keraguan
"Pada dasarnya ucapan orang lain yang tidak enak hanyalah batu loncatan untukmu melewati hal berat dan pahit juga perih sekalipun, tapi setidaknya kamu bisa melewati walau ada sedikit dengan keraguan namun mampu mencoba melewatinya."
Raina sampai di depan mall yang terletak di Jakarta pusat setelah hampir satu jam berada id mobil, setelah ke luar dari mobil ia mengedarkan pandangannya ke penjuru arah. Beberapa menit lalu, seorang pria yang sudah berjanji bertemu dengannya sudah menghubunginya tengah menunggu di depan area mall.
Beberapa detik kemudian, Rain melihat sosok pria yang tengah melambai seraya tersenyum kepadanya, tubuhnya tinggi berambut klimis yang terbelah dua, dan setelan kemeja biru muda yang terbuka dengan kaos putih di dalamnya, tak ketinggalan celana jeans berwarna hitam begitu cocok dengan tubuh pria itu.
Raina yang mengenali pria itu yang tak lain adalah Aron, langsung bergegas menemuinya. Sebelum pergi, ia sudah berpmitan dulu dengan sopirnya agar tidak menunggunya karena sudah mendapat izin dari ayahnya.
Aron memeluk sekilas tubuh Rain, dan hendak mencium pipi Rain namun terhenti karena wanita itu langsung mundur beberapa langkah.
"Sudahku bilang, jangan seperti itu," ujar Rain.
"Iya, maafkan aku. Aku sudah---"
"Terbiasa seperti itu," sambung Rain setelah memotong ucapan Aron.
Pria itu kemudian menunjukkan jalan dengan melangkah terlebih dahulu, dan di susul Rain. Mereka berdua seperti pasangan kekasih yang sedang menghabiskan waktu bersama, bahkan terkadang ada beberap pasang mata yang terlihat memuji ke arah mereka.
"Kita duduk di kafetaria dulu," ujar Aron.
Setelah beberapa menit berjalan di sekitar mall, mereka berdua akhirnya sampai di kafetaria yang Aron maksudkan, dan langsung memilih tempat duduk yang sekiranya nyaman untuk keduanya.
Rain memilih untuk duduk di dekat jendela, karena itu adalah tempat favoritnya sejak dulu. Jika duduk di dekat jendela, ia bisa melihat suasana perkotaan yang padat dari sana, orang-orang yang berlalu lalang berjalan maupun berkendara.
"Okey, apa yang akan kamu bicarakan?" ujar Rain.
Sebelum menjawab pertanyaan Rain, Aron lebih dulu mengangkat satu tangannya untuk memanggil seseorang yang berseragam yang bekerja di sana.
Sang Waitress wanita tiba beberapa saat kemudian dengan membawa catatan menu di tangannya.
"Kamu mau makan apa?" tanya Aron seraya menoleh ke arah Rain yang duduk di samping kanannya.
"Terserah saja," sahut Rain.
Aron terkesima ketika melihat wanita di sebelahnya itu tengah menopang dagunya dengan kedua tangan memberikan kesan yang sangat imut. Menurut pandangannya. Buru-buru ia menyadarkan lagi fokusnya, dan memesan sesuatu yabg mungkin saja Raina sukai.
"Kamu ingin mendengarkan yang apa dulu?" tanya Aron setelah Watress itu pergi.
"Aku bertanya apa kamu akan membujuk ayahku?" tanya Raina tanpa basa-basi agar tidak mengulur waktunya lama. "Katamu kamu akan membantuku agar seperti wanita-wanita lain seumuranku? ayolah aku bukan anak kecil lagi yang harus diawasi, apa kamu tahu kenapa sikap ayahku begitu?"
Aron melihat bibir Rain tanpa berkedip. Selain cantik, ternyata Rain juga suka mengoceh panjang lebar. Namun, Aron malah bersemangat melihat gerakan bibir Rain yang begitu indah ketika berbicara.
"Aron?" tanya Raina.
Aron kemudian menggeleng keras, mencoba mengembalikan fokusnya lagi. "Aku tahu semuanya, bahkan aku tau penyebab kematian saudaramu dulu."
Raina tambah penasaran. Pasalnya, selama ini ia tidak tahu mengapa ayahnya selalu menekannya seperti ini itu, yang ia tahu mungkin saja ayahnya hanya trauma terhadap kematian saudaranya dulu. Dan penyebab kematian saudaranya pun, Rain tidak tahu pasti. Apa benar itu karena kecelakaan?
"Karena kecelakaan, kan?" tanya Rain.
"Bukan," sahut Aron.
Mereka menghentikan pembicaraan terlebih dahulu ketika melihat seorang pelayan yang datangmembawa pesanan mereka.
"Terus karena apa?" tanya Rain begitu penasaran.
