23. ATMOSFER RINDU

         
“Tadi materinya tentang gizi seimbang pasca operasi.” Tanpa diminta, Wira menjelaskan isi penyuluhan yang diikuti.

Hari itu adalah kali kedua Wira mengantarkan Qwincy untuk menjalani rehabilitasi medik yang menjadi bagian dari pemulihan pasca operasi. Para pasien telah diberi jadwal latihan untuk mengembalikan kinerja otot jantung dan otot-otot tubuh. Bukan sekali atau dua kali, tapi mereka harus menjalaninya sebanyak dua belas kali pertemuan ditambah latihan rutin di rumah.

Selama para pasien menjalani latihan di ruang khusus, para pendamping diharapkan mengikuti penyuluhan yang tiap hari diadakan. Berbagai materi telah disiapkan oleh pihak rumah sakit sebagai bahan agar para pendamping dapat menjadi perawat bagi anggota keluarga mereka.

“Ternyata ada beberapa hal yang panda keliru. Sayur hijau dan ati ayam enggak boleh dimakan waktu sarapan karena kontradiksi sama obat pengencer darah yang kamu minum. Terus, biar lukanya cepat sembuh, asupan protein kamu juga harus ditambah lagi.” Meski tidak mendapat tanggapan dari sang anak, Wira melanjutkan sambil terus menyetir mobil.

Di lain sisi, diam-diam sebenarnya Qwincy menyimak sambil menatap jalanan. Pria itu terharu dengan apa yang selama ini telah dilakukan sang ayah termasuk mengantar serta menunggu saat dirinya kontrol dan menjalani rehabilitasi.

Akan tetapi, Qwincy tetap belum ingin membuka hati atas kehadiran Wira. Dua puluh tahun harus dibalas dengan dua puluh tahun juga. Demikian prinsip yang ia pegang teguh.

“Oh, iya. Saat penyuluhan tadi, panda dapat telepon. Minggu depan, ada rapat yang wajib panda hadiri.” Wira kembali berbicara, meski lagi-lagi hanya seperti monolog.

Sementara itu, hati Qwincy tiba-tiba berdegup kencang. Firasatnya, tidak lama lagi ia akan ditinggalkan.

“Tiga hari dari sekarang panda berangkat.” Wira menjeda. “Gimana kalo kamu ikut ke Swiss? Panda udah nanya dokter. Kata dokter, program rehabilitasi kamu bisa dilanjutin di sana.”

Qwincy bergeming. Ia masih terkejut dengan kenyataan akan kembali menjalani hari-hari sendirian. Tawaran dari Wira memang bisa jadi jawaban. Namun, Qwincy tidak yakin itu adalah hal yang ia inginkan.

“Di Swiss ada rumah sakit--”

“Aku enggak bisa kasih jawaban sekarang,” potong Qwincy.

Wira mengangguk paham, tapi tak urung berkata, “Karena kita butuh banyak persiapan, usahakan jawaban kamu bisa panda dapatkan segera.”

“Kalo gitu…,” Qwincy menarik napas panjang, “jawaban aku enggak.”

“No, no, no,” sambar Wira, secepat kilat. “Kamu boleh pikir-pikir dulu, kok. Kita masih ada banyak waktu.”

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

“Kamu yakin enggak mau ikut ke Swiss?”

Pertanyaan yang sama sudah didengar Qwincy sejak beberapa hari terakhir. Meski jawaban yang sama terus diberikan, sang ayah rupanya tidak ingin menyerah.

“Yakin, Panda. Aku di Indonesia aja,” jawab Qwincy, mantap.

“Di Swiss ada rumah sakit bagus untuk program pemulihan kamu. Sekalian kamu healing,” bujuk Wira sambil terus berjongkok di depan kursi roda Qwincy.

Lagi-lagi Qwincy menggeleng. “Aku cinta ploduk dalam negeli, Panda,” ucapnya lalu terkekeh. Ia berusaha menghadirkan suasana ceria, meskipun hatinya patah karena lagi-lagi akan ditinggalkan.

“IHC juga bagus, kok. Yang paling penting, menurutku dokter-dokter di IHC lebih kompeten dari pada dokter-dokter di Swiss,” tambah Qwincy.

Wira mengerutkan kening. “Dalam hal apa?”

“Berbahasa Indonesia. Di IHC, aku enggak perlu repot pakai bahasa asing karena dokter-dokternya fasih bahasa Indonesia,” jawab Qwincy yang diakhiri dengan cengengesan.

Wira menghela napas panjang lalu melirik jam tangan. Dia masih punya 20 menit sebelum batas check-in berakhir.

“Kalo gitu, panda batalin penerbangan ke Swiss, aja, ya. Biar bisa nemenin kamu di sini.”

Satu sisi diri Qwincy ingin bersorak riang. Dua minggu memang masih sangat kurang untuk menebus waktu-waktu mereka yang hilang. Untuk mengisi ruang-ruang penuh rindu di hati mereka. Namun, sisi dirinya yang lain menolak mentah-mentah.

