22. PENERIMAAN
“Emang butuh waktu lama untuk sampai ke fase itu,” ucap Ocean setelah membantu Qwincy duduk di sofa tiga sitter yang ada di ruang tamu apartemen.
“Lo lagi ngomongin fase apaan? Metamorfosis kupu-kupu? Revolusi bumi? Atau siklus bulanan lo?” Qwincy terkekeh, tapi hanya beberapa detik karena mendapati Ocean mendelik.
“Maksud gue, siklus aktivitas bulanan lo. Misal ke kampus, ke rumah sakit, ke mall, ke salon. Ya, kaya-kaya gitu. Lo jangan mikir yang enggak-enggak,” tambah Qwincy dengan nada suara yang naik satu oktaf. Ia berpura-pura disalahpahami demi menghindari amarah Ocean.
Sambil memejamkan mata, Ocean menarik napas panjang dan menghitung hingga tiga sebelum menghembuskan. Baginya, ini efektif meredakan emosi, meskipun dia yakin harus mengulanginya berkali-kali ketika berurusan dengan Qwincy.
Tidak seperti biasanya, sebisa mungkin Ocean harus bisa mengendalikan emosi, minimal untuk saat itu. Dia tidak ingin Wira -yang sedang berada di kamar untuk membereskan barang bawaan dari rumah sakit- mendengarnya marah-marah pada Qwincy. Bukankah tidak ada orang tua yang terima jika anaknya diomeli oleh orang lain?
Setelah duduk di samping Qwincy, Ocean pun menjawab dengan nada setenang dan selembut mungkin. “Fase penerimaan atas apa yang terjadi.”
Mendengar jawaban itu, kening Qwincy mengernyit.
“Penyangkalan, lalu marah, kemudian tawar-menawar, dilanjutkan dengan depresi, dan terakhir penerimaan.” Ocean mengingat poin-poin yang pernah disampaikan salah satu pembicara dalam seminar yang diadakan Little Heart Community.
“Beberapa orang harus melalui fase-fase itu untuk bisa berdamai dan menerima kenyataan,” lanjut Ocean. Lalu setengah berbisik dia menambahkan, “Dan itu yang terjadi sama bokap lo.”
Qwincy masih mengerutkan kening, mencoba mencerna maksud pembicaraan Ocean.
“Seperti yang lo ceritain di rumah sakit tadi. Bagi bokap lo, ngeliat lo tanpa nyokap, berarti mengakui bahwa istrinya udah enggak ada. Selama ini beliau menghindari itu karena belum siap menerima kenyataan. Tapi sekarang, bokap lo udah siap. Makanya beliau bersedia ada di sisi lo,” terang Ocean, masih dengan volume suara yang rendah.
“Maksud lo, bokap butuh dua puluh tahun buat nerima kenyataan bahwa nyokap gue udah meninggal dan akhirnya bersedia ada di sisi gue?”
Ocean mengangguk tanpa ragu sebagai jawaban.
“Dua puluh tahun, Samu! GILA A--”
“Ssst!” Sambil membekap wajah Qwincy dengan bantal sofa, Ocean mendesis. Perempuan itu lalu melirik ke arah kamar dan berharap Wira tidak mendengar atau minimal tidak memahami apa yang sedang dibicarakan di ruang tamu.
“Lo enggak bisa ngomong pelan, ya?” omel Ocean dengan berbisik.
Dengan kesal, Qwincy mendorong bantal berwarna biru langit itu. “Masa dia butuh waktu selama itu?” tanyanya sambil mendelik, kesal pada perbuatan Ocean.
“Mungkin bokap lo emang secinta itu sama nyokap. Jadi bokap lo butuh waktu panjang untuk melewati fase-fase tadi sampai akhirnya bisa nerima kenyataan.”
“Tapi, masa nunggu gue dioperasi dulu baru bisa nerima kenyataan?” gerutu Qwincy.
“Apa yang salah dengan menjadikan satu momen sebagai alasan untuk nerima kenyataan? Seperti gue yang menjadikan momentun keberhasilan operasi lo untuk semakin nerima kenyataan kalo Lily harus menjalani operasi terakhir.”
“Ooh…, jadi lo manfaatin gue?” sinis Qwincy.
“Gue cuma jadiin kondisi lo sebagai salah satu referensi buat ngambil keputusan,” sanggah Ocean. Kali ini suaranya sedikit meninggi. Dia tidak terima akan tuduhan Qwincy.
“Itu sama aja lo manfaatin kondisi gue!” kukuh Qwincy.
