4. SAD ENDING
“Jadi, itu perempuan baantar* si laki-laki, pakai payung, sampai ke gedung yang dituju. Terus, itu perempuan putar bale karena dia pung arah berbeda?”
*mengantar
Dari seberang telepon, Aru mengulang draft opening cerita yang baru selesai dibacanya sejam lalu.
“Exactly! Gimana menurut lo? Draf gue keren, kan?” tanya Qwincy penuh percaya diri. Selama ini Aru memang sering mengatakan bahwa ide-idenya cukup menarik.
“Dia punya scene, oke. Anti-mainstream,” ucap Aru jujur.
Sementara di seberang, Qwincy tengah mengangguk-angguk sambil tersenyum jumawa.
“Biasanya, to, laki-laki yang rela baantar perempuan, meskipun dorang* beda arah. Sekarang kau bikin hal yang beda.”
*mereka
Aru menyandarkan punggung dan kepala ke kursi kerja, membuat benda berwarna hitam dan merah itu sedikit berputar.
“Masalahnya--”
“Masalahnya?” Dengan cemas Qwincy mengulang. Tak ingin adegan –yang menurutnya tak terlupakan itu- dihilangkan.
“Lanjaran takut kebasahan, kaya bagimana, e?” Aru menghentikan kalimat, berpikir sejenak.
“Itu laki-laki macam lemah sekali, e. So macam kertas yang takut hancur kalo kena air. Terlalu rapuh.”
“Enak aja! Emang ada penelitian yang membuktikan kalo takut kebasahan berhubungan sama tingkat kekuatan atau kelemahan laki-laki?”
Emosi Qwincy tiba-tiba tersulut. Ia tidak terima dicap sebagai manusia lemah.
Di seberang, yang dimarahi malah terkikik. “Kau pung tokoh yang saya komentari, kenapa kau yang emosi? Jan-jangan, laki-laki ini sebenarnya kau?”
“Bu-bukanlah. Gue cuma ngerasa empati aja sama tokoh gue.”
Aru berdecak, sebelum melanjutkan.
“Maksudku, di sini ada plot hole. Kau kan pake setting winter. Saat winter, orang-orang keluar rumah pakai trench coat, parka, windbreaker, atau jenis jaket lain yang tebal dan waterproof. Jadi kalo tiba-tiba turun salju, dorang akan santai terobos itu salju. Tra* takut kebasahan. Apalagi, kau pung tokoh tidak suka babasah-basah. Harusnya, persiapan dia jauh lebih lengkap.”
*tidak
Qwincy mengerem mobil. Sambil menanti lampu lalu lintas berubah warna, ia berpikir. Yang dikatakan Aru benar. Ia memang sadar, draf tiga bab awal yang dikirim semalam masih sangat mentah karena ditulis terburu-buru.
Ide itu memang terlintas begitu saja ketika Qwincy mengingat perempuan yang dijumpai empat minggu lalu di Indonesia Heart Centre. Ditulis kurang dari tiga jam sebab dirinya tak bisa tidur karena memikirkan pertemuan dengan dokter hari ini. Diniatkan hanya untuk memaparkan ide awal yang terinspirasi dari pertemuan dengan Lily.
Dari setiap alur yang ada di draf, adegan di saat salju memang sedikit mengganggu. Qwincy mengadaptasinya dari perjumpaan awal dengan perempuan berbulu mata lentik itu. Namun, ia enggan melibatkan hujan dan memilih menggantinya dengan air dalam bentuk beku. Salju.
“Bagimana kalo kau pake lanjaran chinophobia? Kayanya itu lebih menarik,” usul Aru saat tanggapan dari Qwincy tidak kunjung hadir.
Qwincy mengernyit. Chinophobia atau fobia salju memang sempat terlintas sebagai alasan si cowok enggan melintasi salju. Namun, ia takut Aru curiga sebab merasa itu terlalu mirip dengan kisah hidup Qwincy.
“Aha!”
Seruan Aru membuat Qwincy menahan napas. Ia khawatir hal yang bersusah payah dihindari akan kembali diungkit.
“Ato kau ganti saja setting-nya. Bikin itu jadi hujan air. Terus, kau pake osmopho--”
“Ru!” Suara Qwincy meninggi. Dugaannya tepat. Aru ingin mengarahkan adegan itu ke setting hujan.
