Adam Grey Setiawan

"Jangan memberi kesempatan jika hanya karena rasa kasihan."

"Pak Alexander?"

Aron bergumam lirih dengan wajah cemas melihat ayah dari wanita yang ia bawa ke apartemen sudah di depan pintu. Apa yang akan terjadi padanya jika nanti Rain akan bercerita perihal yang dilkukannya kepada orang tua wanita itu?

"Siapa?" tanya Rain seraya melangkah mendekati Aron.

Aron menatap Rain dari atas sampai bawah. Wanita itu kini hanya mengenakan celana pendek dan kemeja putih yang sudah terbuka kancing atasnya karena kelakuan Aron beberapa menit lalu. Dengan melihat keadaan Rain membuat Aron semakin cemas. Apa pun itu, Rain tidak boleh tahu jika yang datang adalah ayahnya.

"Bukan siapa-siapa, sepertinya polisi yang sedang betugas mengecek apartemen," ujar Aron, ia berjalan mendekati Rain dan dua orang yang masih bertelanjang. "Handik, tolong bawa Rain pergi dari sini lewat pintu rahasia. Dan kamu Rain pakailah pakaian pacar Handik untuk berjaga-jaga."

"Kenapa tiba-tiba bagitu?" tanya Rain bingung.

"Jika polisi itu melihat kita yang sedang berkumpul seperti ini, pasti akan ada banyak masalah. Di tambah kamu, Rain, Papah kamu adalah orang penting pasti mereka akan tahu jika melihatmu," ujar Aron.

"Tidak apa-apa, aku juga ingin pulang sekarang," sahut Rain.

Aron mengusap wajahnya kasar. "Kamu mungkin tidak apa-apa karena punya koneksi orang tuamu. Tapi bagaimana dengan kami?" tanya Aron.

Rain terdiam, benar saja yang dikatakan Aron. Jika itu memang polisi yang berpatroli pasti akan menimbulkan masalah. "Baiklah, aku ikuti apa katamu," ujar Rain.

Mereka berempat mulai melakukan apa yang diperintahkan Aron, dan berpencar secara cepat.

Karena Aron yang lama membuka pintu, seseorang di depan kini menggedor pintu dengan keras.

Setelah semuanya berjalan dengan lancar, Aron membukakan pintu dan berpura-pura jika ia baru bangun tidur.

"Eh, Pak Alex. Ada apa, Pak?" tanya Aron pura-pura tidak tahu.

Tanpa menjawab pertanyaan Aron. Alexander langsung masuk begitu saja ke apartemen. Pria paruh baya itu mulai mencari keberadaan putrinya di sana.

"Siapa yang sedang tidur di kamar kamu?" tanya Alexander seraya menunjuk wanita di balik selimut.

"Itu ... Pacar saya, Pak," jawab Aron.

Lagi-lagi, Alexander bertindak memasuki kamar Aron dan membuka slimut itu.

"Ada apa, Pak?" tanya Sarah, wanita yang tengah tidur di sana.

"Bapak sudah keterlaluan, Pak. Ini privasi saya kenapa Bapak begitu lancang?" tanya Aron.

Alexander terkejut ternyata dugaannya salah. Itu bukan Rain, putrinya. "Di mana Rain?" tanya Alexander.

"Saya tidak tahu, Pak. Dari kemarin saya tidak bertemu dengan Rain sama sekali."

"Maafkan saya kalau begitu. Saya kira Rain kamu yang ajak kabur," ujar Alexander.

"Saya tidak tahu apa-apa, Pak," sahut Aron.

Setelah apa yang dicariny tidak ada di sanax Alexander kemudian memibta maaf kembali kepada Aron dan pamit pergi.

"Jika nanti kamu mendengar kabar Rain, tolong kabari saya," ujar Alexander dan berlalu pergi bersama dua pengawalnya.

°°°
Di sisi lain, Rain terus berjalan mengekori teman pria aron. Mereka sekarang sudah sampai basement, sesuai perintah Aron, Handik kemudian membawa Rain ke dalam mobilnya sampai Aron menjemput mereka.

Rain duduk terdiam, ia menggigit kecil kukunya terlihat bingung. Sebenarnya apa yang ia lakukan sekarang ini? Bukankah berada di luar adalah kesempatan bagus untuk meninggalkan apartemen Aron. Si pria mesum itu.

Ia melirik Handik yang tengah memainkan ponselnya.

"Boleh aku ke kamar mandi?" tanya Rain.

Handik menoleh, dan terdiam beberapa saat. "Ya ampun! Kenapa aku baru sadar," ujarnya.

"Kenapa?" tanya Rain yang merasa aneh dengan teriakan Handik yang tiba-tiba mengejutkannya.

"Kamu ternyata begitu cantik, kulitmu mulus banget seperti tidak pernah terkena sinar matahari. Kamu dari persembunyian mana?" tanya Handik.

Rain berdecak mendengar jawaban dari teman Aron. Mereka sama saja, padahal ini adalah pengalaman pertama Rain begitu dekat dengan seorang pria. Namun, sepertinya takdir belum mengizinkannya bertemu pria baik. Apa semua pria seperti mereka? Tidak, tidak mungkin. Pasti ada berapa persen yang baik.

"Apa yang kamu katakan," ucap Rain.

