Apartemen
"Sebagian orang memilih menyimpan sendiri ceritanya bukan karena tak punya masalah, tapi karena ia tahu mereka hanya bisa mendengarkan bukan merasakan."
•
•
•
"Rumah kau di mana?"
Sudah hampir sepuluh kali awan bertanya kepada Rain yang duduk id sampingnya. Dan sepuluh kali pula wanita itu tidak menjawab, bibirnya masih tertutup rapat dengan sorot mata layu menatap lurus jalanan perkotaan yang padat.
"Turunlah, aku harus pulang. Hari sudah mulai sore, apa orang tuamu tidak mencarimu?" tanya Awan sekali lagi.
"Biarkan saja," ucap Rain.
"Biarkan bagaimana, mereka mungkin sudah mengkhawatirkanmu. Lagi pula, kita baru saja mengenal satu sama lain. Masa aku harus mengajakmu pulang ke rumahku," ujar Awan walaupun ia masih fokus menyetir mobil ia tak henti-hetinya bertanya kepada Rain.
"Aku ingin pergi dari rumah untuk semetara waktu," sahut Rain, wanita itu kemudian menggeser badannya dan menoleh. "Jika rumah sudah tak sehangat dulu, apa yang mesti aku harapkan?"
Kini Awan sembari melirik-lirik sekilas ke arah Rain. "Kau ada masalah apa?"
Rain memalingkan wajahnya menghadap jendela. Bahkan untuk meceritakan masalahnya saja membutuhkan mental yang kuat. Ia tidak ingin terlihat menyedihkan di sini, apalagi Awan adalah pria yang baru ia kenal.
"Ya seperti itu," sahut Rain. "Biasa pertengkaran anak gadis dengan orang tua."
"Kau nakal? Pergaulanmu terlalu bebas?" tanya Awan.
Rain mengernyitkan keningnya. "Apa yang kau maksud? Aku anak baik-baik kok."
"Ya kan, biasanya antara orang tua dan anak itu bertengkar karena si anak susah diatur. Maunya bener sendiri," ujar Awan.
"Bukan itu masalahnya, intinya aku sedang ada masalah. Kau ngga udah tahu masalahnya apa itu, tinggal bantu aku saja tampung di rumahmu," ujar Rain.
Selama ini tidak ada yang begitu memerhatikannya dan memberikan nasehat. Namun Awan pria yang baru saja ia kenal langsung menyentuh hatinya. Ia yakin Awan adalah pria baik.
"Apa kau tak takut satu atap dengan seorang pria?" tanya Awan.
"Tidak, asal kau masih bisa sopan itu nggapapa," ucap Rain.
Hari sudah mulai petang, mau tidak mau, Awan membawa Rain ke rumahnya. Ia benar-benar sudah lelah sekarang, ia butuh istirahat. Akan ia biarkan Rain tinggal di rumahnya malam ini. Dan besok ia akan mencari tahu di mana gadis otu tinggal, dan mengantarkannya kepada kedua orang tua wanita itu.
"Baiklah, untukk malam ini aja," ucap Awan.
Rain mengangguk. Tidak apa-apalah hanya satu malam, ia bisa memikirkan akan tinggal di mana bsetelah istirahat nanti. Atau jika tidak ada tujuan, ia akan kembali ke rumah. Tapi ... alasan apa yang harus ia berikan kepada orang tuanya. Sial, pasti itu akan sangat memalukan juga jika baru dua hari pergi lalu kembali lagi karena tidak ada tempat.
°°°
Mobil sedan silver yang di kendarai Awan berhenti di basemen salah satu gedung yang menjulang di Jakarta.
"Di sini? Di mana rumahmu?" tanya Rain.
"Rumahku ada di kampung, aku kerja di Jakarta dan tinggal sendirian di apartemen," sahut Awan tanpa menoleh. Pria itu tengah sibuk melepas sabuk pengaman, serta mengambil plastik putih di jok belakang.
"Hmm ... baiklah," ucap Rain.
Mereka berdua turun secara bersamaan dari mobil. Rain melihat ke kiri dan sekitarnya untuk memastikan tidak ada orang yang mengenalnya. Walaupun ia selalu di rumah, tetap saja sebagian orang mengenalnya karena orang tuanya.
Rain membuntuti Awan dari belakang, wanita itu mengamati postur tubuh Awan yang terlampau bagus. Menurutnya. Tiba-tiba ingatanya kembali ke kejadian beberapa jam lalu di mana ia secara langsung melihat sepasang kekasih tengah bercumbu mesra. Itu benar-benar merusak pikiran Rain yang polos ini.
Mereka sampai di depan pintu apartemen, Awan langsung metogoh kunci di saku celananya kemudian membuka pintu dan berjalan masuk. Begitupun dengan Rain.
