24. BATU, GUNTING, KERTAS
“Wah! Kejutan sekali bisa lihat Mas Qwincy di sini!” sambut Volcano saat melihat Qwincy turun dari mobil.
Dia memang tidak berbohong. Mendapati pasien pasca bedah jantung sudah bisa berkeliaran merupakan satu hal yang tidak umum. Biasanya, para pasien cenderung memilih untuk beristirahat di rumah, paling tidak di satu bulan pertama.
Sama seperti Volcano, Qwincy juga terkejut melihat Volcano yang berdiri di sisi mobil yang baru saja parkir. Seperti sudah janjian, mobil keduanya memang berdampingan di carpot dengan selisih waktu tiba hanya berselang beberapa menit.
“Saya yang lebih terkejut, loh, Dok. Kok dokter ada di sini pas hari kerja? Udah dipecat apa gimana?” ledek Qwincy, lalu terkekeh.
Akan tetapi, kekehan itu terhenti ketika terdengar bunyi berdebam dari pintu penumpang mobil Volcano. Dari balik sana, muncul sosok pria beruban yang menatap tajam pada Qwincy dari balik kacamata.
“Eh, ada Om Renald juga. Tumben udah pulang. Enggak dipe…cat, kan?” tanya Qwincy kikuk.
Tak mengacuhkan pertanyaan Qwincy, Renald lalu memutar tubuh dan berjalan menuju pintu rumah. Sementara itu, Ocean yang sudah ada di dekat Qwincy, buru-buru mencubit lengan atas pria tersebut sambil mendelik. Kemudian tanpa menyapa Volcano, perempuan tersebut berjalan menyusul sang ayah.
“Dari kemarin Om Renald ngerasa kurang sehat. Makanya hari ini saya nemenin dia buat medical check up.” Tanpa diminta, Volcano menjelaskan.
Sambil mengangguk, Qwincy menggumamkan ‘oh’ panjang. Lalu pria itu berpaling pada Volcano dan bertanya, “Jadi, tugas Dokter Volcano udah selesai, dong? Kalo mau pulang sekarang, boleh, kok.” Bak tuan rumah, ia mempersilakan Volcano untuk pergi.
Volcano meringis, lalu berkata, “Saya mau sekalian echo jantung Lily. Persiapan buat operasi.”
“Wah, wah, wah! Diskriminasi sekali. Kayanya, saya dulu enggak pernah dapat kunjungan rumah pre-operasi, deh.” Qwincy pura-pura merajuk.
“Ini bukan diskriminasi, Mas Qwincy. Tapi, privilage karena punya keluarga dengan profesi dokter.”
“Oh, begitu.” Qwincy mengangguk-angguk. “Berarti, saya juga pasti akan mendapatkan privilage itu kalo jadi bagian keluarga ini, kan?”
Tahu arah pembicaraan Qwincy, Volcano segera membelokkan. “Tentu! Kalo Mas Qwincy jadi anak angkat Tante Shally, kita bisa jadi keluarga, kok.”
Mendengar itu, Qwincy pun terbahak. “Menjadi keluarga, kan, enggak cuma lewat adopsi, Dok. Ada cara lain juga. Dengan pernikahan, misalnya.”
Volcano menyunggingkan senyum terpaksa saat mendengar kalimat tersebut.
Melihat ekspresi tersebut, Qwincy pun segera merangkul sang dokter, lalu berbisik, “Tenang aja, Dok. Kan ada dua, tuh. Ocean dan Lily. Kita suit aja, buat nentuin siapa yang dapat siapa. Gimana?”
Baru saja Volcano ingin menanggapi ucapan Qwincy, terdengar teriakan Lily.
“Om Spidel!” panggil gadis berkucir kuda itu sambil bergegas menghampiri Qwincy.
Qwincy yang tahu kebiasaan Lily –melompat dan bergelantungan di leher- segera memutar badan, sembari menjulurkan kaki kanan. “Peluk kaki aja!” teriaknya was-was.
Langkah Lily terhenti tepat di dekat kaki Qwincy. Wajahnya tiba-tiba cemberut. “Kenapa?”
Dengan sigap, Volcano berjongkok di dekat Lily. “Om Qwincy belum boleh peluk dan gendong. Nanti jahitannya lepas lagi.”
Lily melirik sekilas pada Volcano, lalu kembali menatap Qwincy dengan ekspresi wajah yang sudah berubah sumringah. Tanpa ragu, gadis kecil itu pun memeluk kaki kanan Qwincy. “Kenapa Om Spidel lama banget sembuhnya? Aku kan kangen.”
