19. KOLAB BUKU

        
“Itu tersangkanya!”

Masuk-masuk ke dalam kamar perawatan, seruan itulah yang menyambut Ocean. Membuat perempuan tersebut terkejut sekaligus bingung.

“Hei, Nona! Ko, kan, yang balapor-lapor? Jujur saja!” Aru kembali berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan jari telunjuk.

Sementara itu, dengan seluruh tenaga Qwincy tengah berusaha keras menahan sang sahabat agar tidak melangkah maju dan melabrak perempuan yang baru tiba.

“Udah, sih, Ru! Masalah sepele ini. Ngapain digede-gedein?”

Aru berhenti menggeliat, lalu menatap tajam pada Qwincy. “Sepela, sepele, sepela, sepele. Apa yang sepele? Asal ko tau, e! Jato beta pung harga diri karna dimaki-maki ko pung om. Beta pung papa saja, seng pernah bamaki beta!”

*seng: tidak

“Tapi lu, kan, sering diomelin costumer. Anggap aja Om Agra salah satu custumer bawel di Bumibuku.”

“Seng bisa begitu! Dorang bamaki, tapi kasih beta uang. Ko pung om, cuma bamaki-maki tapi seng ada transferan!”

Masih mematung di dekat pintu, Ocean berusaha keras mencerna apa yang sebenarnya tengah terjadi.

“Ini semua karna dia!” Aru kembali menujuk Ocean. “Kalo dia seng balapor-lapor, ko pung om seng tahu tentang operasi hari ini.”

Mendengar kalimat terakhir, Ocean akhirnya memahami. Tanpa rasa gentar, perempuan itu pun berjalan masuk dan berdiri satu meter dari Qwincy dan Aru.

“Perkenalkan, saya Ocean, temannya Qwincy.” Ocean mengulurkan tangan.

Aru menyambut uluran tangan tersebut, lalu berkata, “Beta--”

“Anda pasti Aru. Editor yang diceritain Qwincy,” potong Ocean, lalu menarik tangan dan duduk di sofa.

“Berdasarkan pengalaman, saya jamin, anda dan Qwincy, tidak akan sanggup menjalani ini berdua. Jadi, keluarga Qwincy harus tahu apa yang terjadi.” Dengan tenang, Ocean menjelaskan.

“Tapi ko kan seng minta izin dulu sama Qwincy untuk sebar-sebarkan info ini.”

“Qwincy enggak akan ijinin saya.”

“Itu ko su tahu!”

“Tapi saya yakin, jauh di lubuk hatinya,” Ocean menoleh ke arah Qwincy, “Qwincy membutuhkan kehadiran keluarganya.”

Aru mendengkus saat mendengar alasan Ocean. Sementara itu, Qwincy berjalan menuju ranjang. Dalam hati ia bertanya-tanya bagaimana bisa Ocean membaca isi hatinya.

Semalaman ia tidak bisa tidur karena memikirkan operasi. Sendiri di kamar rumah sakit, ditambah hujan deras yang mengguyur Jakarta, membuatnya merasa semakin kesepian. Di saat-saat tersebut ia menyesal tidak memberi kabar pada Agra dan meminta sang paman untuk menemani.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Meski terlambat, pagi tadi Agra menelepon di sela-sela waktu boarding pesawat menuju Jakarta. Bukan hanya untuk memberi informasi keberangkatan, sang paman juga memarahi Qwincy karena tidak mengabarkan kondisi kesehatan hingga operasi yang akan dilaksanakan. Sesekali, terdengar Agra sesenggukan. Dia merasa tidak dipercaya dan tidak dibutuhkan sebagai seorang paman.

Di saat itu pula Agra tahu tentang Aru dan perannya. Aru yang kebetulan sudah berada di kamar Qwincy, mau tidak mau menerima segala makian dan amarah Agra. Itulah yang membuat pria keriting itu akhirnya mengamuk pada Ocean. 

Aru berniat ingin kembali mengeluarkan unek-unek ketika pintu kamar diketuk dan dibuka.

“Selamat pagi, Mas Qwincy!” sapa dokter senior yang datang didampingi dua asisten di belakang. “Perkenalkan, saya Dokter Rahmat, ketua tim bedah yang akan mengoperasi Mas Qwincy hari ini.”

