18. Lo Serius?

"Kenapa lo enggak bilang mau operasi besok?"

Masuk-masuk ke ruang perawatan pra-operasi, Ocean langsung mengomel. Bahkan tanpa merasa perlu mengucapkan salam apalagi menanyakan kabar.

Sementara di kasur, Qwincy yang tengah duduk sambil mengetik cukup terkejut. Dari pintu yang dibuka, dia berpikir perawat atau dokter yang akan tampak. Ternyata malah Ocean.

Yang membuat Qwincy lebih terkejut lagi, perempuan itu berani muncul setelah kejadian tempo hari. Harusnya Ocean tersinggung karena perilaku Qwincy. Harusnya perempuan itu mengabaikannya, seperti yang dilakukan Qwincy. Namun, kenapa Ocean malah mengambil sikap yang berbeda dari harapnya?

Setelah menghembuskan napas panjang, Qwincy -yang sudah kembali menatap layar laptop- pun bergumam, "Info apapun yang terkait orang femes emang akan menyebar lebih cepat daripada virus."

Mengabaikan ocehan itu, Ocean melipat tangan di dada sambil menatap tajam pada Qwincy. "Kita masih teman, kan?" tanyanya.

"Hemm." Qwincy berdehem tanpa berpaling dari layar.

"Terus, kenapa lo enggak ngasih kabar?"

Kali ini Qwincy mendongak, lalu menatap Ocean.

"Samu, gue enggak mungkin ngasih tahu semua temen gue dari TK sampai yang baru gue kenal minggu lalu, kalo gue mau operasi besok. Lo bayangin, gimana kalo mereka berbondong-bondong ke sini kaya yang lo lakuin sekarang? Bisa ambruk gedung rumah sakit ini."

"Tapi, kan... hubungan pertemanan kita enggak seperti teman-teman lo yang lain."

Kening Qwincy mengerut saat mendengar kata-kata Ocean.

"Maksud gue, lo dan anak gue punya KJB yang sama. Kita sering sharing tentang itu. Kita terhubung karena itu. Jadi saat lo akan melalui sesuatu yang membuat kita terhubung itu... gue pikir gue bakal punya hak istimewa untuk tahu."

Qwincy mengembangkan senyum yang dipaksa, lalu kembali berpaling ke layar monitor. Keinginan untuk memberikan hak istimewa itu pada Ocean memang sempat terpikir. Namun hal itu sudah terbang seiring diketahuinya nama lengkap Lily.

Ocean menggigit bibir bawah. Ia harusnya bersyukur karena Qwincy tidak mengusirnya dari ruangan. Namun, ia tidak ingin berhenti di situ.

"Lo kaya gini bukan karena kejadian waktu itu, kan?" tanya Ocean hati-hati.

Awalnya Ocean tidak mau membahas kejadian tempo hari. Namun setelah berpikir masak-masak, ia merasa harus menyelesaikannya dengan Qwincy. Ia tidak rela jika masalah tersebut merusak hubungan pertemanan mereka. Sekarang ataupun nanti.

"Qwin..., lo enggak mau ngabarin gue, bukan karena kejadian Selasa kemarin, kan?" Ocean mengulang pertanyaan.

Mengetahui kejadian yang dimaksud, Qwincy hanya menyeringai sambil menggerutu dalam hati. Kehadiran perempuan itu saja sudah mengingatkannnya pada Rain Lily. Kenapa juga masalah yang ingin dilupakannya harus diungkit-ungkit lagi?

Tidak juga mendapatkan jawaban, Ocean pun berjalan ke arah jendela. Ia lalu menghempaskan tubuh ke sofa cokelat yang ada di sana.

"Bukan salah Lily kalo punya nama dengan unsur kata yang lo benci," ucap Ocean.

"That's right! Itu emang bukan salah dia. Tapi salah lo," komentar Qwincy tanpa melihat wajah lawan bicara.

"Terus, gue harus gimana?"

Sambil memainkan rambut gondrong, Qwincy berpikir. Tiba-tiba dia teringat kejadian yang hampir serupa, bertahun-tahun silam.

"Gimana kalo Lily ganti nama?" usulnya. "Tenang, aja. Biaya pembuatan bubur merah dan bubur putihnya, gue yang tanggung."

Mendengar itu, Ocean pun memicing. "Lo serius?"

"Kata siapa gue enggak serius?" Qwincy balik bertanya, lalu kembali lanjut mengetik naskah.

Ocean mencermati ekspresi Qwincy yang ceria. Senyum yang selalu menghiasi wajah pria yang tengah mengenakan baju pasien berwarna biru muda itu terkadang membuatnya bingung. Apakah dia sedang becanda atau serius?

"Kenapa gue harus ganti nama anak gue cuma gara-gara lo?" Nada suara Ocean mulai meninggi.

Berkebalikan dengan sang lawan bicara, Qwincy malah terkekeh.