Ocean memutar kedua bola mata. “Terserah lo, deh. Yang pasti, tiap orang punya pergelutan dan kekuatan hati yang beda. Lo enggak bisa maksa orang lain buat jadi seperti yang lo mau. Buat bisa nerima kenyataan secepat yang lo mau.”
“Tapi itu abnormal, Samu!”
Ocean menghela nafas. “Haruskah gue bilang kalo lo juga abnormal karena sampai sekarang enggak mau ketemu Lily cuma gara-gara nama depan dia berarti hujan?” tanyanya penuh penekanan.
“Kata siapa gue enggak mau ketemu anak lo?” bantah Qwincy.
“Lo bahkan enggak mau nyebut nama Lily,” kejar Ocean.
Sejak tahu nama lengkap gadis kecil itu, Qwincy memang tidak pernah mau menyebut kata Lily karena membuatnya teringat pada si bunga hujan. “Gue… gue cuma butuh waktu buat adaptasi, kok.” Pria itu membela diri.
Qwincy tidak berbohong. Di satu sisi, ia memang merindukan gadis dengan gigi-gigi seri yang ompong itu. Namun di lain sisi, dirinya masih belum siap. Baginya, bertemu Lily sama seperti menandatangani gencatan perang antara ia dan hujan.
“That’s it!” seru Ocean sambil menjentikkan jari. “Sekarang lo lagi butuh waktu. Bukan cuma waktu buat adaptasi dengan nama anak gue, tapi juga buat nerima kenyataan bahwa bokap lo butuh waktu lebih lama untuk sampai di fase penerimaannya. Ya, kan?”
Qwincy membuang muka. Ia merasa seperti tertimpuk bumerang yang dilemparkan sendiri. Mengetahui alasan Wira meninggalkannya, memang tidak serta merta membuat Qwincy mau menerima dan memahami alasan tersebut.
“Sama seperti lo, bokap lo juga butuh waktu. Manusia memang butuh waktu buat nerima sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya. Itu normal, Qwin!” Sekali lagi, Ocean meyakinkan.
Qwincy mengangguk. “Berarti, kalo gue baru nerima alasan bokap nelantarin gue, dua puluh tahun yang akan datang, itu normal juga?”
“Kenapa lo harus nunggu dua puluh tahun?”
“Biar fair, dong!”
Mendengar jawab itu, Ocean pun melotot sambil mencubit lengan atas Qwincy. Sontak pria itu berteriak-teriak.
“Ada apa, Qwin?” tanya Wira sambil tergopoh-gopoh keluar dari kamar.
Qwincy terperanjat karena mendengar suara sang ayah. Namun, Ocean-lah yang lebih terkejut sekaligus kikuk. Kalo saja Qwincy mengadukan kejadian cubit-mencubit barusan, citranya pasti akan tercoreng.
Maka tidak berlama-lama, Ocean pun berdiri lalu berkata, “Saya pamit, Om.”
“Loh? Enggak minum dulu?” tawar Wira basa-basi. Dia tidak enak jika Ocean pergi begitu saja padahal perempuan itu sudah berbaik hati membantu proses kepulangan Qwincy dari rumah sakit, bahkan mengantar mereka hingga ke apartemen.
“Enggak usah, Om. Anak saya nungguin di rumah,” tolak Ocean sambil meraih tas tangan yang diletakkan di meja.
“Kalo begitu, lekas. Jangan sampai anak kamu nunggu lama,” ucap Wira.
“Iya, Om.” Ocean mengangguk, lalu menepuk pundak Qwincy penuh arti. Kemudian dia segera beranjak meninggalkan anak-beranak tersebut.
Setelah kepergian Ocean, suasana di ruang tamu mendadak hening. Meskipun duduk samping-sampingan, tapi tidak ada kata yang terucap dari keduanya.
Hingga sepuluh menit kemudian, Wira pun berdiri. “Panda udah ganti sprei. Tapi sebelum kamu istirahat, ayo ke kamar mandi dulu,” ucapnya sambil mengulurkan tangan.
Qwincy tidak memungkiri punggungnya sudah merindukan kasur. Kantung kemihnya juga sudah terasa penuh sejak tadi. Maka meski tidak menggubris uluran tangan Wira, ia pun berdiri dan mulai berjalan tertatih menuju toilet.