“Kenapa, sih, lo terobsesi banget sama fobia-fobia gitu? Jangan-jangan lo psikolog yang nyamar jadi editor? Atau lo adalah staff alien yang lagi nyerang manusia dengan senjata fobia?”
Lagi-lagi Aru berdecak. “Memang repot sekali, bicara dengan tukang khayal. Se…mua-muanya dia bikin jadi fantasi,” geramnya.
“Saya bukan ter-ob-se-si, Kawan. Saya cuma pikir kalo bahasan itu u-nik. Betul, to?”
Qwincy berdehem kesal, tapi tak memungkiri bahwa ide Aru cukup menarik. Dan menantang. Selama ini, ia memang belum pernah mengangkat tema fobia dalam novel-novel.
“Tetap di-setting salju juga tidak apa-apa. Kau, kan, bisa pake lanjaran chinophobia,” tambah Aru.
Sambil berpikir, Qwincy menginjak rem, lalu beberapa detik kemudian kembali menginjak pedal gas. Berulang kali ia melakukannya dengan perlahan. Seluruh kendaraan roda empat memang terpaksa melakukan itu karena macet. Hanya sepeda motorlah yang bisa tetap melenggang, menyempil di antara mobil-mobil.
Saat-saat seperti ini membuat Qwincy iri pada pengendara kendaraan roda dua. Namun untuk beralih kendaraan, ia pun enggan. Bukan karena gengsi, tapi karena pengalaman buruk dengan kendaraan itu.
Beberapa tahun lalu, selain memiliki mobil –hadiah dari Agra-, Qwincy juga mempunyai sepeda motor -yang hanya dikendarai di musim panas-, untuk bisa mengalahkan macet ibukota.
Namun, di satu hari yang cerah saat ia harus melalui perjalanan jauh, tiba-tiba langit berubah drastis. Secara iseng hujan turun dan membuat Qwincy harus berteduh lama di bawah halte, bersama suhu dingin, kelembapan, suara, dan aroma yang dibencinya.
Sejak itu Qwincy tak ingin mengambil resiko. Musim panas ataupun hujan, ia akan selalu mengendarai si roda empat. Bahkan saat salat Jumat ke masjid di seberang apartemen, ia rela menempuh perjalanan memutar dengan mobil. Padahal hanya perlu melewati jembatan penyeberangan untuk tiba di sana dengan jalan kaki.
“Nanti gue pikirin, deh,” putus Qwincy sambil menggerundel.
“Nah, begitu, dong!” sahut Aru, merasa senang Qwincy mulai melunak.
“Terus, ada lagi yang mau lo komentarin?”
“Ada. Katong lanjut yang kedua. Kenapa itu perempuan mau baantar si laki-laki padahal mereka baru pertama kali ketemu?” Aru melanjutkan pertanyaan.
“Karena cowok itu adalah pasien di rumah sakit yang sama dengan dia.”
Sambil memutar kursi hingga 180 derajat, Aru melanjutkan, “Jadi, apa perempuan itu juga bikin hal yang sama ke semua pasien laki-laki yang pakai baju seadanya pas turun salju?”
Qwincy memperbaiki earphone di telinga, berpikir sejenak. “Kalo menurut lo, gimana?”
“Heh! Kenapa kau tanya bale?”Aru menghentikan putaran kursi.
“Ini kan kau pung tokoh. Harusnya, kau yang paling mengerti isi hati dan kepalanya.”
“Iya, sih,” kekeh Qwincy. “Gue cuma mau tau pendapat lo aja.”
Meski setiap tokoh yang ditulis adalah miliknya, di mana perasaan dan pemikiran mereka dapat diatur olehnya, tapi Qwincy tak pernah melewatkan riset-riset kecil sederhana.
Apa yang diinginkan ayah-ayah yang hanya memiliki satu putra tunggal, apa yang dirasakan para ibu saat tahu anak perempuannya tidak bisa mengandung, apa yang dipikirkan seorang kakak ketika adiknya merebut calon suaminya, hingga hal remeh seperti apa yang mungkin dipikirkan seekor gurita jantan jika tahu hidupnya akan berakhir saat melakukan perkawinan dengan betina. Apakah dia akan memilih hidup tanpa kawin atau kawin sekali lalu mati?
“Saya tra mau-lah,” jawab Aru setelah beberapa saat berpikir.
