isakan tertahan dari adik tirinya itu. Cewek itu merasakan empati yang membuncah dari dalam dada karena pada kenyataannya, Felix kurang mendapatkan kasih sayang dari lingkungan keluarga. Mungkin itulah sebabnya mengapa kekuatan Felina untuk mencari Felix lebih besar dari siapa pun.

"Gue baru tau ternyata efeknya separah ini setelah dipeluk sama keluarga yang benar-benar bersikap seperti keluarga," bisik Felix dari balik punggung Felina, berusaha terdengar konyol tetapi gagal hingga kesannya menyedihkan.

"Maafin gue ya, Lix, karena gue baru sekarang nyari lo." Felina berucap sungguh-sungguh, segera menghapus air matanya supaya terlihat tegar, dan melepas pelukan untuk memandang adik tirinya sepanjang lengan. "Meski terlambat, gue harap masih diberikan kesempatan untuk menjadi kakak yang baik buat lo."

Felina menarik sebelah lengan Felix untuk membawanya duduk bersama di bangku panjang, lantas berkata, "Kalo gue ajak lo tinggal sama gue, lo mau?"

Felix menoleh cepat dalam usahanya menghapus jejak air matanya. "Hah?"

"Gue... jujur, gue selalu menghindari kota Bandung dan secara nggak langsung jadi benci gara-gara dia. Tapi sekarang setelah ketemu lo, gue berubah pikiran. Bandung itu luas kok. Kalopun gue ketemu sama dia, gue akan pura-pura nggak tau lagian dia juga udah nggak punya hak buat ngatur-ngatur gue. Sejak delapan tahun yang lalu, gue udah bukan anak dia. Orang tua gue cuma Mama dan gue punya adik. Adik gue itu lo, Felix Denindra."

Felix tersenyum. "Lo bener mau tinggal sama gue?"

Felina mengangguk. "Tapi gue denger lo tinggal sama cewek, ya? Lo pacaran sama dia?"

"Hmm... bisa iya, bisa juga nggak."

"Kok gitu?" tanya Felina gagal paham. Alisnya kontan berkerut dalam. "Trus gimana ceritanya lo bisa ketemu sama dia?"

"Ceritanya panjang, Fel," jawab Felix sambil mengembuskan napas panjang. "Ada alasan kenapa gue tinggal sama dia. Bagi gue, dia itu penyelamat hidup gue. Kalo nggak ada dia, lo mungkin nggak akan ketemu sama gue hari ini."

"Gue denger dia nolongin lo dari tuduhan waktu penggerebekan, kan?" tanya Felina yang segera disambut anggukan kepala oleh Felix.

"Intinya, walau statusnya sekarang pacaran sama gue, gue sayang sama dia sebagai kakak gue. Dia selalu nyiapin segala yang gue butuhkan sampai sekarang. Jadi walau kami tinggal bareng, gue nggak lakuin hal yang nggak sepantasnya dilakukan. Gue murni anggap dia kakak gue."

Felina manggut-manggut, pada satu sisi cewek itu merasa cukup lega karena adik tirinya tidak melakukan hal ilegal seperti yang semua orang kira. Jika saja ada orang lain yang tinggal bersama mereka, mungkin saja keadaan akan lebih baik tanpa menimbulkan rumor buruk.

Lantas begitu saja, Felina mendapatkan ide. Ide yang dia yakin akan menguntungkan semua pihak sehingga matanya memancarkan kebahagiaan yang kentara.

"Lo ikut gue," ajak Felina tiba-tiba sembari menarik tangan Felix untuk beranjak dari sana, membuat yang ditarik gagal paham meski dia akhirnya memilih untuk tidak mengatakan apa-apa.

*****

"Felix, ini Vino, adiknya mama gue. Lo masih inget, kan? Dulu kita sempat main bareng," tanya Felina ceria. Sekarang mereka berdua telah kembali ke bangunan bowling tadi. Ketiga teman Felix sudah tidak berada di sana, mungkin mereka sudah memutuskan untuk melanjutkan permainan di dalam gedung tanpa Felix.