Mendengar pertanyaan itu, Qwincy merasa sedikit terharu. Ia mengulum senyum dengan hati berbunga-bunga. Pria itu tak menyangka, Lily benar-benar menantinya.
Baru saja beberapa detik menikmati perasaan haru, bisikan Volcano malah membuyarkan suasana hati Qwincy.
“Melihat kedekatan kalian, kayanya kita enggak perlu suit, deh,” bisik Volcano.
Usai mengucapkan kalimat tersebut, Volcano lalu mengambil alat ekokardiografi portabel dari mobil. Sambil melangkah menuju pintu masuk rumah, dia berucap, “Kalo udah selesai, ajakin Lily masuk, ya.”
🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️
“Om Spidel!” panggil Lily sambil melangkah menuju taman belakang. “Lama, ya, nunggunya?”
Sambil tersenyum, Qwincy menggeleng. Empat puluh lima menit memang bukan waktu yang sebentar. Namun, menit-menit itu tidak terasa panjang dengan Shally yang menemani. Sementara Ocean dan Renald ada di kamar untuk melihat proses pemeriksaan Lily.
“Karena Lily udah datang, tante ke sana dulu, ya. Tante juga mau tahu hasil pemeriksaan Lily,” pamit Shally.
Qwincy mengangguk, lalu berpaling pada Lily yang sedang menata crayon dan buku mewarnai di meja.
“Temenin aku walnai sambil celita, ya,” pinta Lily sambil duduk di samping Qwincy.
“Oke.” Tanpa berat hati, Qwincy menyetujui. Lagipula, mengarang cerita adalah keahliannya. “Kamu mau diceritain apa?”
Lily berpikir sambil membuka lembaran-lembaran buku. “Celita tentang paus!” usulnya saat melihat gambar paus yang belum diwarnai.
“Paus? Emm…, oke!” Qwincy menjentikkan jari. Lalu setelah beberapa detik berpikir, ia pun menemukan sebuah cerita.
“Di lautan yang luas, hiduplah seekor paus bernama Wel. Wel adalah penghuni lautan yang baik hati. Siapa saja ingin berteman dengan Wel, dari si badut nemo, kakek penyu, gurita yang pemalu, hingga hiu sang pelacak.”
“Emm, kepiting juga, enggak?” tanya Lily ragu-ragu.
Sejenak Qwincy mengerutkan kening, lalu teringat tragedi yang pernah terjadi. Tanpa ragu, pria itu pun mengangguk. “Iya, dong. Princess kepiting juga temenan sama Wel.”
Senyum Lily rekah saat mendengar kalimat tambahan itu.
Qwincy pun melanjutkan cerita. “Suatu hari, Wel ingin mengadakan pesta ulang tahun--”
“Aku juga! Aku juga mau ulang tahun!” sambar Lily.
“Oh, ya? Kapan?”
“Emm….” Sambil menatap kosong ke arah kanan atas, Lily berpikir.
“Dua puluh Februari.” Dari arah belakang terdengar suara Volcano.
Qwincy berpaling ke arah Volcano, kemudian Lily. “Benar tanggal 20 Februari, Rain?”
Dengan sedikit ragu-ragu, Lily mengangguk.
Qwincy menoleh ke arah Volcano, lalu meledek, “Dokter Volcano hafal tanggal lahir semua pasien?”
“Privilage keluarga,” ucap Volcano, lalu menyunggingkan senyum penuh arti.
Qwincy menyeringai, lalu berpaling pada Lily. “Kamu mau hadiah apa?” tanyanya. Masih ada waktu dua setengah bulan baginya untuk menyiapkan hadiah.
“Hadiah?” tanya Lily. Selama beberapa saat, gadis kecil itu berpikir keras. “Aku mau papa.”
“Papa?” ulang Qwincy.
Dengan mantap, Lily mengangguk. “Kata opa, aku enggak punya papa. Jadi, aku pengen hadiah papa aja. Bial aku punya papa kaya olang-olang.”
Qwincy melirik kepada Volcano yang berdiri tak jauh darinya. Terbesit keinginan untuk suit, tapi urung karena Volcano tiba-tiba berjalan mendekati Lily dan berjongkok, lalu berkata, “Lily punya papa, kok,” ucapnya sambil mengelus pipi kanan Lily.