“Jangan! Panda udah terlalu lama cuti. Ada rapat penting juga yang harus panda hadiri, kan? Panda enggak boleh mengabaikan tugas negara,” ucap Qwincy bijak.

Qwincy tidak punya pilihan lain. Ia tidak mau merasa malu pada dirinya dari masa lalu karena dalam salah satu novel, ia pernah mengkritik pegawai negara yang makan gaji buta.

Wira kembali menghela napas panjang sambil menyapu pandangan ke area terminal keberangkatan Bandara Soekarno Hatta yang pagi itu cukup ramai. Meski ada beberapa wajah warga negara asing, tapi terminal internasional itu tetap didominasi wajah-wajah lokal. Rupanya banyak warga Indonesia yang akan pergi ke luar negeri di hari itu.

“Panda khawatirin apa? Rehab medik aku?” tembak Qwincy yang disambut anggukan Wira.

“Panda tenang aja. Ada Samu yang bakal nemenin aku rehab dan kontrol ke rumah sakit,” ucap Qwincy sambil menunjuk perempuan yang sedang memegang tuas kursi roda di belakang.

Sementara itu, Ocean cukup terkejut. Tidak ada pemberitahuan sebelumnya tentang hal ini. Perempuan itu pun menebak-nebak apakah Qwincy mengatakannya dengan serius atau sekedar untuk menenangkan sang ayah.

Wira pun berdiri. Lalu dengan wajah penuh harap, pria paruh baya itu menatap Ocean. “Kamu enggak keberatan buat nemenin Qwincy rehab medik dan kontrol, kan?”

“Kalo dia keberatan, nanti aku suruh diet. Atau joging. Entar juga ringanan,” sambar Qwincy. “Lagian, aku udah beberapa kali nolong dia. Sekarang giliran dia yang nolong aku.”

Berusaha menstabilkan emosi, Ocean mempererat genggaman pada tuas kursi roda. “Enggak usah khawatir, Om. Saya akan nemenin Tuan Penolong ini untuk rehab medik dan kontrol ke dokter. Saya juga akan mengingatkan Tuan Penolong ini terkait jadwal makan dan minum obat.”

“Jangan lupa ingetin buat ke toilet juga. Pemasukan mulu enggak ada pengeluaran, meledak perut gue!” komentar Qwincy.

Ocean memicing. Namun teringat ada Wira di hadapan, buru-buru perempuan itu mengubah kembali ekspresi wajah.

“Seperti yang dikatakan Qwincy, om enggak perlu khawatir,” ucap Ocean sambil tersenyum dengan terpaksa.

Wira menatap Qwincy dan Ocean secara bergantian. Meski sedikit ragu meninggalkan Indonesia, tapi dia tidak punya pilihan lain. Seperti yang dikatakan Qwincy, dia tidak boleh mengabaikan tugas.

“Padahal panda belum naik pesawat. Tapi panda udah rindu sama kamu,” bisik Wira saat memeluk Qwincy untuk berpamitan.

Meski merasakan hal yang sama, Qwincy hanya mengangguk. Ia yakin jika mengucapkan kata rindu juga, air matanya akan mengalir deras dan hal itu akan memicu dua hal; Wira memaksanya untuk ikut ke Swiss atau membatalkan keberangkatan.

“Jaga diri kamu. Panda janji akan sering telepon. Dan sebisa mungkin, secepat mungkin, panda akan datang lagi ke Indonesia,” bisik Wira. Setelah melepaskan pelukan, dengan berat hati pria paruh baya itu melangkah pergi meninggalkan Qwincy.

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

“Lo serius tentang obrolan tadi?” tanya Ocean sambil mendorong kursi roda Qwincy menyusuri area Bandara Soekarno Hatta menuju parkiran. Luasnya area bandara membuat Qwincy harus naik kursi roda agar tidak kelelahan.

“Obrolan yang mana?” Qwincy bertanya balik.

“Yang lo butuh pertolongan gue.”

“Oh, yang buat ngingetin ke toilet? Enggak-lah! Masa iya gue lupa kapan harus ke toilet.” Qwincy lalu terbahak.

“Bukan yang itu. Tapi soal nemenin lo buat rehab dan kontrol,” ketus Ocean ketika tawa Qwincy sudah reda.

“Oh, yang itu. Iya, gue serius. Lo kan tahu, gue belum boleh nyetir.”

Selama enam bulan ke depan, pasien pasca operasi jantung terbuka memang tidak diperbolehkan mengendarai mobil, motor, maupun sepeda. Gerakan mendadak saat memegang kemudi dikhawatirkan akan membuat jahitan di tulang dada terlepas sehingga menimbulkan masalah baru.

“Lo kan bisa pesan ta--”

“Lo mau nyuruh gue naik taksi?” potong Qwincy. “Lo juga mau ninggalin gue sendiri? Kaya Om agra dan bokap gue?”

