Meski Aku Tahu Ayahku Berbeda

"Kalau apa yang kamu impikan belum tercapai, jangan ubah mimpinya. Akan tetapi ubahlah strategimu untuk mencapainya."

"Bagimana belajarmu hari ini?"

Rain tiba-tiba menghentikan gerakannya yang hendak mengambil ayam. Menoleh ke ayahnya dan tersenyum.

"Baik, Pah. Sejak kapan Papa kenal dengan Kak Aron?" tanya Rain.

Suasana ruang makan yang sedari tadi hening berubah menjadi hangat. Satu keluarga yang terdiri dari satu pasang suami istri, dan satu putrinya itu terlihat begitu harmonis. Kini, sang ibu mengambilkan Rain ayam bagian paha yang tidak jadi di ambil wanita itu.

"Baguslah, makan yang banyak. Setelah itu minum suplemen," ujar Hera.

Dalam hati, Rain masih memikirkan ucapan Aron tadi siang. Apa yang terlihat tidak bahagia di sini, semuanya normal selama bertahun-tahun seperti ini. Rain terkadang juga begitu bahagia mendapat kehangatan di keluarganya. Tidak perlu ada yang di khawatirkan.

"Besok teman SMA Rain mau berkunjung ke sini, Pah. Boleh?" tanya Rain dengan hati-hati.

Alexander menarik satu alisnya ke atas seraya menatap putrinya. "Siapa? Apa Papa kenal dia?" tanyanya.

Terdengar napas Rain yang gusar, benar saja ayahnya mulai mengiterogasinya lagi. "Sepertinya belum," ujarnya.

"Wanita apa pria?" tanya Alexander.

"Satu wanita, dan satunya pria. Mereka teman baik Rain dulu, Pah," ucap Rain tanpa sadar mengeratkan tangannya pada garpu.

Alexander langsung menggeleng. "Tidak, Papa tidak mengenalnya. Bisa jadi mereka ada niat buruk mengajak kamu yang tidak-tidak."

"Kenapa Papa selalu membatasi pertemanan Rain? Apa salahnya berinteraksi dengan teman-teman Rain, Pah?" tanya Rain sedikit meninggikan nada bicaranya. Bahkan terlihat jelas kerutan di dahinya.

"Sejak kapan anak Papa jadi suka bantah? Papa lakuin ini semua itu demi kebaikan kamu, Rain. Tidak ada namanya teman dekat antara pria dan wanita. Kamu memiliki batasan," ujar Alexander.

Rain tidak tahu lagi akan berkata apa. Lagi, dan lagi ayahnya selalu mengatakan tentang batasan. Sebenarnya apa yang ayahnya takutkan selama ini? Sepertinya ada kaitanya tentang kematian Alexa juga.
Atau mungkin perasaan orang tua biasanya adalah kebenaran. Ayah Rain sangat menyayangi Rain, jadi ia tidak ingin putrinya terjebak pergaulan bebas di luaran sana.

"Baiklah, Rain akan menuruti perintah Papa," ujar Rain seraya menghela napas menenangkan dirinya sendiri. Ini yang terbaik untuknya.

Setelah menyelesaikan makannya, Rain bergegas membereskan piring-piring dan menaruhnya di dapur. Sejak kecil, ia selalu di ajari untuk menjadi rajin, walaupun ada banyak pembantu di rumahnya, ia sebagai seorang wanita juga wajib mengetahui tentang pekerjaan di dapur untuk kebaikan masa depannya.

°°°

Rain duduk di kamar, dan merebahkan badannya di atas kasur. Wanita itu mengambil ponselnya, dan mengabari temannya. Setiap ada teman yang akan berkunjung di tempatnya, Rain pasti selalu memikirkan alasan agar bisa menggagalkannya. Itu demi ayahnya.

Setelah berhasil menghubungi temannya, Rain membuka aplikasi WattChat. Selama ini, ia selalu betcerita tentang keluh kesah kehidupannya di aplikasi itu. Karena di sana, ia tidak perlu mengungkapkan identitas aslinya,dan bisa dengan nyaman meminta pendapat dari orang-orang yang ada di grup obrolan itu.

"Aku ada masalah lagi. Temanku ingin datang berkunjung ke tempatku. Tapi lagi-lagi papa aku melarangnya, dan mengatakan aku tidak sembarangan memilih teman. Jika papa aku belum tau asal-usul teman aku, beliau tidak akan mengizinkannya bergaul denganku."

Rain menaruh ponselnya di dada, dan menunggu saran dari orang-orang di obrolan grup. Beberapa detik kemudian, ia mendengar banyak notifikasi yang masuk ke ponselnya. Sesuai yang di harapkan, mereka begitu antusias membantu.

Msxxx : sepertinya apa yang ayahmu lakukan ada benarnya. Di jaman seperti ini, banyak kejahatan yang timbul dari orang-orang yang terlihat dekat dengan kita.

