10). Finally, Meet Up

"Argggghhhhh! SIALAN GUE DIKERJAIN!" raung Felina setelah memutuskan obrolan telepon untuk yang ketiga kalinya. "Awas aja kalau udah ketemu, bakal gue cincang-cincang trus jadiin bakso! Ganti haluan, Vin. Kembali ke Jalan Kemuning tadi."

"Enak tuh kayaknya," celetuk Vino dengan nada jenaka meski tatapannya masih terpancang ke depan. "Lo juga sih, kenapa nggak mau nyebut nama lo aja? Daripada ngaku sebagai kakak tiri Felix, gue rasa nggak ada yang mau percaya. Dikiranya lo main-main, kali."

"Gue malah ragu kalo Felix masih inget nama gue," jawab Felina sembari berusaha terdengar tidak terpengaruh padahal sedari tadi pikirannya dipenuhi oleh imajinasi buruk. Lebih tepatnya cewek itu berpikir, apa yang harus dia lakukan jika adik tirinya benar-benar telah melupakannya? Walau bagaimanapun, delapan tahun bukanlah waktu yang singkat, lagi pula saat itu usia keduanya masih terlalu belia. "Apa menurut lo, keinginan gue buat ketemu Felix itu terlalu berlebihan?"

"Ini ceritanya, lo jadi nyesel nih?"

"Hmm... nggak juga sih, gue jadi berpikir kembali apakah keputusan gue buat nyari Felix itu bener apa nggak."

"Tapi lo udah jauh-jauh ke sini loh, Fel. Kalo lo sekarang tiba-tiba berubah pikiran, usaha lo selama ini jadinya sia-sia dong. Ibarat udah kecipratan lumpur, sekalian aja cemplungin badan lo."

"Perumpamaan lo nggak berkelas banget deh," protes Felina setelah memutar bola matanya dengan jengah lantas mendecakkan lidahnya tidak puas. "Tapi gue jadi merasa lebih baik berkat kata-kata mutiara lo sih. Makasih banyak ya."

Lagu Bloom Bloom The Boyz terdengar lagi, membuat Felina mendengus keras.

"Ck. Awas aja ya kalo dia suruh pindah haluan lagi--halo? Iya gue lagi otewe ke sana. Apa? Ke mana lagi, ya elah! Jadi sekarang ke Siliwangi Bowling, nih? Di mana, tuh? Gue belum pernah denger nama itu--"

"Gue tau di mana Siliwangi Bowling," potong Vino cepat.

"Oke, jadi fix di Siliwangi Bowling nih ya. Kita otewe ke sana. Lo yang pake bomber warna coklat, kan? Oke--ya ampun bisa gila gue. Moga aja kali ini beneran fix ketemu di sana," omel Felina setelah mengunci layar ponselnya yang entah ke-berapa kalinya. "Gue sebenernya mau meledak tapi gue nahan diri karena Felix. Lagipula ini udah hari kedua gue di Bandung."

"Anggap aja jalan-jalan," hibur Vino yang matanya masih saja tidak mau lepas dari jalanan di depannya. Keningnya sempat berkerut ketika mobil yang dikemudikannya harus terjebak macet, mengingat hari ini adalah hari Minggu dan mereka kini berada di kawasan strategis kota Bandung.

"Walau gue udah akrab banget sama lo, gue tetap merasa nggak enak karena udah menyia-nyiakan waktu lo," ucap Felina pada Vino setelah menghela napasnya yang terasa berat dan panjang. "Gue minta maaf, ya."

"Santai aja, Fel. Denger lo ngomong kayak gini, gue makin sadar kalo lo udah bener-bener dewasa. You grew up so well. As your uncle, I'm proud of you."

"Tumben lo muji gue. Setau gue, lo jarang banget muji-muji gini," komentar Felina dengan tatapan jenaka sementara kecepatan mobil Vino mulai melambat, menunjukkan kalau sebentar lagi mereka akan sampai ke tujuan.