Ocean mengenali dokter tersebut sebagai salah satu dokter bedah jantung terbaik yang ada di Indonesia Heart Centre. Meski sudah menginjak usia paruh baya, penampilan sang dokter masih sangat gagah dan bugar. Bahkan nyaris segagah kedua asisten di sampingnya.

“Gimana kabar Mas Qwincy hari ini? Ada demam? Batuk? Pilek?” tanya Dokter Rahmat yang dijawab dengan gelengan dan jawaban ‘enggak’ dari Qwincy.

Memastikan pasien dalam kondisi sehat dan stabil merupakan salah satu SOP sebelum operasi. Hal itu diperlukan untuk menekan resiko komplikasi yang mungkin terjadi.

Usai menanyakan kabar pasien, Dokter Rahmat lalu mulai menjelaskan prosedur tindakan yang nanti akan dilakukan beserta resiko-resiko yang mungkin terjadi.

“Tentu saja, sebaik apapun tim kami berusaha, resiko kematian di meja operasi atau saat pemulihan baik di ICU maupun IW, akan tetap ada.” Kalimat tersebut menutup penjelasan tentang resiko operasi.

“Kenapa harus dijelasin lagi, sih, Dok? Waktu itu kan udah!” protes Qwincy dengan wajah pucat pasi.

“Kami harus memastikan bahwa secara sadar, pasien dan keluarga pasien,” Dokter Rahmat menyapu pandangan ke arah Aru yang berdiri di samping ranjang dan Ocean yang duduk di sofa, “memahami apa yang akan dihadapi. Sehingga tidak ada penyesalan jika terjadi hal yang tidak diinginkan.”

Qwincy menghembuskan napas panjang. Padahal ia sudah berusaha keras melupakan resiko-resiko operasi. Kembali diingatkan membuat ketakutannya datang lagi.

“Jadi, gimana? Mas Qwincy mau lanjut operasi atau enggak?” tanya Dokter Rahmat.

“Lanjutlah!” ketus Qwincy. “Semalam saya udah ngasih pengumuman di fanspage saya. Minta doa dari penggemar dan pembaca untuk keberhasilan operasi hari ini. Kalo sampe operasi hari ini enggak jadi, gimana saya bakal ngadepin netizen? Yang ada saya bakal dituduh cari sensasi buat tenar.”

Sementara ketiga dokter tersebut mengulum senyum, Ocean tengah mendelik ke arah Qwincy karena menahan kesal. Sempat-sempatnya pria tersebut memikirkan komentar netizen.

“Kalo lanjut, berarti silakan tanda tangan berkas persetujuan.” Dokter Rahmat mengerling ke arah asisten di sebelah kiri. “Jam 9 nanti, kita ketemu di ruang operasi.” Usai mengucapkan kalimat tersebut, dokter tersebut pun melangkah pergi.

Sementara itu, salah satu asisten sang dokter tetap berada di ruangan dan mengulurkan lembaran-lembaran kertas untuk ditandatangani oleh Qwincy.

“Pendamping Mas Qwincy yang mana?” tanyanya sambil menatap bergantian pada Aru dan Ocean.

“Beta bukan--”

“Yang keriting ini, Dok.” Qwincy memotong ucapan Aru sambil menujuk ke arah pria keriting yang berdiri di samping ranjang.

Dokter pun menyerahkan berkas persetujuan pada Aru yang meski ragu-ragu, tapi tetap menandatangani dengan tangan yang gemetar. Dia tidak punya pilihan lain.

“Mas Qwincy tunggu di sini dulu. Nanti akan ada perawat yang datang untuk mengantarkan Mas Qwincy ke ruang operasi,” ucap sang asisten sebelum meninggalkan kamar.

“Sio mama!” seru Aru saat mereka sudah kembali bertiga di ruangan. Ocean dan Qwincy yang terkejut, sontak berpaling ke arah pria keriting itu.

“Kalo nanti ko sampe mati, bagimana beta harus hadapi ko pung om? Syukur-syukur beta seng dituntut atau dipolisikan karna kasih palsu identitas.” Penuh dengan kekhawatiran, Aru mondar-mandir di kamar sambil menggerutu.

“Lo masih mending, Ru! Kalopun masuk penjara, berapa tahun berikutnya lo udah bisa bebas. Gimana gue? Kalo udah mati, mau nunggu berapa abad pun, gue enggak bakal keluar dari kubur lagi!” balas Qwincy dengan sedikit emosi.

