15. ANAK INGUSAN

“Qwincy enggak nemenin kamu?” Riyadh celingukan ke arah pintu, dimana sepuluh detik yang lalu Ocean baru saja menutupnya.

“Enggak, Pak,” jawab Ocean sambil terus berjalan mendekat ke meja Riyadh.

Tanpa Qwincy yang mendampingi, tadinya Ocean sudah pasrah harus menunggu di luar ruangan seperti biasa. Maka setelah meletakkan skripsi di meja sang dosen pembimbing, ia pun pamit.

“Mau kemana? Duduk aja di situ.” Riyadh menunjuk kursi yang ada di hadapan. “Saya mau langsung periksa skirpsi kamu. Biar nanti bisa langsung kamu bawa.”

Mendengar itu, Ocean terkejut. Namun, ia tidak urung menuruti perintah Riyadh.

Selama lima belas menit selanjutnya, ruangan itu kembali sepi. Riyadh tidak mengeluarkan sepatah kata pun karena fokus pada skripsi milik Ocean. Tidak seperti saat Qwincy menemani. Sambil memeriksa skripsi, Riyadh masih bisa berbincang dengan tamu-tamu di ruangan.

Tidak adanya percakapan, membuat Ocean canggung. Tahu begitu, ia akan memilih menunggu di luar ruangan. Meski harus menanti tiga atau empat jam. Paling tidak, ia bisa menelusuri media sosial untuk menghabiskan waktu.

Sementara saat ini? Memegang ponsel saat dosen memeriksa skripsi, rasanya tidak sopan. Menunggu tanpa aktivitas lain, juga membosankan. Maka, Ocean pun mengambil resiko untuk melayangkan basa-basi.

“Pak Riyadh udah lama kenal sama Qwincy?”

“Emang Qwincy enggak cerita sama kamu?” Tanpa memalingkan wajah dari lembar-lembar skripsi, Riyadh balik bertanya.

“Enggak, Pak.” Ocean mengingat momen dimana ia menanyakan hubungan antara Qwincy dan Riyadh. Namun, yang didapat bukan jawaban, melainkan pengalihan topik terus-terusan.

“Saya kenal Qwincy sejak dia masih ingusan,” ucap Riyadh sambil mencoret-coret halaman yang sedang terbuka.

“Maksudnya, sejak Qwincy masih kecil, ya, Pak?” simpul Ocean. Bukankah lazim menggunakan istilah anak ingusan untuk menggambarkan seseorang yang masih kecil?

“Enggak. Ingusan dalam arti sebenarnya,” jawab Riyadh, kemudian terkekeh. “Kalo enggak salah, waktu itu umur Qwincy masih 6 atau 7 tahun. Saya lihat dia lagi nangis di bawah perosotan sambil narik-narik ingus.”

“Nangis di bawah perosotan? Qwincy habis jatuh, Pak?” Ocean hampir saja terbahak karena membayangkan anak seumuran itu masih menangis karena jatuh dari perosotan.

Riyadh mendongak, lalu menatap Ocean. “Umur kamu sekarang berapa?”

Alih-alih menjawab pertanyaan Ocean, Riyadh malah balik bertanya. Pertanyaan yang bagi Ocean terasa tidak berhubungan dengan pertanyaannya barusan. Namun meski bingung, perempuan itu tetap menjawab.

“23 tahun, Pak.”

“Pantes. Kamu masih bayi waktu bundanya Qwincy meninggal.”

“Oh….” Ocean menanggapi singkat.

“Waktu bundanya meninggal, keluarga, tetangga, dan rekan-rekan sibuk ngurusin jenazah. Enggak ada yang sadar kalo Qwincy pergi. Tahu-tahu, anak itu udah enggak ada. Semua pada heboh. Rumah lagi rame karena ada yang meninggal, ditambah lagi Qwincy hilang.

“Saya ikut nyariin Qwincy dan akhirnya nemuin dia di taman. Anak itu lagi nangis di bawah perosotan. Sedih banget ngeliatnya. Kayanya, sih, dia udah paham arti kata meninggal.”

Riyadh menghentikan cerita, lalu melepas kacamata. Disapunya sudut mata agar air mata tidak sempat mengalir jatuh ke pipi. Bagaimanapun juga, dia harus mempertahankan kewibawaan di hadapan mahasiswanya.

“Ada satu kejadian yang enggak bisa saya lupain. Karena di sana enggak ada tisu, terpaksa ngerelain kemeja kesayangan saya untuk nge-lap ingus Qwincy. Dan sampai sekarang, kemeja itu masih saya simpan,” lanjut Riyadh.

“Pak Riyadh tetangganya Qwincy?” tanya Ocean penasaran.

“Saya teman kuliahnya Agra.”