"Justru itu, Fel. Gue jarang muji orang tapi sekalinya muji, itu artinya gue bener-bener memuji orang itu sepenuh hati gue dan itu berlaku buat lo yang notabenenya adalah keponakan gue," jawab Vino, sempat melirik Felina yang kesannya menjadi sebuah rekor karena dia hampir tidak pernah mengalihkan atensinya selama menyetir. "Sebagai keluarga lo, gue lebih dari tau gimana hidup lo yang selama ini tumbuh tanpa seorang ayah di sisi lo. Berbeda dari keluarga lain yang mungkin juga hidup tanpa ayah, bagi gue, cobaan lo nggak sesepele itu."

Felina tidak sadar kalau mobil Vino telah sampai di halaman Siliwangi Bowling Center. Vino mematikan mesin mobilnya dan lantas menatap keponakannya dengan intens, memberi kesan yang berbeda karena dia jarang memasang ekspresi seperti itu.

"Kalo gue jadi lo, mungkin gue udah jadi anak broken home yang nakalnya nggak ketulungan. Tapi lo beda. Lo bisa melewati semuanya dengan baik meski lo jadi tomboi dan jutek sama cowok. Di satu sisi, gue juga salut sama Kak Nirina karena bisa bertahan dengan sangat baik. Dalam hal ini, kemungkinan besar kalian berdua saling menghibur dan mengobati, kan?"

"Denger lo ngucapin ini semua, gue juga makin sadar kalo gue beruntung punya paman seperti lo," ucap Felina tulus dan tersenyum lebar hingga memunculkan lesung pipit samarnya. "Dan gue juga lebih dari tau gimana cara Mama berusaha untuk bertahan. Walau Mama berusaha menutupi semuanya, gue tau Mama berhasil bertahan semata-mata karena punya gue di sisinya, sama seperti gue yang hanya punya Mama di sisi gue."

Vino mengulurkan sebelah tangannya untuk mengelus puncak kepala Felina dengan sayang. "Pokoknya, apa pun yang terjadi, lo harus inget kalo lo punya gue, ya?"

Felina mengangguk. "Pasti, Paman Vino."

"Ck. Di saat seperti ini lo baru manggil gue dengan embel-embel kata 'paman'."

"Ish. Lo juga nggak mau kan dipanggil 'paman' terus?" kilah Felina setelah mendecakkan lidahnya dengan kesal. "Lo kan menolak tua."

"Bener sih. Mending panggil gue 'oppa'."

"Oppa Vino, nado saranghae (aku juga mencintaimu)," ucap Felina tiba-tiba, dengan nada dramatis. Cewek itu bahkan mengubah suaranya sedemikian rupa hingga terdengar seperti sedang mengutarakan cinta pada seseorang.

"YA NGGAK GITU JUGA!" hardik Vino, seketika merasa telinganya gatal dan dia bergidik ngeri. "Nyesel gue ngomong jujur ke lo. Oh ya ngomong-ngomong soal jujur, kalo gue jujur sama lo, lo mau denger?"

"Sori, Vin. Lo itu paman gue, nggak boleh dilanjutin, nanti baper. Kalo baper, kita sama-sama bakal jadi insan yang berdosa karena hubungan terlarang."

"BUKAN ITU MAKSUD GUE!" teriak Vino habis kesabaran sementara Felina ngakak sampai perutnya terasa sakit.

"Soalnya kapan lagi sih gue bisa menistakan lo? Lusa gue balik ke Jakarta. Udah ah, kalo kita debat terus kapan selesainya? Gue mau ketemu Felix, oke? Gue nggak mau terima risiko dikerjain lagi sama si laknat Remmy."

Vino mendecakkan lidahnya. Niatnya tadi mencoba mengajak Felina berbicara dari hati ke hati tentang ide bertemu dengan Herfian meski dia ragu kalau keponakannya bakal setuju. Dia yakin kemungkinannya nol, bahkan minus.

