5. QWINCY SI SPIDER
🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️
“Eh, ketemu lagi. Ternyata kita emang jodoh.”
Qwincy mengambil tempat di samping perempuan yang kali ini mengenakan jilbab biru langit, senada dengan baju dan topi baseball warna dongker.
Perempuan yang disapa mendelik risih, lalu kembali menatap layar ponsel. Dia tak ingin membuang-buang waktu untuk menanggapi karena harus menelusuri artikel dan jurnal-jurnal ilmiah.
“Mau konsul juga?” tanya Qwincy basa-basi.
“Anda pikir saya terlalu iseng buat nongkrong-nongkrong doang di sini?”
Tanpa menoleh, Ocean menjawab ketus.
Tersenyum lebar, Qwincy menyandarkan punggung di kursi ruang tunggu. Kegiatan menanti antrian kali ini rasanya akan mengasyikan. Mungkin saja, ia berhasil menemukan hal baru dari sang calon tokoh cerita.
“Gue boleh nanya, enggak?” Qwincy teringat titipan pertanyaan Aru.
“Enggak!”
Tak peduli dengan penolakan itu, Qwincy malah bertanya, “Kenapa waktu itu lo mau mayungin gue dan bersedia nganter gue padahal rute kita beda?”
Ocean menoleh. Matanya nyalang, kesal sekali karena si pria berkucir satu terus mengganggu. Padahal mereka sama sekali tidak akrab.
“Anda tahu arti kata ‘enggak’?”
Qwincy cengar-cengir, teringat adegan serupa di salah satu novel yang pernah ditulis. Dalam situasi seperti ini, seharusnya sang tokoh tidak boleh terlalu memaksakan diri agar si target tidak melarikan diri.
Pria itu lalu mengeluarkan laptop butut dari tas. Berdasarkan pengalaman bulan lalu, menunggu antrian di rumah sakit akan menyita banyak waktu. Akan lebih bermanfaat jika ia menggunakan detik-detik itu untuk menulis. Seribu, dua ribu, bahkan lima ribu kata mungkin bisa dihasilkannya.
Selama dua puluh menit tenggelam dalam baris-baris kalimat, tiba-tiba Qwincy dikejutkan oleh panggilan seseorang. Ia pun menoleh ke arah kanan.
“Saya boleh minta tolong?” Masih dengan nada ketus, Ocean bertanya.
Meski samar, Qwincy bisa melihat perempuan di samping tengah menatap penuh harap. Belum juga ia menjawab, perempuan itu sudah kembali menyambar.
“Saya mau ke toilet. Saya bisa nitip anak saya sebentar?” pintanya sambil mengerling ke kursi di samping kanan.
Qwincy tercengang, lalu menjulurkan leher ke hingga bisa melihat gadis berkaos biru yang tengah duduk sambil mewarnai. Sepertinya ia terlalu sibuk memperhatikan si ibu hingga tidak menyadari kehadiran anak kecil itu.
Ia kembali berpaling pada perempuan itu. Wajah yang masih terlihat belia ditambah gaya berbusana ala anak muda kekinian membuat Qwincy awalnya yakin bahwa perempuan itu masih berstatus sebagai mahasiswi. Minimal fresh graduate dari salah satu universitas.
Namun, mendapati bahwa perempuan itu sudah menikah dan berstatus sebagai seorang ibu, Qwincy pun tak bisa menutupi rasa terkejut. Juga sedikit kecewa. Jika begini kondisinya, bagaimana ia bisa melanjutkan kisah roman di bawah salju?
“Bisa, kan? Sebentar aja,” desak Ocean.
Sambil menghela napas, Qwincy memutar kedua bola mata. “Giliran ada maunya, gue dibaik-baikin.”
Ocean menggigit bibir bawah, menahan malu. Meminta tolong pada orang yang telah diketusi, memang terlalu berlebihan. Namun, dia tidak punya pilihan.
Dia tidak mungkin membawa-bawa gadis itu ke toilet. Di sana tidak ada kursi tunggu. Menitipkan gadis kecil itu ke sesama pasien, menurutnya akan lebih efisien.
“Kalo anda tidak bersedia, saya minta tolong yang lain saja.”