Aldara097 : Bukankah tindakan yang ayahmu lakukan terlalu berlebihan?

Ika_ : Dengarkan isi hatimu, jikamemang kamu bisa baik-baik saja dengan itu. Maka its okey, tidak masalah. Tapi jika tidak mending kamy coba membujuk lagi.

Sudah cukup membaca beberapa pesan dari teman-temannya, Rain menutup ponselnya kembali dan meletakan itu di sampingnya. Rain membuka mata dan melihat langit-langit kamar. Membayangkan akan seperti apa hidupnya jika ia bisa melakukan sesuatu sesuai keinginannya. Apa akan lebih baim dari sekarang ini?

Rain kemudian mengingat kertas yang ia buang saat siang. Apa yang dikatakan Tutor itu benar? Apa ia akan bisa hidup sesuai keinginan?

Rain mulai memikirkan ucapan Aron, dan mengambil kartu nama itu kembali. Apa salahnya bertanya, jika saran Aron tidak nyaman. Rain akan coba menolak kembali.

Rain menghela napasnya kembali, mencoba menenangkan pikirannya dan mulai mengetik satu persatu nomor digit pada ponselnya. Setelah itu, ia beranikan diri untuk menelepon.

"Hai ... Aku Raina."

"Iya? Rain, ada apa?"

Rain sepertinya kehilangan kata-kata, setelah mendengar suara Aron sepertinya pikirannya berheti, dan bingung akan berkata seeprti apa.

"Apa kamu sudah meikirkan apa yang aku katakan?"

Rain mengangguk, dan menjawab iya pada orang di seberang sana.

"Besok jadwal kamu ke luar, bukan? Aku akan menemuimu dan beralasan tentang lukisan."

"Baiklah." Setelah mengatakan itu, Rain menutup panggilannya dan kembali berbaring. Ia tidak tahu keputusannya benar apa tidak, yang pasti ia begitu penasaran apa yang Aron maksud tentang membawanya ke kebebasan. Apa mungkin Aron akan membujuk ayahnya agar memberikan Rain kebebasan sedikit seperti wanita-wanita di luaran sana? Atau ada hal lain yang akan pria itu lakukan?

Entahlah, memikirkan itu saja membuat hati Rain berdebar kencang. Antara senang, dan deg-degan.

°°°

Pagi hari, Rain sudah bersiap-siap untuk ke lur rumah. Hari ini adalah akhir pekan, di mana Rain seperti mendapat kebebasan sedikit karena bisa menghirup udara luar.

"Pah, Rain pergi dulu, ya."

Rain berjalan menghampiri ayahnya dan ibunya yang tengah asyik berbicara di teras rumah. Kemudian mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan kedua orang tuanya itu.

"Aron sudah mengabari Papa, katanya dia juga ingin pergi bersamamu membeli peralatan lukis yang masih kurang," ujar Alexander.

Rain tersenyum, seperti yang sudah direncanakan mereka semalam. Aron sudah dulu sigap merencanakan semuanya.

"Baiklah, Pa, Ma. Rain berangkat dulu," ujar Rain.

"Iya sayang, hati-hati. Kabari Mama ya kalo ada apa-apa," ucap Hera seraya mencium pipi Rain bergantian.

"Pasti," sahut Rain kemudian berlalu meninggalkan dua orang paruh baya itu.

Raina sudah duduk di kursi belakan mobil dengan sopir pria paruh baya kepercayaan ayahnya selama bertahun-tahun.

"Non, hari ini Anda begitu cantik. Apa mungkin karena Anda tidak pernah ke luar rumah? Jadi sepertinya tidak ada debu sedikitpun pada wajah Nona," ujar sang sopir.

"Sepertinya banyak pria di luaran sana juga yang menyukai Nona, apa Anda sudah punya pacar? Jika belum saya memiliki putra yang sudah sarjana Informatika, saya bisa mengenalkannya pada Nona," ucap Pak Andre si sopir yang gemar berbicara itu, dari dulu Pak Andre selalu mengajak Rain berbicara agar perjalanan mereka tidak terkesan membosankan. Seperti menghindari kecanggungan di dalam mobil.

Rain tersenyum seadanya. "Kalau jodoh pasti ketemu ko, Pak," ujarnya.

Rain terus menerus tersenyum kaku mendengar pujian dari sopirnya. Tapi ia juga tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya itu, Rain melihat wajahnya sendiri di kaca ponsel. Sepertinya seperti hari-hari biasanya. Rain tidak pernah memakai riasan di wajahnya, hanya pelembab dan anti sinar matahari saja yang ia poleskan di wajah, dan sedikit lip blam agar bibirnya tidak terlihat pucat.

Untuk menghindari wajahnya yang sudah terlihat memerah, Rain memalingkan wajahnya dan mengganti topik pembicaraan agar pak sopir tidak membahas tentang dirinya lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top