"Kenapa lo naik pitam? Kan, lo sendiri yang minta saran."

"Tapi saran lo...." Ocean menghentikan kalimat. Perempuan itu bingung harus berkata-kata apa lagi. "It's just a name, Qwin!"

Qwincy menghentikan ketikan, lalu menatap Ocean dengan tajam.

"Lo pernah enggak benci sama seseorang sampai ke ubun-ubun? Misalnya, mantan pacar mantan suami lo? Atau istri mantan suami lo?"

Ocean bergidik saat Qwincy mengucapkan pertanyaan tersebut. Bukan hanya karena intonasi pria itu yang berubah menjadi serius, tapi juga sorot mata yang memancarkan kemarahan.

Ocean pun memikirkan pertanyaan Qwincy dengan seksama. Meski tidak ada dalam daftar yang disebutkan tadi, perempuan itu memang punya seseorang yang dibenci dengan segenap hati. Maka, ia mengangguk.

"Gimana perasaan lo saat ada yang nyebut nama orang itu? Lo otomatis akan ingat dia, kan?"

Lagi-lagi Ocean mengangguk.

"Dan lo juga akan ingat perasaan benci lo sama orang itu, kan?"

Tahu kemana arah pembicaraan tersebut, Ocean memilih untuk bergeming. Lagipula, ia sedang berusaha berdamai dengan perasaan benci itu.

"Itu yang gue alami," lanjut Qwincy, tanpa repot-repot menunggu tanggapan Ocean.

"Tapi Lily, kan, jarang dipanggil Rain," bantah Ocean.

"Tapi gue telajur ingat kalo namanya adalah Rain Lily!" Qwincy tidak mau kalah.

"Qwin...."

"Samu! Gue pernah bersumpah. Seumur hidup, gue enggak akan pernah berdamai dengan yang namanya hujan."

"Emang sumpah lo enggak bisa direvisi?" tanya Ocean. "Biar perlahan-lahan lo bisa mulai melunturkan rasa benci itu. Karena rasa benci cuma akan jadi penyakit yang ngancurin lo."

Qwincy merenenungkan kalimat-kalimat Ocean. Merubah sumpah yang pernah diucapkan memang mudah. Yang sulit adalah menyembuhkan harga diri yang terluka karena melanggar sumpah dan terkesan kalah.

"Tahu darimana gue di sini?" tanya Qwincy, mengalihkan pembicaraan.

"Siapa lagi?" Ocean balik bertanya dengan ketus.

"Dokter Volcano, ya?" tebak Qwincy. Dia sangat yakin, pria itulah yang membocorkan informasi.

Ocean mendecak. "Kalo udah tahu, enggak usah nanya."

"Cie...cie... udah baekan, nih, sama Dokter Volcano?" goda Qwincy.

Meski senang karena kecerian Qwincy sudah kembali, tapi Ocean menjawab pertanyaan pria itu dengan delikan. Ia kesal sekali karena tiba-tiba teringat obrolan dengan Volcano saat makan siang keluarga. Sebenarnya lebih tepat disebut sebagai informasi sepihak karena selain perubahan ekspresi wajah, Ocean nyaris tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

Saat itu, Ocean berusaha keras menahan amarah karena mengetahui kabar sang teman dari orang yang ia benci. Dirinya bahkan tidak bisa menjawab tuduhan Lily yang menganggapnya merahasiakan operasi Qwincy.

"Ngomong-ngomong, lo sendirian di sini?"

Kali ini Ocean yang mengalihkan pembicaraan. Perempuan itu melihat sekeliling lalu mulai melangkah menuju toilet. Ia ingin memastikan apakah di sana ada orang atau tidak.

"Kalo rame-rame, ya, di UGD. Bukan di kamar VIP," seloroh Qwincy yang sudah kembali berpaling ke layar laptop. Dia harus menyelesaikan setidaknya tiga bab lagi sebelum operasi esok hari.

"Maksud gue, pendamping lo mana?" tanya Ocean setelah mendapati toilet juga kosong.

"Lagi di kantor. Paling besok pagi baru ke sini," jawab Qwincy santai.

"Emang Om Agra enggak bisa ngajuin cuti?" tanya Ocean bingung. Jika besok pagi pendamping datang terlambat, bukankah akan menjadi masalah? Karena ada beberapa berkas persetujuan yang harus ditandatangani pasien dan pihak keluarga sebelum operasi dimulai.

Sementara itu, Qwincy mendongak dan menautkan kedua alis karena mendengar pertanyaan Ocean. "Emang gue pernah cerita tentang Om Agra ke lo?"

Tersentak, Ocean pun menelan ludah. Ia lupa jika informasi itu didapatkan dari orang lain. "Em... Pa... Pak Riyadh yang ngasih tahu gue," jawabnya terbata-bata.

Qwincy pun menggumamkan 'oh' panjang sebagai respon.

"Tapi Pak Riyadh enggak ngasih tahu hal yang lain, kok. Cuma tentang Om Agra aja." Buru-buru Ocean menambahkan.