Felina membuka pintu mobil setelah sebelumnya melepas sabuk pengaman dan mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Remmy. Ketika panggilannya tersambung, samar-samar cewek itu mendengar lagu yang dikenalnya karena sama-sama lagunya The Boyz, membuatnya refleks mengedarkan pandangannya ke sekeliling halaman Siliwangi Bowling yang sebagian tempatnya dipenuhi oleh kendaraan roda empat.

I'm the Stealer (Yah)
shimjang gajang gipsukhan got ga (That's right)--

Felina berhasil menemukan sumber di mana lagu tersebut terdengar dan ekor matanya kemudian menangkap empat cowok muda yang salah satunya juga menatapnya balik.

Dia adalah si cowok bernama Remmy, Felina yakin karena dia mengenali ciri-ciri jaket bomber berwarna coklat yang dikenakannya, tetapi lantas selama sepersekian detik berikutnya cewek itu menangkap sosok familier yang berdiri di sebelah Remmy, membuat jantungnya seketika mencelus.

Lagu The Boyz terus mengalun karena Felina lupa mematikan sambungan teleponnya, juga mengabaikan Remmy yang mulai sadar kalau cewek yang berdiri di arah jam dua itu adalah cewek yang beberapa kali meneleponnya.

Cewek yang mengaku kalau dia adalah kakak tiri Felix.

Remmy otomatis mengalihkan atensinya ke arah Felix yang ternyata berekspresi antara kaget sekaget-kagetnya dengan tidak percaya.

"Felix, lo kenal dia?" tanya Remmy dan meski Felix tidak kunjung menjawab, cowok itu cukup tahu kalau sahabatnya benar-benar mengenalnya jika ditilik dari ekspresinya.

Felina tidak sadar kapan dia pada akhirnya mempercepat langkah untuk menghampiri Felix dan lantas mengulurkan tangannya untuk merengkuh adik tirinya ke dalam pelukan, berhasil membuat siapa saja menatap syok.

Syok-nya Felix paling parah karena dia tidak menyangka kalau Felina benar-benar mencarinya. Cewek itu berbisik, "Felix. Lo masih inget gue, kan?"

Felix menganggukkan kepalanya terpatah, yang sepertinya cukup bagi Felina karena cewek itu mengeratkan pelukannya.

"Dia... beneran kakak tirinya Felix?" bisik Dido, yang pinggangnya segera disikut oleh Ardi dan dihujam dengan tatapan penuh peringatan.

"Lo liat sikon dong kalo mau nyeletuk," protes Ardi. "Yuk ah, kita ngasih privasi dulu. Yuk, Rem."

Remmy tampak ragu, tetapi diselamatkan oleh kewajiban mengambil keputusan ketika Felix melepaskan pelukan Felina dan menatapnya dengan intens. "Lo kenapa nyari gue, Fel? Gue... gue kira nggak ada alasan bagi kita buat ketemu."

"Apa lo bilang?" tanya Felina, sempat syok meski cewek itu berhasil menguasai diri. Setidaknya dia ingin tahu apa maksud dari Felix barusan.

"Kita ini saudara tiri, Fel. Apa ada alasan yang mengharuskan kita bertemu dan berhubungan baik? Eksistensi gue aja udah merusak keluarga kalian, jadi gue rasa--"

"Ikut gue," potong Felina dingin. "We need to talk. Privately," tambahnya sembari melirik ketiga teman Felix dengan tatapan yang sama dinginnya.

"Kita juga nggak mau ikut campur," kilah Remmy sambil mendengus keras, tetapi segera melayangkan tatapan protes ketika gantian Ardi menyikut pinggangnya.

"Nggak mau," tolak Felix pada Felina, membuat cewek itu mengalihkan atensinya kembali ke arah Felix. "Gue nggak ada alasan ketemu lo lagi, Fel. Seperti yang gue bilang tadi--"

"Oh, jadi lo lebih milih tinggal sama cewek yang nggak ada hubungan darah sama lo daripada gue yang notabenenya punya hubungan darah meski statusnya saudari tiri?" tanya Felina dingin dan terkesan jauh lebih menusuk. "Lo pilih ikut gue secara baik-baik atau mau gue seret?"