Ocean lalu mengedarkan pandang ke sekeliling. Ia memang mengenal beberapa orang dewasa di sana, tapi semuanya terlihat sedang sibuk. Ada yang menyuapi anaknya makan, ada yang sedang me-ninabobo-kan, ada pula yang tengah menghibur anak yang rewel.
“Iya, iya, deh. Gue bantu.”
Qwincy menyerah. Paling tidak, ia harus membalas kebaikan perempuan itu tempo hari.
Ocean pun tersenyum lega.
“Tapi lo harus jawab dua pertanyaan gue.” Qwincy mengajukan syarat. Lagipula, ia memang harus menyelesaikan tugas yang diberikan Aru.
“Apa?”
“Pertama, kenapa waktu itu lo mayungin gue?”
Ocean mengernyit, seakan-akan baru saja mendengar pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban, seperti ‘kenapa saya harus makan?’
“Bukannya anda gampang terserang flu kalo kena hujan?” Ocean balik bertanya.
Kali ini Qwincy mengernyit. Ia sendiri tidak tahu akan hal itu karena memang sudah belasan tahun tidak pernah mandi hujan.
Namun, pria itu tak urung mengangguk. Sepertinya, takut terserang flu bisa jadi lanjaran bagus untuk menghindari chinophobia.
“Dan saya jadi tahu, kalo anda takut petir,” ejek Ocean.
Qwincy membekap mulut, menahan tawa yang hampir terlepas. Perempuan di hadapan sungguh sok tahu. Berkali-kali mengeluarkan pernyataan yang seolah-olah pasti, padahal tidak ada bukti jelas.
Merasa tak perlu menanggapi kesalahan teori yang terjadi -lagipula kepentingannya saat ini adalah mendalami karakter dari tokoh yang ingin ditulis-, Qwincy pun melanjutkan.
“Kedua, apa lo akan memayungi setiap pria asing yang terjebak hujan?”
“Enggaklah!” Perempuan itu mendelik, “Anda pikir saya ojek payung?”
Sambil mengangguk, Qwincy tersenyum. Ia berhasil mendapat jawaban dari pertanyaan titipan Aru. Meski tiba-tiba ada tanya lain yang hadir. Apakah ia begitu spesial hingga mendapat kesempatan dipayungi tempo hari? Sespesial apa? Apa alasannya? Bukankah dia perempuan bersuami?
Saat Qwincy tenggelam dalam pikiran, Ocean buru-buru menyambar, “Sini laptop anda!”
Dengan ragu-ragu, Qwincy menyerahkan benda berharganya. Tanpa ragu, Ocean meraih dan menutup layarnya.
“Saya butuh jaminan. Dan saya yakin, ini adalah jaminan yang tepat,” terang Ocean menjawab kebingungan yang terpancar di wajah pria berkaus hitam itu.
Qwincy melotot. Bagi sebagian besar penulis, laptop, tablet, atau ponsel yang digunakan untuk menulis adalah harta karun mereka. Pun berlaku untuknya. Draf cerita, data mentah, hingga tulisan yang sudah matang, semua ada dalam laptop kesayangannya.
Tanpa menunggu respon Qwincy, Ocean membalikkan tubuh. Membisikkan sesuatu pada gadis kecil berbaju biru sambil mengerling ke arah orang yang akan dititipi, lalu segera bergegas menuju toilet di ujung lorong.
Bagi Qwincy, adegan itu terlalu cepat berlalu. Ia bahkan tidak sempat mengatakan satu kata pun.
Qwincy melirik ke arah gadis kecil yang dititipi, lalu mulai berpindah duduk, mendekat. Diam-diam, ia menyeksamai gambar yang tengah diwarnai: dua sosok yang sedang berada di taman bunga.
Setelah beberapa menit mengambil jeda waktu, Qwincy pun mulai bertanya basa-basi, “Itu gambar siapa?”
“Aku sama mama.” Tanpa menoleh, gadis kecil itu menjawab.
“Oh.” Qwincy mengangguk-angguk. “Papa kamu enggak digambar?”
Lagi-lagi tanpa menoleh, gadis lima tahun itu menjawab, “Kata opa, aku enggak punya papa.”