“Apalagi gue penulis,” tambahnya.

Ocean mengerutkan kening. “Emang apa hubungannya dengan profesi penulis lo?” tanyanya sinis.

Qwincy memutar badan hingga menghadap ke arah Ocean, lalu mengatur napas seolah-olah dipaksa untuk menjelaskan perkara yang sudah terang benderang.

“Lo bayangin, dong, Samu! Gimana kalo nnati malaikat kubur nyinyirin gue, ‘Percuma bikin banyak buku, kalo buku nikah aja, enggak punya. Liat tuh orang-orang. Enggak perlu repot-repot jadi penulis, tapi bisa cetak buku nikah’. Terus gue harus jawab apa? Apa?”

Ocean hanya sanggup termangu saat mendengar penjelasan pria gondrong tersebut. Apakah sesederhana itu alasan Qwincy takut mati?

“Argh!” Teriak tertahan Aru lagi-lagi membuat Ocean dan Qwincy terkejut. “Kenapa juga harus ada operasi-operasi begini! Beta pung hidup yang mulus-mulus jadi terancam hancur!”

“Mau gimana lagi?” gumam Qwincy  sambil memijat-mijat kening. “Apa kita batalin aja operasinya?”

“Apa?” Ocean sontak berdiri dan berjalan ke arah ranjang. “Lo mau batalin operasi karena takut mati?”

Qwincy menatap Ocean dengan tatapan meledek. “Lo sama aja, kan? Enggak setuju-setuju operasi anak lo gara-gara takut dia mati.”

Mendengar itu, Ocean lalu menghempaskan bokong ke tepi ranjang. “Gue udah menyetujui operasi Lily,” ucapnya penuh penekanan.

“Lo udah ngomong ke pihak rumah sakit? “Kapan?” selidik Qwincy, tidak percaya.

“Hari ini. Setelah nganterin lo ke ruang operasi, gue bakal ke poli bedah untuk ngomong langsung ke dokter bahwa gue menyetujui operasi Lily.”

“Ohh.” Qwincy menanggapi dengan gumaman panjang.

“Lo tahu apa yang bikin gue berubah pikiran?”

Acuh tak acuh, Qwincy mengangkat kedua pundak sebagai jawaban.

“Kata-kata lo. Lo yang nasehatin gue bahwa operasi enggak akan memanjangkan atau memendekkan umur. Bahwa operasi-lah yang bakal bikin Lily bisa bertingkah seperti anak-anak normal lain. Bebas lari-larian, bahkan bebas nangis atau tantrum, ” terang Ocean sambil menatap tajam ke arah Qwincy.

Qwincy lalu teringat usaha-usahanya untuk meyakinkan Ocean. Ternyata jerih payah itu hampir berhasil. Apa yang terjadi jika kini ia mengacaukannya?

“Motivator emang paling bisa nasehatin orang lain. Tapi belum tentu berhasil ngeyakinin dirinya sendiri,” gumam Qwincy.

“Makanya gue akan ngeyakinin lo,” sambar Ocean. “Gue mau ngeyakinin lo untuk terus ngeyakinin gue bahwa operasi emang pilihan terbaik buat masa depan lo dan Lily.”

Qwincy terpaku mendengar kata-kata Ocean. Lalu pria itu pun mulai terkenang pada hari-hari bersama Lily. Pada tawa gadis kecil itu, celotehan-celotehannya, hingga permintaan-permintaannya yang aneh dan nyeleneh.

Tiba-tiba ia ingin kembali mengulang masa-masa itu. Ingin duduk bersama di taman belakang sambil berbincang dan melanjutkan naskah buku kolaborasi mereka. Tanpa harus peduli pada hujan yang mungkin akan menyinyirinya karena melanggar sumpah.

Pembicaraan keduanya terpotong saat seorang perawat datang ke ruangan sambil membawa kursi roda. Dengan enggan, Qwincy naik ke kursi tersebut sesuai dengan intruksi yang diberikan.

Sementara itu, Aru kembali berjalan mondar-mandir di ruangan dengan wajah semakin pucat pasi. Bukan dirinya yang akan dioperasi, tapi rasa-rasanya ketakutannya melebihi apa yang dirasakan Qwincy.