Kalimat pelengkap yang baru saja diucapkan malah membuat Qwincy curiga bahwa perempuan itu tahu lebih banyak. Namun, dia tidak terlalu peduli. Lagipula Ocean sudah tahu rahasia terbesarnya.

"Tahu tentang hal lain juga enggak apa-apa. Itu emang udah resiko jadi orang femes," ucap Qwincy dengan arogan, lalu kembali melanjutkan ketikan.

Mendengarnya, Ocean ingin sekali menjitak kepala Qwincy. Namun tersadar, memang seperti itulah karakter pria gondrong di hadapan.

"So, besok sampai beberapa hari ke depan, Om Agra yang bakal nemenin lo?" tanya Ocean, setelah duduk lagi di sofa.

"Bukan Om Agra, kok. Gue enggak enak kalo minta Om Agra jauh-jauh datang dari Jayapura cuma karena masalah sepele kaya gini," jawab Qwincy. Masih dengan posisi tidak menatap lawan bicara.

"Terus, siapa yang bakal jadi pendamping lo?" Seingat Ocean, Riyadh hanya menyebutkan Agra sebagai satu-satunya keluarga Qwincy. "Bokap?"

Mendengar tebakan tersebut, Qwincy pun terbahak. Sementara itu, Ocean tertegun. Ia yakin, tawa yang dihadirkan sebenarnya menyimpan duka yang dalam.

"Aru yang bakal dampingi gue," ucap Qwincy setelah puas tertawa.

"Aru? Aru siapa?" tanya Ocean sambil menduga-duga bahwa nama yang disebutkan adalah salah satu keluarga dari pihak ayah Qwincy.

"Editor gue di BumiBuku." Dengan santai, Qwincy kembali menjawab.

"Lo serius?" tanya Ocean ragu-ragu.

Qwincy mengangguk-angguk tanpa ragu. "Absolutely!"

"Qwin!" Ocean sontak berdiri, lalu berjalan ke arah Qwincy dan duduk di tepi ranjang. Ia kemudian mengambil laptop hitam dari pangkuan Qwincy dan menaruhnya di ujung tempat tidur.

"Operasi lo bukan masalah sepele!" Ocean menatap tajam pada Qwincy yang masih terkejut atas perlakuan yang didapatkan.

"Tapi bukan masalah yang harus dibesar-besarkan juga, kan?" sahut Qwincy, lalu tersenyum hingga gigi-gigi depannya tampak.

Rahang Ocean mengeras mendengar penyataan tersebut. "Dokter ngebolehin lo ngelakuin ini?" tanyanya bingung.

Qwincy mengangguk. Tentu saja dokter mengijinkan karena dia berbohong mengenai hubungan kekeluargaan dengan Aru. Dia menyebutkan bahwa Aru adalah sepupu yang tinggal dengannya di Jakarta. Sementara keluarga terdekat tidak bisa datang karena sedang berada di luar negeri.

"Terus saat lo dalam kondisi enggak sadar, misalnya ketika masih di ICU, lalu tiba-tiba ada yang keputusan urgent yang perlu diambil, siapa yang bakal tanda tangan?"

"Aru," jawab Qwincy tanpa ragu.

"Qwin! Itu bukan keputusan main-main, loh. Itu soal hidup dan mati."

"Chill, aja, Samu. Percayalah! Aru enggak akan ngebiarin gue mati muda. Karena gue adalah aset berharga di penerbitannya," ucap Qwincy. Pria itu lalu mengambil laptop dan mulai kembali mengetik.

Kata-kata dan sikap pria itu membuat Ocean mematung. Ia tidak yakin, Qwincy melakukannya karena menganggap operasi bukan hal besar, karena tidak ingin merepotkan keluarga, atau karena apatis pada kata keluarga. Padahal Ocean yakin, di saat-saat seperti inilah pasien paling membutuhkan kehadiran orang terdekat.

"Gue cabut sekarang, ya," ucap Ocean, lalu berjalan ke arah sofa untuk mengambil tas tangan.

Qwincy melihat jam di dinding sambil mengerutkan kening. "Baru juga jam empat. Yakin mau buru-buru pulang?"

Sejujurnya, Qwincy merasa sedih. Baru saja merasa nyaman karena kamar tidak lagi sepi, sekarang pria itu harus ditinggal sendiri lagi.

Ocean menanggapi pertanyaan Qwincy dengan anggukan pelan. "Operasi lo jam berapa?"

"Kata dokter, jam 9 pagi."

Ocean kembali mengangguk. "Sebelum jam 8, gue usahain udah nyampe sini."
Setelah mengucapkannya, Ocean pun pamit dan berjalan keluar kamar. Meski masih ingin menemani pria itu, tapi ada hal penting yang harus dilakukannya. Segera.

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

Bubur merah-putih yang mau dipesan Qwincy. 🤤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top