Duo Ardi dan Dido berhasil dibuat melongo, sementara Remmy menaikkan sebelah alisnya atas sikap barbar Felina yang sepertinya tidak main-main. Sedangkan Felix, cowok itu tampak murka dan tersinggung dengan perkataannya.

"Lo nggak punya hak ikut campur atas diri gue, Fel. Dan gue nggak izinkan lo ngatain Cindy kayak gitu. Lo nggak tau--"

"Gue memang nggak tau, itulah sebabnya gue nyari lo dan mau ngomong sama lo. Apa itu salah? Apa salah kalo seorang kakak tiri mau nyari adik tirinya? Kita bukan ngelakonin drama atau masuk dalam dunia dongeng. Terlepas dari hubungan kita, yang terpenting bukankah siapa yang peduli sama siapa? The point is, I do care for you. As a sister to her brother."

Kali ini semuanya kompak dibuat melongo. Felina kemudian menarik lengan Felix tetapi ketika menyadari kalau cowok itu masih tidak mau mengikutinya, cewek itu menggeram marah.

"Gue nggak punya pilihan. Lo yang maksa gue loh," kata Felina yang kemudian secara tidak terduga menarik salah satu daun telinga milik Felix dan menggunakannya untuk menyeret paksa cowok itu.

"FEL! LO UDAH GILA, YA? HEH, LEPASIN GUE!" teriak Felix, berusaha melepaskan diri tetapi sia-sia saja. Tenaga Felina terlalu kuat.

"GUE UDAH PERINGATIN LO! SALAH SENDIRI!" balas Felina tanpa merasa bersalah, melanjutkan proses tarik-menarik dan berakhir merangkul sekeliling pundak adik tirinya untuk memaksanya ikut.

Sampai keduanya menjauh dan menghilang dari pandangan, tidak ada satu pun yang berani mengeluarkan suara. Lebih tepatnya, mereka terlalu syok untuk berkata-kata.

Dido duluan yang berhasil mengendalikan diri dan menyeletuk, "Ini gue nggak salah lihat, kan? Ini pertama kali gue ketemu cewek yang galaknya lebih mengerikan dari singa ngamuk."

"Umurnya lebih tua dari Felix jadi wajar dia punya wibawa seorang kakak," respon Ardi dengan nada kalem sembari membenarkan kacamatanya yang sempat melorot, berusaha bijak meski gagal karena tangannya tiba-tiba gemetar. "Gue jadi insecure dan gue nggak ngerti kenapa."

Sedangkan Remmy, cowok itu bersedekap dada dan secara tidak sadar mengelus rahangnya dengan sebelah tangannya. Tiba-tiba saja, terlihat senyum seringai di bibirnya. "Hmm... kakak tirinya Felix, ya. Cocok tuh jadi kandidat selanjutnya."

"Hah?" tanya duo Ardi-Dido serempak, melayangkan atensinya pada Remmy dengan tatapan tidak percaya. "Lo gila, ya?"

"Nggak gila," jawab Remmy enteng. "Selama jadi playboy cap rakun, nggak ada cewek yang nggak bisa gue taklukkan. Tantangan kali ini mungkin yang paling sulit, tapi gue yakin gue bisa bikin dia jatuh cinta sama gue. Lo pada lihat aja."

Remmy tersenyum lebih lebar, mengabaikan kedua temannya yang kompak menggeleng-gelengkan kepala mereka.

"Emang sih kakak tirinya Felix cakep, tapi ya nggak gini juga," celetuk Ardi, masih tidak paham.

"Biarin aja, Di. Lumayan kan kalo kita dapet sejuta masing-masing. Gue bisa gunain duitnya buat nikah lagi sama cewek dunia gim gue," timpal Dido sambil terkekeh, mengabaikan tatapan Ardi yang kini beralih padanya. Tatapannya segera berubah datar dan jengah.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top