"Sesuatu telah terjadi dengan Alexa dulu. Suatu saat nanti kamu pasti tahu langsung dari ayahmu," ujar Aron.
"Apa? Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Rain.
"Luka-luka di tubuh Alexa, bukan karena luka kecelakaan. Itu seperti luka karena seseorang," ujar Aron seraya menunjukkan beberapa foto dari masa lalu yang berhasil ia simpan selama ini.
Walaupun foto itu terlihat kotor dan lusuh, Rain bisa melihat apa yang dikatakan Aron ada benarnya. "Apa yang terjadi sebenarnya?"
"Aku belum tahu pasti, aku hanya mengatakan kejanggalan yang aku tahu saja," ujar Aron.
Raina semakin penasaran sebenarnya apa tujuan Aron. "Terus untuk apa kamu mengatakan seperti kemarin kepadaku? Apa kamu sengaja agar bisa bicara banyak denganku?"
"Apa kamu senang hidup seperti itu?" pertanyaan yang langsung membuat Rain tercengang.
Wanita itu bingung akan menjawab seperti apa, di satu sisi ia bahagia-bahagia saja dengan itu. Dan di sisi lain, ia juga ingin merasakan kehidupan seperti teman-temannya.
Ia mengenang dulu ketika di sekolah, jika ada kegiatan di luar jam sekolah ia pasti tidak pernah ikut. Hal itu membuatnya sering diejek anak manja oleh teman-temannya dan terkadang memicu pembulian terhadapnya. Jika teman-temannya bererita tentang hari-hari mereka ketika liburan tiba, Rain juga tidak ada cerita apa pun. Hidupnya sama saja seperti itu, bahkan ia terkadang memimpikan berbelanja dan berpiknik bersama teman-temannya.
Aron mengulum senyumannya melihat tingkah lucu Raina. "Aku ingin mengajakmu pergi dari rumah itu, aku melihat kamu sepertinya begitu tertekan di sana. Dan aku tidak suka melihat itu, apa kamu bersedia?" ujar Aron.
"Kamu gila? Mana mungkin aku meninggalkan rumahku sendiri, terus aku mau pergi ke mana? Siapa yang akan menanggung biaya kehidupanku nantinya, dan siapa yang akan mengurusku?" tanya Raina.
"Aku ingin menawarkan sesuatu denganmu. Kamu bekerja bersamaku, dengan seperti itu kamu tidak perlu lagi menyusahkan kedua orang tuamu," ujar Aron seraya meminum jus alpukat di depannya.
"Sepertinya kedua orang tuaku tidak pernah merasa susah telah membesarkanku. Ayahku kaya, dan aku selaku hidup berkecukupan," ucap Rain sedikit menyombong.
Aron menoleh ke arah Rain kemudian menatap intens mata wanita itu. "Bukan masalah kaya atau bukan. Apa kamu tidak merasakanada sesuatu yang mereka sembunyikan?"
"Aku tidak merasa seperti itu," sahut Rain.
Aron mengacak rambutnya sedikit frustrasi. Sepertinya menghadapi Rain bukanlah ide yang baik. Wanita itu terlalu keras kepala.
"Menurutku mereka terlalu berlebihan, semu itu sepertinya tidak ada hubungannya dengan kematian Alexa, jika itu tentang kematian Alexa seharusnya mereka sudah bisa mengikhlaskannya dan membawa kehidupan baru untuk anak lainnya," ujar Aron. "Apa kamu pernah berpikir jika kamu bukan anak mereka?"
Rain mulai goyah dengan kepercayaannya. Apa mungkin yang dikatakan Aron adalah kebenaran? Selam ini Rain juga merasa seperti itu, bahkan terkadang meragukan jika ia adalah anak kandung ayah dan ibunya.
"Dulu, ketika kematian Alexa ayah dan ibumu pergi ke luar kota untuk menenangkan diri. Dan selang dua tahun, mereka kembali dengan membawamu," ujar Aron. "Aku bahkan tidak tahu kapan ibumu hamil."
"Jangan bohong, apa kamu punya bukti?" tanya Rain dengan raut serius. Kenapa ia sekarang terpancing dengan ucapan Aron?
"Sekarang mungkin belum, coba nanti kamu buktikan sendiri saja."
Sudah hampir satu jam mereka duduk di sana dan membicarakan banyak hal. Pikiran Raina mulai tercampur aduk dengan ucapan Aron, dan mulai meragukan dirinya sendiri. Apakah ia bukan anak kandung orang tuanya?
Dalam hati, Rain berencana setelah ia pulang nanti ia akan mencari kebenarannya. Jika apa yang dikatakan Aron adalah kebenaran, ia akan mengikuti perkataan pria itu. Tapi jika itu salah, ia pasti akan menyesali telah meragukan kedua orang tuanya.
To be continued...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top