Melihat adegan tersebut, Qwincy sedikit terharu. Pantas saja Volcano ingin mendekati sang sepupu. Salah satunya pasti karena tidak tahan melihat nasib malang gadis kecil itu.
Tanpa diduga, Lily menepis tangan Volcano. “Doktel ke sana aja. Ngoblol sama opa.” ucapnya sambil menunjuk ke arah ruang tamu. “Aku mau main sama Om Spidel.”
Dengan ekspresi yang berubah, Volcano mengangguk sambil bangkit. Tanpa diminta dua kali, pria itu pun melangkah pelan sesuai instruksi. Meski rasanya berat hati.
“Kamu enggak boleh gitu sama Dokter Volcano, Rain!” bisik Qwincy.
Lily melirik pada Qwincy. “Kenapa?”
“Itu enggak sopan.”
“Aku enggak suka dekat-dekat Doktel Volca. Kata oma, Doktel Volca itu jahat.”
Qwincy tidak terlalu terkejut mendengar kata-kata Lily. Bukankah banyak orang-orang tua yang secara tidak langsung mem-framing sosok dokter, polisi, atau om-om gondrong dan brewok sebagai orang yang terkesan jahat karena akan menghukum atau menangkap anak-anak yang tidak mau taat aturan? Qwincy yakin, hal serupa telah dilakukan oleh Shally.
Justru yang membuat Qwincy sedikit terkejut adalah kehadiran Volcano yang bisa ditangkap melalui ekor mata. Dokter tersebut masih berdiri tak jauh dari mereka, seakan-akan ingin terus menguping pembicaraan.
“Biasanya, dokter memang nyuntik pasien. Tapi, bukan berarti dokter jahat, kok. Mereka justru baik, karena bantu orang-orang buat sehat lagi.”
Sambil cemberut, Lily lanjut mewarnai. “Aku tetap enggak mau main sama Doktel Volca.”
Mendengar itu, Qwincy meringis. Lalu berpaling pada Volcano yang sedang melihat ke arah mereka. Buru-buru Qwincy menangkupkan tangan, seakan-akan mewakili Lily untuk mengucapkan kata maaf.
🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️
“Mas aja yang nganterin Mas Qwincy pulang,” ucap Volcano sambil mengulurkan telapak tangan, isyarat agar Ocean menyerahkan kunci mobil yang sedang dipegang.
Tak mengindahkan kata-kata itu, Ocean terus berjalan menuju Pajero hitam. Volcano pun buru-buru berlari untuk mencegat perempuan tersebut.
“Minggu depan kamu sidang skripsi, kan? Jadi mending kamu di rumah, siapin bahan-bahan untuk sidang. Biarin mas yang anter Mas Qwincy. Mas tahu apartemennya, kok!”
Kali ini Volcano tidak lagi menadahkan tangan, tapi langsung merebut kunci mobil, lalu bergegas menuju kursi pengemudi. Ocean menghentikan langkah dan tertegun, tapi tidak berniat untuk menentang tindakan sang sepupu.
Sementara itu, Qwincy berjalan tertatih di belakang sambil melihat adegan yang tengah terjadi di depan. “Kalo tahu minggu depan lo mau sidang, gue enggak bakal maksa buat datang hari ini. Sorry, ya,” ucapnya saat sudah sampai di samping Ocean.
Usai mengucapkan kata terima kasih, Qwincy pun pamit pada Ocean dan menerima dengan terpaksa kenyataan bahwa dirinya harus berkendara dengan Volcano.
🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️
“Selain mobil ini, Mas Qwincy punya kendaraan apa lagi?” tanya Volcano saat mobil tengah melaju di jalan raya.
Meski bingung dengan pertanyaan random sang dokter, tak urung Qwincy menjawab, “Ada mobil klasik, kapal pesiar, sama jet pribadi.”
“Oh ya?” Cukup terkejut, Volcano melirik sekilas.
“Tapi masih rencana,” ucap Qwincy, lalu terkekeh. Tak disangka, Volcano juga ikut-ikutan tertawa.
“Mas Qwincy ada kesulitan bayar sewa apartemen, enggak?” Lagi-lagi Volcano mengajukan pertanyaan acak.
“Emang kenapa? Dokter Volcano mau bayarin?” tanya Qwincy bingung.
“Saya cuma penasaran aja. Apakah profesi penulis menjanjikan atau enggak?”
“Oh, jadi setelah dipecat, Dokter Volcano ingin beralih jadi penulis?”