Felix tampak tidak mengenali Vino. Meskipun demikian, Vino tersenyum lebar dan menyalami cowok itu. "Wajah lo nggak berubah, ya. Hehehe...."

Sementara Felix tersenyum simpul, Felina mengalihkan atensinya ke Vino. "Vin, ikut gue bentar. Felix, lo tunggu di mobil ya."

"Ap--" Omongan Vino tidak sempat diselesaikan karena Felina sudah menariknya menjauh. Lantas tanpa berbasa-basi terlebih dahulu, cewek itu mengutarakan ide yang terlewat dalam pikirannya barusan.

"APA???" teriak Vino sekeras-kerasnya, mengabaikan pelototan Felina yang tidak ada bedanya dengan tatapan mengancam. "GUE TOLAK!!! NO WAY, NEVER, AND THE END!!! NGGAK BISA DIGANGGU GUGAT! TITIK, NGGAK PAKE KOMA, NGGAK PAKE SPASI, NGGAK PAKE TANDA--"

"Jangan gitu dong, Vin! Rumah lo kan lumayan mantep buat dijadiin kos. Lo setuju aja deh sama gue, entar gue yang atur soal negonya sama dia. Oke?"

Vino memandang Felina dengan ekspresi seolah cewek itu tidak mengerti satu ditambah satu sama dengan dua hingga mengalami sindrom geregetan level akut. "Fel, kalo Felix masih oke. Fine! Gue dukung lo bawa Felix tinggal sama kita. Lagian di satu sisi gue juga seneng ternyata lo mau netap dan kuliah di sini. Tapi--"

Vino berjalan mondar-mandir dengan tangan menutup wajahnya sementara Felina melipat tangannya dengan tatapan jengah. "Vin, masa lo gitu sih? Lo nggak perlu ngomong sama dia kok. Biar gue aja yang ngomong sama dia. Asalkan Felix bantuin gue, cewek itu pasti setuju tinggal sama kita. Lo cuma perlu kasih ijin lo aja."

"Fel, gue ogah deh tinggal sama cewek asing. Kalo lo sama Felix kan beda, kalian berdua tuh keluarga gue. Beda ceritanya dong kalo sama cewek itu!"

"Vin, tolongin gue dong! Plissssss? Nggak mungkin dong gue bawa Felix pulang ke Jakarta. Apa kata Mama, entar? Meski gue tau, cepat atau lambat Mama bakal tau yang sebenarnya, tapi setidaknya sebelum situasinya stabil, lo bantuin gue dong. Gue bisa sekamar sama cewek itu dan lo sekamar sama Felix. Oke?"

Vino tidak langsung menjawab. Sepertinya dia memerlukan banyak waktu untuk mempertimbangkan hal ini. Meskipun demikian, pada akhirnya ketika Felina hampir menyerah meyakinkan pamannya, cowok itu berkata, "Oke. Gue setuju asalkan dengan satu syarat."

"Deal! Kalo gitu kita cabut!" seru Felina ceria tanpa mendengar syarat yang hendak diajukan oleh Vino, membuat cowok itu auto memutar bola matanya dengan jengah.

"Fel!" hardik Vino kesal dari belakang punggung Felina yang menjauh. "Gue belum selesai ngomong!"

"Pokoknya gue setuju apa pun syarat lo! Udah ah, cabut yuk! Udah siang, nih!"

Vino tidak tahu apakah dia harus senang atau kesal. Jika senang, maka itu berarti keponakannya harus setuju bertemu dengan Herfian seperti yang telah dia janjikan pada pria itu. Sedangkan jika kesal, maka itu berarti hari-harinya akan disibukkan oleh kenyataan kalau dia harus tinggal seatap bersama cewek asing.

Vino jadi berpikir, apakah dia mempunyai solusi lain?

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top