Qwincy tertegun mendengar jawaban itu. Sudah punya ibu yang sakit, ayah gadis kecil itu pun ternyata tidak ada. Betapa miris takdir hidupnya.
Tiba-tiba, sebuah ide terlintas di benak Qwincy. Persetan dengan romansa di bawah salju. Ia sekarang lebih tertarik untuk menulis cerita tentang gadis kecil yang ingin membahagiakan sang ibu yang sedang sakit.
Untuk itu, Qwincy harus mengganti si tokoh utama dan mulai menggali karakter baru. Maka hal pertama yang harus dilakukannya adalah perkenalan, lalu mulai menggencarkan pendekatan.
“Anak cantik,” panggil Qwincy.
Kali ini gadis kecil itu menoleh.
“Nama kamu siapa?”
“Len,” jawabnya sambil memperlihatkan empat gigi seri atas yang sudah tanggal.
Qwincy tersenyum. ‘L family,’ gumamnya dalam hati sambil mengingat nama ibu anak itu; Lily.
“Nama om siapa?” Gadis itu balik bertanya.
“Qwincy.”
Dahi gadis itu mengernyit. “Spidel?”
Giliran dahi Qwincy yang mengerut karena tidak paham.
“Qwincy wincy spider climbed up the waterspout.”
Dengan kedua jari jempol dan telunjuk saling bertaut selang-seling, gadis itu menyanyikan sebuah lagu.
“Down came the rain and washed the spider out. Outcame the sun and dried up all the rain. So Qwincy wincy spider went up the spout again.”
Qwincy sontak terbahak karena gadis itu menambahkan dua huruf -hingga Incy menjadi Qwincy- yang seketika mengubah dirinya menjadi tokoh dalam lagu tersebut.
Namun di saat bersamaan, pria itu meringis. Ia tahu betul makna lagu itu dan tiba-tiba menyadari satu hal. Bahkan di lagu para bocah, dirinya dikalahkan oleh hujan. Maka alasannya untuk membenci hujan pun semakin bertambah.
“Om, om itu spidel, ya?” Dengan cadel, gadis itu bertanya ulang.
Qwincy menggaruk-garuk kepala karena merasa bingung. Haruskah dirinya mengikuti imajinasi gadis di samping?
“Iya, kan?” Mata bulat gadis itu membesar, menatap penuh harap untuk sebuah jawaban ‘iya’.
Sambil mengulum senyum, dengan iseng Qwincy mengangguk. “Betul!”
Jawaban Qwincy membuat gadis itu takjub. Tanpa sadar dia tersenyum, seperti baru saja bertemu tokoh kartun yang dikagumi.
Qwincy yang menyadari perubahan ekspresi gadis itu, lalu mencondongkan tubuh. Sambil melirik ke kanan dan kiri, seakan-akan ingin mengumumkan rahasia tingkat intergalaksi, Qwincy berbisik,
“Lebih tepatnya, sebenarnya, om adalah spiderman.”
Qwincy lalu mengulurkan dua telapak tangan dengan jari tengah dan manis tertekuk ke dalam.
“Pst… pst…,” desisnya sambil memperagakan gerakan Spiderman saat sedang menyemprotkan jaring laba-laba.
Gadis yang memanggil dirinya Len itu sontak menjauhkan tubuh, lalu memindai Qwincy dengan mata memicing. Ekspresi takjubnya sontak hilang seperti tersapu angin.
“Om bohong, ya? Spidelman, kan, enggak gondlong!” ucap gadis itu sambil menunjuk rambut Qwincy yang mencuat dari balik topi.
“Hah?” Qwincy terpana. Ternyata ia tidak diakui sebagai Spiderman hanya karena punya rambut gondrong.
“I-itu karena… karena rambut gondrong bisa menambah kekuatan.”
“Aku enggak percaya!” tukas gadis itu lalu membuang muka, kembali sibuk mewarnai kertas gambar bertelekan papan.
Mulut Qwincy sontak menganga. Bukankan lebih masuk akal jika dirinya adalah seorang spiderman dibandingkan hanya seekor laba-laba kecil? Namun, kenapa gadis kecil itu malah tidak terima?
🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️
Qwincy di mata dirinya sendiri
Versus Qwincy di mata 'Len'
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top