“Qwin, pikirin lagi!” ucap Aru dengan suara tertahan.

Qwincy melirik sekilas pada Aru, lalu pada Ocean. Ia sungguh takut, tapi sekaligus bersemangat. Operasi ini bukan hanya untuk dirinya. Namun juga untuk gadis kecil yang tiba-tiba dirindukannya.

Dalam diam, keempatnya pun menuju lantai delapan dimana ruang operasi jantung pediatrik berada. Karena merupakan kamar operasi khusus untuk anak-anak, lorong-lorong pun dipenuhi gambar dengan tema kartun. Membuat kesan seram operasi terganti dengan keceriaan taman bermain.

Selain Aru dan Ocean, ada beberapa keluarga pasien yang berada di lorong-lorong tersebut. Mereka berdoa dan mengucapkan perpisahan sementara sebelum pasien masuk ke ruangan.

Sementara itu, di batas antar keluarga pasien, dengan perlahan Qwincy turun dari kursi roda.

“Ru!” panggil Qwincy.

Dengan tubuh lunglai, Aru pun mendekat.

“Kalo nanti Om Agra sampai di sini, bilangin kalo gue sayang sama dia makanya gue enggak ngabarin dia. Gue enggak mau bikin dia khawatir.”

Mendengar itu, Aru menggigit bibir bawah. Padahal dia berharap bahwa di detik-detik akhir tersebut Qwincy akan mengubah pikiran. Namun, sepertinya keputusan Qwincy untuk menjalani operasi, sudah mantap.

“Kalo gue mati, 30% royalti buku-buku gue, gue sumbangin buat ngembangin Bumibuku." 

Aru tiba-tiba terisak setelah mendengar kalimat-kalimat tersebut. Penampilan pria itu memang terlihat sangat jantan. Namun soal hati, Aru adalah pemilik yang paling rapuh.

"Terus, 80%nya kasih ke Om Agra. Bilangin, buat jajan bulanan sepupu-sepupu gue. Sama seperti dia ngasih jajan bulanan ke gue dulu. Semoga gara-gara itu, Om Agra enggak jadi nuntut lo,” lanjut Qwincy.

"Hah?" Berlinang air mata, Aru mendongak. "30+80, kan, 110?"

Mendengar reaksi tersebut, Qwincy pun terbahak. Ternyata meski sedang menangis, otak Aru masih bisa mengerjakan soal matematika.

“Tenang aja!” ucap Qwincy sambil menepuk-nepuk pundak Aru untuk menenangkan.  “Gue enggak punya firasat bakal mati, kok.”

Masih tergugu, Aru pun mengangguk pelan. “Ko harus tetap hidup. Karna ko masih utang banyak naskah sama beta,” ucapnya dengan suara bergetar.

Qwincy menyeringai, lalu menarik kedua pipi pria keriting itu. Memaksanya untuk tersenyum. Setelah puas, Qwincy lalu berpaling pada Ocean.

“Samu!” panggilnya. “Gue mau lo janji satu hal sama gue. Dan kalo gue operasi gue berhasil, lo harus penuhi janji itu.”

“Janji apa? Menyetujui operasi Lily? Enggak harus nunggu operasi lo selesai dan dinyatakan berhasil, kok. Kalo lo udah masuk kamar operasi, gue pasti langsung ke poli di lantai satu.”

“Bukan itu.” Qwincy menggeleng.

“Terus, apa?”

“Tapi lo harus janji bakal nepatin.” Qwincy mewanti-wanti.

“Iya, iya. Emang janji apa?” tanya Ocean tidak sabar. Ia merasa tidak enak hati karena perawat di ambang pintu operasi sudah memberi kode agar pasien segera masuk ruangan.

“Lo harus janji bakal kolab bikin buku sama gue,” ucap Qwincy.

“Qwin…, gue bukan penulis. Gue juga enggak ngerti tentang ilmu kepenulisan. Yang lebih penting, gue enggak berminat jadi penulis,” tolak Ocean tegas.

“Kolab buat bikin buku nikah enggak mengharuskan lo untuk ngerti ilmu kepenulisan, kok,” ucap Qwincy sambil mengulum senyum. “Gimana? Lo mau kolab bikin buku nikah sama gue, kan?”

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

Next project Qwincy. (Kalo yang diajakin kolab mau). 😌

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top