Sang Tutor

"Aku terjebak di dalam pilihan yang sulit. Di mana pilihan itu sama-sama berharga dikehidupanku, antara orang tua dan kebahagiaanku sendiri. Aku terjebak pilihan antara mana yang benar dan mana yang salah. Dan di situlah akan terlihat jelas keegoisanku nantinya." -Raina Olivia

Rain sekarang berumur 23 tahun. Ia sudah lulus kuliah beberapa bulan lalu. Dan sekarang, ayahnya hanya meminta ia untuk fokus dengan melukis. Untuk hal kebutuhan apa pun, sudah di tanggung ayahnya.

Wanita itu adalah putri tunggal dari Alexander Bryan, seorang miliader yang sukses di bidang perhotelan. Dan sekarang ia sedang membangun hotel dengan 24 lantai, dan akan di namai dengan "Blue Moon"  di Jakarta Utara, gedung itu khusus ia buat untuk keluarganya dan bawahan-bawahannya yang sudah setia mengabdi di perusahaannya. Dan nantinya akan diadakan pameran khusus lukisan putrinya yang akan begitu mewah.

Dengan kekayaan yang begitu melimpah seharusnya Rain bisa hidup bahagia sesuai keinginan, bersuka ria berbelanja di mall dengan teman-temannya, bercerita tentang kehidupan bahagianya. Namun, tetap saja itu hanya bayangan semu, ayahnya selalu membatasi pertemanan dan pergaulannya karena takut akan Rain yang nantinya susah diatur.

Setiap hari, Rain hanya bisa duduk di ruangan lukisnya. Melamun melihat pemandangan luar yang terlihat padat penduduk, dari jendela ruangannya ia bisa melihat pemandangan orang-orang yang berlalu lalang melakukan kesibukan masing-masing. Terkadang seminggu sekali biasanya Rain diizinkan untuk keluar berbelanja keperluannya. Dan pastinya, harus di temani suruhan ayahnya yang sudah dipercaya menjaganya.

Bukankah hidup seperti Rain seperti dipenjara?

Hari ini, seperti yang dijanjikan oleh ayahnya kemarin. Rain kedatangan seorang pria yang akan menjadi tutornya. Ya, seorang pria. Rain tidak terlalu peduli dengan pria itu, yang peting ia bisa segera belajar dan memuaskan hati ayahnya. Ingin sekali lukisannya dipuji oleh ayahnya.

"Hai ... perkenalkan, aku Aron."

Rain memandang pria itu, sepertinya tidak asing. Apakah ia pernah bertemu dengannya? Atau melihatnya di suatu tempat? Spertinya ....

"Kamu Aron Mahendra? Seniman yang itu?" tanya Rain dengan wajah gembira.

Pria berkulit sawo matang itu kemudian tersenyum memperlihatkan gingsul di giginya yang sangat indah, serta membenarkan kaca mata bundarnya yang sedikit merosot dari hidung mancungnya.

"Yang mana?" tanya Aron.

"Yang ada di majalah seni, kan? Aku benar-benar mengagumi karya Anda," ujar Rain menerima juluran tangan pria di depannya. "Tidak menyangka Papa aku memberi kejutan seperti ini."

"Ayah kamu begitu antusias membantu komunitasku, dan sekarang sudah berkembang sangat baik," sahut Aron kemudian melihat-lihat karya Rain. "Seperti yang aku dengar, apakah kamu selalu menyendiri?"

Rain terdiam. Apakah tentang kehidupannya yang seperti ini sudah banyak yang tahu? Apa itu bukan privasi lagi?

"Oh, maaf. Bukanya aku lancang, tapi itu desas-desus yang kerap muncul katanya seperti itu."

Rain duduk di kursi lukisnya, terseyum kuat di depan sang tutor. Mempertahankan ekspresinya agar tetap terlihat baik-baik saja. Ia tahu, ia harus sebisa mungkin menyembunyikan masalahnya. Dan jangan biarkan seseorang mencampuri itu, biarkan ia saja yang tahu bagaimana perasaannya. "Kenapa kita tidak mulai melukis saja, daripada membahas hal yang tidak penting?"


Aron mengerti dan mengangguk, kemudian mencoba menetralisasikan keadaan dan mulai tujuannya ke sana yaitu untuk menjdi guru tutor Rain.

Pria itu kemudian mulai memberikan wawasan dasar kepada Rain yang sudah ia pelajari sebelumnya. Pria itu menggulung kemeja putihnya sebatas siku, dan mendekati Rain untuk membantu wanita itu mengerjakan lukisan.