Mendengar tuduhan itu, Volcano tersenyum lebar. “Jadi, Mas Qwincy ada kesulitan bayar sewa bulanan atau enggak?”
“Saya enggak ada kesulitan bayar sewa apartemen, kok. Soalnya, saya beli,” ucap Qwincy dengan bangga.
“Ooh.” Volcano mengangguk-angguk. “Selain apartemen yang itu, Mas Qwincy punya properti apalagi? Rumah tapak, ada, enggak?”
“Heem…. Sekarang Dokter Volcano jadi pegawai part-time di Ditjen Pajak, ya?” tanya Qwincy sambil memicing. “Kok meriksa-meriksa harta kekayaan saya?”
Volcano terbahak untuk mencairkan suasana. “Saya cuma pengen tahu aja, biar dapat bayangan apakah nanti istri Mas Qwincy akan hidup sengsara atau bahagia.”
“Sengsara dan bahagia bukan ditentukan oleh harta, Dok. Tapi cinta. C-I-N-T-A.”
“Sayangnya, itu cuma terjadi di novel, drama, atau sinetron,” sambar Volcano. “Pada akhirnya, sebuah keluarga juga membutuhkan uang.”
“Uang memang dibutuhkan. Tapi selama ada cinta--”
“Mas Qwincy tahu alasan mantan suami Ocean ninggalin dia?” potong Volcano.
Qwincy menggeleng pelan. Ia memang tidak tahu menahu akan hal itu. Ocean tidak pernah bercerita, ia pun belum sempat bertanya.
“Karena dia enggak sanggup membayar semua kebutuhan dan biaya pengobatan Lily,” tutur Volcano.
“Pada akhirnya, cintanya pada Ocean tidak bisa membuat dia bertahan. Dia menyerah dan biarin Ocean berjuang sendiri,” tambah Volcano. Bibirnya bergetar. Terdengar jelas kemarahan dari nada suaranya.
Qwincy terdiam. Tangannya mengepal. Rahangnya mengeras. Meski tidak kenal, tiba-tiba ia merasa sangat marah pada mantan suami Ocean. Ia tidak menyangka ada pria yang begitu pengecut dan tega meninggalkan keluarga karena masalah uang.
“Saya enggak mau hal itu terulang lagi pada Ocean. Bagaimanapun, Ocean dan Lily adalah bagian dari keluarga saya. Saya berhak khawatir untuk mereka,” tukas Volcano lagi.
Memahami kekhawatiran Volcano, Qwincy pun mengangguk-angguk. “Saya bisa menjamin kesejahteraan calon istri saya,” ucapnya penuh percaya diri.
“Selain apartemen dan mobil ini, saya punya rumah di Depok, tanah di Bogor, beberapa kilo emas batangan, juga tabungan.” Qwincy mendata harta kekayaan yang sudah dikumpulkan.
Volcano menoleh ke arah lawan bicara. “Apa itu bisa terus menjamin kesejahteraan di masa mendatang?”
“Saya tidak tahu. Tapi saya bukan tipe yang tidak memikirkan masa depan. Dan saya tidak berniat untuk menjadi pecundang yang melepaskan tanggung jawab ketika dihantam tantangan,” ucap Qwincy serius.
Volcano mengagguk-angguk. Lalu tiba-tiba berseru, “Batu, gunting, ker-tas!”
Dengan refleks, Qwincy membuka telapak tangan. Pria gondrong itu menghela napas ketika melihat Volcano mengacungkan jari telunjuk dan tengah. Kali ini, ia kalah.
“Karena Mas Qwincy kalah, berarti Mas Qwincy terpaksa harus milih Ocean,” putus Volcano.
“Hah?” Qwincy terkejut dengan kalimat tersebut. “Terus, Dokter Volcano akan jadi mantu saya?”
Sambil tersenyum tipis, Volcano mengangkat kedua bahu. Sementara itu, Qwincy masih bertanya-tanya kenapa Volcano rela menyerahkan Ocean? Apakah karena harta kekayaannya? Atau karena sang dokter memang mengincar Lily dari awal?
Saat Qwincy bergelut dengan berbagai pertanyaan, Volcano terus menyetir dalam keheningan. Memang menyakitkan harus kembali melepaskan Ocean. Namun, apa lagi yang lebih penting dari mewujudkan keinginan Lily? Punya sosok papa yang mencintai dan dia cintai. Seperti anak-anak lain.
🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top