Ocean sedikit tersentak. Dia tidak menyangka Qwincy dapat menebak isi pikirannya. Saat itu, dia pun merasa tidak enak hati.

“En-enggak, kok,” jawab Ocean gelagapan. “Gue cuma mau minta jadwal rehab dan kontrol lo. Biar gue bisa atur agenda.”

“Oh.” Qwincy bergumam. “Nanti gue kirimin dalam bentuk excel. Lengkap dengan rencana kegiatan rehab, nama poli buat kontrol, nama dokter, dan warna baju yang bakal gue pake.”

“Warna baju juga?” Kening Ocean mengernyit.

“Biar lo bisa cari warna baju yang sama atau yang senada. Jadi kaya couple-an gitu.”

Wajah Ocean memerah karena tersipu saat mendengar kalimat terakhir.

“Couple-an mertua-menantu, masih jarang-jarang, kan?” tambah Qwincy.

Perasaan tersipu yang dirasakan Ocean mendadak raib ketika mendengar kalimat tambahan pria gondrong tersebut.

Selama sisa perjalanan menuju parkiran, baik Qwincy maupun Ocean tidak mengeluarkan sepatah kata lagi. Yang satu sibuk dengan kesedihan karena ditinggal, sedang yang lain masih merasa kesal.

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

Baru lima belas menit Pajero hitam Qwincy membelah jalanan ketika hujan mulai turun. Awalnya hanya titik-titik kecil, tapi perlahan mulai menderas.

Tanpa diduga, Qwincy menurunkan sedikit kaca jendela lalu mulai mengulurkan tangan keluar.

“Lo ngapain?” tanya Ocean heran. Bukankah pria gondrong itu sangat benci pada hujan?

“Lagi praktek,” jawab Qwincy pendek.

“Praktek apa?”

“Adegan drama,” jawab Qwincy sambil menoleh pada Ocean. “Lo enggak pernah liat adegan kaya gini? Saat hujan turun, pemerannya ngulurin tangan untuk menikmati tetesan air dari langit.”

“Oh.” Ocean tidak urung menanggapi, meski baginya tindakan Qwincy sangat aneh.

Qwincy kembali menatap hujan di luar jendela. “Gue baru sadar kalo pemandangan saat hujan turun ternyata begitu eksotis. Kalo hujan membawa atmosfer rindu secara magis. Kalo hujan bisa menciptakan wangi yang menghipnotis.”

“Hiperbolis!” celetuk Ocean. “Itu aroma air kena tanah. Enggak harus nunggu hujan. Lo siram aja  air ke tanah. Bakalan wangi kaya gitu, kok.”

Tak mempedulikan komentar Ocean, Qwincy malah bertanya, “Jadwal operasi Rain udah fix?”

Lagi-lagi Ocean terkejut. Bukan karena pertanyaan Qwincy, tapi bagaimana pria tersebut memanggil Lily.

Sementara itu, Qwincy terlihat cuek. Setelah tiga hari lalu memutuskan untuk memaafkan dan menerima Wira, pria gondrong itu juga mulai membuka hati untuk menerima hujan. Perlahan-lahan ia mulai menikmati keindahan titik-titik air yang berlomba-lomba membasahi tanah agar dapat menguarkan aroma yang dirindukan tanaman dan bunga-bunga.

“Udah.” Ocean menganggguk. “Dokter dari Australi udah dijadwalin datang ke Jakarta dua bulan lagi.”

Qwincy mengangguk. Lalu tiba-tiba di terlintas satu ide di kepalanya. “Kita ke rumah lo dulu, ya.”

“Sekarang?” Ocean mengkonfirmasi yang dijawab dengan anggukan Qwincy.

“Nanti dari rumah gue, gue harus anter lo pulang ke apartemen, terus gue balik ke rumah lagi?” Ocean membayangkan rute perjalanan yang harus ditempuh.

Tanpa rasa bersalah, Qwincy kembali mengangguk.

“Enggak usah, ya. Gue capek ngebayangin harus nyetir mondar-mondir,” bujuk Ocean. “Selain itu--”

“Gue harus ke rumah lo sekarang, Samu!” potong Qwincy. “Kedatangan gue ini penting banget.”

Ocean mengerutkan kening. “Kenapa bisa penting banget?”

“Karena gue bisa menyembuhkan perasaan yang bukan hanya dirasain sama lo doang. Tapi juga dirasain sama Rain dan nyokap lo.”

“Perasaan apa? Perasaan takut menghadapi operasi? Perasaan gugup?” tebak Ocean. “Terus, lo mau ke rumah gue buat sharing tentang cara mengatasi perasaan itu?”

Qwincy menggeleng tegas. “Bukan. Ini perasaan yang lebih penting lagi.”

“Emang perasaan apa, sih?” tanya Ocean, tidak sabar.

“Perasaan rindu ke gue.”

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top