"Engga, cuma becanda. Jangan takut, lagian aku tidak ada napsu-napsunya melihatmu. Kamu sepertinya tidak berpengalaman dalam hal itu---"

"Haish ... Cukup! Aku ingin ke kamar mandi sebentar," ujar Rain kemudian membuka pintu mobil yang untungnya tidak terkunci.

"Hmm ... Baiklah, jangan lama-lama, dan ingatlah jalan pulang," ucap Handik acuh seperti tidak memedulikan sesuatu yang mungkin saja akan dilakukan Rain.

Setelah benar-benar menjauh dari mobil Handik. Rain berlari mencoba mengingat-ingat jalan ke luar dari sana. Tiba-tiba langkahnya terhenti ketika melihat ayahnya bersama dua pengawal tengah berjalan menghampirinya. Sial, padahal ia belum lama pergi dari rumah. Apakah ia harus kembali ke sana lagi?

Tidak ada waktu untuk berfikir, Rain kemudian berlari berlawanan arah. Namun ternyata Aron sudah sampai di mobil Handik.

Sungguh pilihan yang sulit. Apa ia harus kembali ke ayahnya dan merasakan penjara di dalam rumah. Ataukah ia harus pergi ke tempat Aron si pria mesum itu lagi? Itu sangat berbahaya.

Rain melihat seorang pria berjas yang akan naik ke mobilnya tak jauh tempat berdiri Rain.

Rain memiliki sebuah ide yang bagus. Ia akan naik ke mobil pria itu dan nantinya ia akan turun di tempat yang sekiranya aman sambil memikirkan ia akan tinggal di mana sementara waktu ini.

Rain berlari saat pria asing itu memencet tombol untuk membuka mobil. Hanya beberapa detik, Rain sudah masuk ke dalam mobil pria asing itu. Rain tidak memikirkan apakah pria yang ada di sampingnya sekarang adalah pria baik? Atau dia bisa saja mencelakainya?

"Heh! Siapa kau?"

Rain memandang pria itu kaku, apa yang harus ia katakan sekarang. Sedangkn pikirannya seakan-akan berhenti saat ini juga.

Rain terpesona, ya. Baru pertama kali ini ia langsung deg-degan melihat pria asing. Sepertinya pria itu memiliki daya tarik tersendiri yang membuat Rain susah untuk berpaling.

Manik biru pria itu begitu indah dengan bulu mata lentik yang menghiasinya. Alisnya memancarkan aura kedinginan sifat pria itu. Hidung mancung, serta bibir yang sangat seksi itu membuat Rain kembali berimajinasi jika bibir itu nantinya menempel di---

"Hei, turun dari mobilku sekarang juga. Siapa kau? Jawab!" teriak pria itu.

Rain langsung tersadar dari imajinasi liarnya. Wanita itu kemudian berpura-pura sangat sedih agar pria pemilik mobil akan mengasihaninya.

"Aku ... tidak punya rumah, aku di kejar-kejar pria mesum. Tolong lindungi aku untuk sementara waktu, apa kamu mau menampungku?" ujar Rain.

Eh, tunggu. Kenapa ia mengatakan seperti itu?

"Bohong, Kau gila?" ucap pria itu dingin. "Sebelum aku yang bertindak, alangkah baiknya jika kau turun sendiri."

"Aku tidak berbohong. Tolong, percayalah padaku. Aku akan melakukan pekerjaan rumahmu jika itu perlu. Aku jago memasak, mencuci, membersihkan---"

"Tunggu ... tunggu, kau pekerja rumah tangga? Lain kali kalo mau nglamar kerjaan jangan asal nyrobot begini. Apa kau pikir aku akan menerimamu karna belas kasih?" ujar pria itu.

"Tidak aku bukan--"

"Aku masih bisa membereskan rumahku sendiri, lagian menyewa pekerja rumah tangga akan membuang-buang biaya," sela pria itu.

"Aku akan bekerja suka relawan. Asal itu sama kamu," ucap Rain.

Lagi-lagi, Rain tidak bisa mengendalikan mulutnya agar tidak bicara ngasal.

"Kenapa dengan diriku? Hmm?" tanya pria itu.

"Tampan," ujar Rain seraya menopang dagunya. Sungguh ia tidak bisa berbohong kali ini. Pria itu telah merusak pikiranya, dalam beberapa menit saja Rain rasa hatinya sudah sangat berbunga-bunga.

"Benarkah kamu mau bekerja suka relawan di rumahku?" tanya pria itu.

"Hmm iya, boleh tahu nama Anda siapa?" tanya Rain.

Pria itu menarik satu alisnya ke atas. "Menarik," gumamnya. "Aku Adam Grey Setiawan. Kamu bisa panggil aku Adam."

"Awan," ujar Rain. "Itu nama yang cocok untukmu. Kau tau, Rain tidak akan ada tanpa Awan."

"Rain? Hujan?" tanya Awan.

"Iya, perkealkan namaku, Rain," ujar Rain seraya mengulurkan tangannya. "Bisakah kita langsung pergi saja dari tempat ini?"

Awan mengangguk. Jujur saja, ia juga baru pertama kali bertemu dengan seorang wanita yang bisa begitu jujur dengan isi hatinya di hadapan pria. Dan itu mengesankan menurut Awan.
Lagi pula, kesempatan tidak akan terulang kedua kali, Awan memang membutuhkn seseorang untuk membersihkan rumahnya yang tidak terwat. Dari pada menolak wanita secantik Rain yang mau bekerja suka relawan di rumahnya, mending ia terima itu.

To be continued...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top