Sebenarnya, terlalu dekat dengan seorang pria seperti ini membuat Rain sedikit risih. Selama ini ia tidak pernah dekat dengan lawan jenis dikarenakan ayahnya yang selalu mengawasi pergaulannya. Bahkan ia hampir tidak pernag berinteraksi dengan seorang pria demi menjaga  perintah ayahnya.

"Bisakah kita tidak seperti ini," ujar Rain tak berani menoleh ke sampingnya. Sepertinya satu gerakan saja bisa membuat kulitnya menempel dengan kulit Tutor itu.

Ada lirikan tajam di mata Aron, pria itu terlihat tidak suka dengan penolakan Rain yang begitu arogan. Menurutnya. "Maafkan aku," ujar Aron seraya memundurkan badannya. "Aku biasanya seperti ini mengajari muridku."

"Iya, maafkan aku juga. Aku sedikit risih jika begitu," ujar Rain. "Aku tidak terbiasa, bisakah kamu mengajariku tanpa menyentuh juga?"

Rain melirik pintu ruangannya yang tertutup, tidak enak jika nantinya ada yang masuk ke sana dan melihat ia begitu dengan seorang pria. Begitu tidak mengenakan pastinya.

Sekarang sudah pukul sepuluh lewat lima menit siang, dan Rain tahu ayahnya sedang berada di kantor pada jam segini, dan ibunya sedang mengikuti arisan setiap seminggu sekali bersama teman-temannya mengingat ini adalah hari sabtu. Dan sekarang hanya ia dan Tutornya saja di rumah itu. Satu lagi, Rain melupakan lima pelayan di rumahnya yang siap menjadi cctv berjalan untuk mengamatinya.

"Iya aku tahu tentang keadaanmu, Rain," ujar Aron.

Rain tersenyum kaku bingung akan menjawab seperti apa.

"Apa kamu tidak ingin bebas dengan semua ini?" tanya Aron sekali lagi.

"Kita baru mengenal satu sama lain, mengapa kamu begitu antusias dengan kehidupanku?" ujar Rain yang merasa pria di belakangnya itu sudah mulai di luar batas.

Dan apakah ayahnya tidak mengamati latar belakang pria itu terlebih dahulu sebelum memasukkannya ke dalam rumah? Selama ini sepertinya ayahnya selalu berhati-hati dalam memilihk keputusan untuknya. Mengapa sekarang sepertinya ayahnya telah salah memilih orang?

"Bukan seperti itu. Ayolah, aku ingin membantumu, Rain. Aku tahu kamu tidak bahagia hidup seperti ini, kamu ingin kebebasan, bukan?" tanya Aron seraya duduk dengan satu lututnya yang ditekuk agar sesajar dengan wajah Rain.

"Itu bukan urusanmu, lagian sejahat apa pun orang tuaku, sekeras apa pun orang tuaku. Aku tahu, mereka melakukan itu demi kebaikan aku," ujar Rain.

Sebenarnya, Aron adalah teman masa kecil Alexa dulu. Dan ia sangat paham keadaan Rain sekarang yang dituntut untuk menjadi seperti Alexa. Sudah lama ia mengamati Rain dan ingin membebaskan Rain dari kekejaman kekuarganya itu. Namun sepertinya Rain masih menganggap perlakuan kelurganya semata-mata karna sayang terhadap anaknya.

"Seharusnya kamu bisa tahu apa yang terbaik untukmu, dan apa yang bahkan tidak baik untukmu. Sampai kapan kamu akan hidup seperti ini?" tany Aron sekali lagi. "Apa kamu ingin ikut bersamaku?"

Rain mendorong tubuh Aron yang mencoba menyentuhnya. "Aku bisa hidup seperti ini, jangan ikut campur dengan kehidupanku," ujar Rain.

Aron berdiri kemudian mengambil kartu nama di sakunya, dan memberikan kertas kecil itu keoada Rain.

"Hubungi aku jika kamu sudah berubah pikiran. Pikirkan lagi, aku bisa mebawamu ke kehidupan bebas yang sebenarnya," ujar Aron, dan pergi meninggalkan Rain setelah meninggalkan makalah pelajaran hari ini di meja Rain.

Rain terdiam dan memegangi kartu nama Aron setelah pria itu pergi. Ia meremas kertas kecil itu dan membuangnya di tempat sampah. Mau bagaimanapun, ia akan tetap bersama kedua orang tua kandungnya yang sudah membesarkannya, dan memberikan kehidupan yang mencukupi ini. Walaupun penuh tekanan, asal melihat kedua orang tuanya tersenyum karenanya. Rain akan baik-baik saja dengan itu.

To be continued...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top