Walaupun merasa diabaikan, Wira tetap berjalan membuntuti sang anak. Dia sadar, pasti butuh waktu dan usaha keras untuk meluluhkan hati Qwincy. Sekarang, pria paruh baya itu sudah cukup bersyukur sang putra tidak mengusirnya karena dendam selama dua puluh tahun.
Menyadari Wira terus mengekor, Qwincy pun menghentikan langkah. “Aku bisa buang air kecil sendiri!”
“Panda tahu, kok.”
“Terus, kenapa ngikutin?” ketus Qwincy.
“Panda mau bantuin kamu keramas. Suster bilang, kamu enggak boleh keramas sendiri karena tetesan airnya bisa kena jahitan dan bikin infeksi,” terang Wira.
Selain membantu keramas, Wira juga mencatat banyak hal berdasarkan instruksi tenaga medis. Mulai dari jadwal minum obat, langkah-langkah perawatan luka, makanan yang boleh dan tidak boleh dimakan, kegiatan yang wajib dan haram dilakukan, hingga jadwal kunjungan ke rumah sakit.
Sementara itu, setelah mendengar kata-kata Wira, Qwincy berpikir sejenak. “Ya udah, aku keramasnya nanti-nanti aja.”
“Kamu yakin? Emang kamu enggak ngerasa gatal-gatal di kepala?” kejar Wira.
Entah karena terpicu oleh pertanyaan Wira atau memang baru menyadari, tiba-tiba kepala Qwincy terasa gatal. Ia pun mulai menggaruk di beberapa titik.
“Kalaupun enggak ngerasa gatal, paling enggak kamu harus ngilangin baunya. Panda bisa nyium bau rambut kamu dari jarak dua meter, loh.”
Qwincy membelalak, lalu membuka kunciran dan meraih sebagian rambut yang terasa berminyak. Pria itu kemudian menghirup aroma rambut dan sontak merasa mual. Delapan hari tidak terkena shampo memang ampuh membuat rambut gondrongnya berubah jadi tempat penampungan keringat, minyak, dan segala macam aroma. Sangat layak untuk dijadikan sarang berbagai serangga, termasuk kecoa.
Tiba-tiba pria itu bergidik. Mungkinkah Ocean juga menghidu aroma memualkan itu?
🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️
“Masih pegal?” tanya Wira yang dijawab dengan gelengan Qwincy.
Pasca operasi, otot punggung dan kaki Qwincy memang sedikit melemah. Aktivitas sebentar saja ampuh membuat bagian-bagian itu pegal-pegal. Meski menurut dokter hal tersebut normal, tapi bagi Qwincy itu cukup membuat kesal.
“Otot punggung dan kaki kamu akan kembali kuat, asal rutin latihan dan olahraga ringan.” Wira mengutip kalimat dokter sambil menatap Qwincy yang masih terus menatap layar ponsel. Sama seperti satu jam yang lalu.
Meski sudah berulang kali mendengar kalimat tersebut, Qwincy tidak urung mengangguk. Ia merasa harus menunjukkan sedikit penghargaan mengingat apa yang dilakukan Wira hari ini.
Sang ayah sudah membantu keramas, melap seluruh tubuh karena belum diizinkan mandi secara normal, membersihkan luka jahitan dan mengganti perban, menyiapkan makanan sehat –tanpa pedas dan asam-, mengupas buah, menyiapkan obat, hingga memijat punggung dan kakinya. Semua hal yang layak mendapatkan kata terima kasih, tapi Qwincy enggan mengucapkannya.
“Pintu kamar panda biarin kebuka, ya. Kalo kamu butuh apa-apa, teriak aja. Panda pasti dengar. Walaupun udah tua, telinga panda masih awas,” ucap Wira lagi.
Pria paruh baya itu lalu beranjak menuju pintu dan memencet saklar, membuat kamar seluas 4x4 meter itu gelap seketika. Menyisakan cahaya dari ponsel yang digenggam Qwincy.
“Qwin…,” panggil Wira dari ambang pintu.
Mengabaikan panggilan tersebut, Qwincy terus asyik menggulir layar ponsel.
“Qwin….” Tidak putus asa, Wira kembali memanggil.
Dengan kesal, Qwincy pun mendongak. Diterangi lampu dari ruang tamu, ia mendapati siluet sosok paruh baya itu tengah berdiri menatap.
“Dua puluh tahun, tiga puluh tahun, empat puluh tahun,” Wira menjeda untuk menyiapkan kalimat lanjutan, “bahkan sampai detik terakhir ada di dunia, panda akan terus menunggu hingga kamu bersedia menerima dan memaafkan panda.”
🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top