“Bahujan-hujan salju itu hal yang biasa untuk penduduk di negara empat musim. Kenapa saya harus repot-repot kase payung untuk laki-laki asing?”
Sambil berpikir, Qwincy mengangguk. Memang tidak semua perempuan akan berbaik hati memayungi orang bahkan laki-laki asing, tanpa alasan yang jelas. Pendapat Aru cukup masuk akal.
“Apalagi korang sama-sama laki-laki. Apa nanti orang bilang?” lanjut Aru.
Qwincy menarik napas dalam-dalam.
“Emang siapa yang minta pendapat lo sebagai spesies cowok? Maksud gue, kalo lo jadi cewek itu, lo bakal mau mayungin si cowok ato enggak?”
Aru terbahak mendengar omelan Qwincy. Setelah beberapa saat, dia pun menjawab, “Saya mungkin akan jadi orang paling baik kalo tahu umurku sudah tidak lama lagi.”
Qwincy manggut-manggut. “Masuk akal, sih. Itu emang pikiran orang oportunis kaya lo.”
“Haruslah! Saya, kan, tra punya orang dalam di surga, makanya saya harus kerja keras.”
Qwincy kembali terbahak, lalu tersadar akan satu hal. Seingatnya, waktu itu mata Lily merah. Seperti orang yang baru saja menangis.
“Ru, gimana kalo gue bikin umur si cewek memang tinggal sebentar lagi? Makanya dia selalu berbuat baik.”
“Terus? Kau mau bikin ending tragis untuk cerita ini?”
“Mungkin.” Qwincy membayangkan bagaimana kisah itu akan membuat pembaca menangis sesenggukan.
“Jangan, jangan! Mengamuk nanti pembacamu karena dorang pasti berharap happy ending. Kau tra lupa, to? Satu-satunya penikmat sad ending cuma penulis itu sendiri.”
“Kata siapa?” Qwincy mencibir. “Ada kok pembaca yang suka sad ending.”
“Tapi tra banyak. Bisa dihitung jari,” sanggah Aru tak mau kalah. “Kau mau ini novel laku, tidak?”
Qwincy menghela napas panjang. “Mana ada penulis yang enggak mau novelnya laris?”
“Makanya, kau harus dengar nasehatku.”
“Iya, iya!” Qwincy terpaksa mengalah, meskipun dalam hati tetap berniat ingin membuat si tokoh perempuan dalam kondisi sakit parah.
“Jadi, apa yang harus amatir ini lakukan, Wahai Master?”
“Sekarang, kau cari alasan kenapa itu perempuan mau kase payung ke laki-laki asing itu.”
Mengetuk-ngetuk buku-buku telunjuk dan jari tengah di kaca jendela mobil, Qwincy dengan keras berpikir. Ia melakukannya selama beberapa detik. Sampai mobil yang berhenti mulai melaju kembali.
“Oke. Nanti gue pikirin.”
“Bukan, bukan! Jawabannya harus kau dapat langsung dari itu perempuan? Bukan dari kau pung pikiran.”
“Hah? Maksud lo?”
“Oi, Kawan! Kau pikir saya baru kenal kau satu dua hari, hah? Ini perempuan sebenarnya ada di dunia nyata, to?”
Qwincy mendengkus. Kesal karena ketahuan.
“Saya betul, to?”
Qwincy menjawab dengan deheman.
Aru terkekeh karena tebakannya benar.
“Karena ini tokoh nyata, kau pung riset juga jan tanggung-tanggung.”
“Baik, Master.”
“Tapi, jan lewat batas. Kau belum lupa kejadian dengan Angelina, kan?”
“Iya, iya,” ucap Qwincy dengan nada kesal.
Tanpa diingatkan pun, ia akan selalu ingat kejadian dengan kenalan sekaligus narasumber yang menginspirasinya membuat cerita sad ending. Intensitas komunikasi dan pertemuan yang semakin sering, membuat hubungan Qwincy dengan gadis Thailand itu semakin dekat.
Berulang kali Aru memperingatkan, tapi Qwincy mengabaikan. Hingga di satu waktu, Qwincy harus menelan jamu pahit ketika mendapati satu kenyataan. Ia dan Angelina ternyata memiliki satu kesamaan yang tak bisa termaafkan.
“Lagian, gue udah bisa ngebedain mana perempuan asli mana yang jadi-jadian,” sambung Qwincy.
🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️
In pict: Qwincy waktu kabur dari Angelina.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top