Rain mengamati ruangan yang terbilang sempit itu. Ya, sempit, Rain selama ini hidup dengan harta yang bergelimpangan dan sekarang harus tinggal di tempat seperti ini, apa ia sanggup?
"Kenapa? Kecil?" ucap Awan langsung menebak ketika melihat ekspresi Rain.
"Tidak, bukan seperti itu. Aku hanya berpikir apa hanya ada satu kamar di sini?" tanya Rain.
Awan mengangkat kedua bahunya kemudian meninggalkan Rain.
Tanpa menjawab pun seharusnya Rain sudah tahu, apartemen itu hanya terdiri dari satu kamar tidur beserta kamar mandi, ruang tamu dan dapur. Hanya itu saja.
"Lalu aku akan tidur di mana?" tanya Rain melangkah menghampiri Awan yang tengah membereskan beberapa belanjaannya di kulkas.
"Terserah, id sofa ruang tamu tidak apa-apa, tapi hanya ada satu kipas angin yaitu di kamarku," ujar Awan.
Rain menghalangi Awan dengan berdiri di depan pria itu. "Apa kau betah hidup seperti ini?"
"Jika kau tidak mau, pergi saja dari sini. Apa kau tahu tidak semua orang terlahir menjadi orang kaya sepertimu. Kami orang tak mampu harus bekerja keras setiap hari untuk bisa bertahan hidup," ucap Awan.
"Iya, iya maaf. Bolehkah aku tidur di kamar?" tanya Rain.
"Bersamaku?" tanya Awan balik seraya menunjuk dirinya dnegan jari telunjuk.
"Iya, nanti kita batasi satu kasur agar bisa muat dua orang," ucap Rain seraya tersenyum.
"Apa kau tidak takut aku akan menyerangmu di tengah malam?" tanya Awan.
"Tidak, aku percaya kau pria baik yang bermartabat. Kau pasti tidak akan berbuat macam-macam denganku, ya kan?"
Awan mendengus pasrah. "Sebaik-baiknya kucing kalau di suguhi ikan di depannya secara gratis pasti akan langsung diterkam. Begitupun dengan seorang pria, kenapa kau begitu yakin? Apa kau tidak tau kejamnya dunia luar?" tanya Awan.
"Setelah bertahun-tahun aku baru bisa bebas dari rumah," ucap Rain.
"Kau itu seorang wanita, kau seharusnya menjaga dirimu dengan baik. Jangan asal percaya dengan seseorang, tidak semua orang itu baik, kau tau," tukas Awan kemudian meninggalkan Rain.
Rain terdiam beberapa saat. Ternyata bukan ayahnya saja yang mengatakan seperti itu. Bahkan, Awan pria yang baru saja ia kenal langsung menasehatinya begitu, dan anehnya itu membuat hati Rain semakin yakin jika Awan adalah pria baik.
"Intinya aku mau tidur di kamar," ucap Rain.
°°°
"Bodoh! Di mana Rain?"
Di sisi lain, Aron tengah memaki Handik yang dengan cerobohnya membiarkan Rain pergi.
"Aku tidak tau jika Rain akan pergi, Ron," ujar Handik.
"Terus aku harus cari Rain di mana? Apa wanita itu sudah pulang ke rumahnya?" gumam Aron, pria itu masih saja bolak-balik dengan satu tangan yang memegabg pinggang, dan satu tangannya memijit pelipis.
"Coba cari di rumah wanita itu saja," ujar Handik.
Tanpa mengatakan apa pun, Aron langsung pergi meninggalkan dua sepasang kekasih di dalam apartemennya.
Pria itu buru-buru masuk ke dalam mobilnya dan melaju cepat menuju ke rumah Rain.
Hanya butuh waktu lima belas menit untuk Aron sampai di kediaman Rain. Pria itu kembali berlari dan masuk ke dalam rumah.
"Apa Rain sudah di temukan?" tanya Aron ketika berhadapan dengan Hera.
"Belum," ujar hera.
"Belum?" tanya Aron kembali.
Aron terlihat semakin gusar. Jika Rain belum pulang ke rumahnya, lalu wanita itu sekarang di mana?
°°°
Hari sudah berubah petang, matahari menenggelamkan diri beberapa waktu yang lalu.
Rain duduk terdiam di kamar Awan. Menunggu gilirannya untuk mandi. Sudah hampir setengah jam ia menunggu pria itu ke luar. Namun sampai detik ini pun Awan belum juga menampakkan diri. Sedang apa sebenarnya pria itu di dalam kamar mandi?
Lama menunggu membuat Rain begitu mengantuk, ditambah lagi dengan bantal dan kasur yang sepertinya memanggil-manggilnya untuk mendekat. Rain kemudian merebahkan tubuhnya di atas kasur dan memejamkan matanya.
To be continued...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top