“Agra?” gumam Ocean.

“Iya. Agra. Emang kamu enggak kenal?”

“Agra yang mana, ya, Pak?” tanya Ocean. Ia tidak mungkin pura-pura mengenal pria yang disebutkan.

“Loh, katanya kamu saudaranya Qwincy. Masa enggak kenal sama adik bundanya?” Riyadh menatap Ocean dengan curiga.

“Oh… Om Agra?” Ocean gelagapan. “Saya… saya enggak terlalu kenal sama keluarga dari pihak bundanya, Pak. Soalnya… saya saudara dari pihak ayahnya Qwincy.”

Mau tidak mau, Ocean melontarkan kebohongan. Memang benar kata orang bijak, satu kebohongan akan melahirkan kebohongan lain. Namun saat ini, ia tidak mungkin mengakui bahwa Qwincy dan dirinya tidak punya ikatan persaudaraan. Yang ada, skripsinya bisa-bisa terancam dipersulit.

Diam-diam Ocean pun merutuki Qwincy. Andai waktu itu tidak terlontar kebohongan dari bibir Qwincy, sekarang ia tidak perlu menambah kebohongan .

“Maksud kamu pandanya?” Riyadh mengkoreksi kalimat Ocean.

Sambil menautkan kedua alis, Ocean kembali merutuk dalam hati. Bukankah sangat lazim menyandingkan panggilan bunda dengan ayah? Atau paling tidak dengan yanda. Namun, kenapa Qwincy harus menyandingkan kata itu dengan panda?

“Iya. Maksud saya, pandanya,” ucap Ocean kikuk.

Riyadh memicing. Kecurigaannya pada Ocean belum hilang. “Gimana kabar Bang Wira?” pancingnya.

Ocean segera berpikir dengan cepat. Karena sedang berbincang tentang ayah Qwincy, maka sangat mungkin Wira adalah nama sosok itu. Bukan nama sanak keluarga yang lain. Meski ragu, Ocean tidak punya pilihan selain menganggapnya begitu.

Perempuan itu pun mengingat-ingat obrolan dengan Qwincy. Selama ini Qwincy hanya menyebut bahwa ibunya sudah meninggal, sementara sang ayah selalu dikabarkan tidak peduli tentang keberadaan dirinya. Artinya, Wira masih hidup.

“Om Wira sehat, Pak,” jawab Ocean sambil menahan rasa gugup.

“Kamu sering ketemu Bang Wira?” selidik Riyadh lagi.

Ocean buru-buru menggeleng. “Udah lama enggak ketemu, sih, Pak. Cuma lewat telepon. Itu juga yang teleponan, orang tua saya.”

Dalam hati, Ocean sedikit takjub. Bisa-bisanya ia begitu lancar berbohong. Seakan-akan itu sudah menjadi kebiasaan.

Riyadh melipat kedua tangan di dada. Kini ia tidak lagi mengkoreksi skripsi Ocean. Prioritasnya sekarang adalah memastikan bahwa perempuan di hadapan tidak membohonginya.

“Sekarang Bang Wira dimana?”

Kali ini Ocean menelan ludah. Bagaimana mungkin ia mengetahui keberadaan pria itu? Bahkan membicarakannya saja Qwincy enggan. Ocean benar-benar tidak tahu dimana Wira tinggal. Entah di Jakarta, di Pulau Jawa, atau di kota lain yang ada di nusantara.

Selama beberapa detik Ocean berpikir. Ia takut itu adalah pertanyaan jebakan. Ia sadar, sejak beberapa saat tadi Riyadh mulai curiga bahwa dirinya bukan saudara Qwincy. Dan saat ini, pria itu pasti tengah menginterogasinya untuk memastikan kecurigaan. Jika Ocean asal menjawab, maka kebohongannya akan terbongkar.

“Om Wira lagi di luar negeri, Pak,” jawab Ocean hati-hati. Ia takut salah menyebutkan tempat tinggal Wira, maka memilih jawaban lain yang tidak spesifik.

“Emang biasanya dia di luar negeri, kan? Tapi, sekarang dia ditugasin dimana?” kejar Riyadh.

Ocean kembali menelan ludah. Tadinya, ia bermaksud menyatakan bahwa orang yang dibicarakan tengah liburan di luar negeri. Namun mendengar pernyataan Riyadh, ia pun baru mangetahui bahwa selama ini Wira bekerja di luar negeri.

Pertanyaannya, luar negeri bagian mana? Jika berhubungan dengan minyak, akan sangat mungkin Wira berada di daerah Timur Tengah. Jika bekerja di bidang teknologi, bisa jadi Wira di Amerika atau Jepang.

Ocean tidak bisa memutuskan negara mana yang harus dipilih. Bagaimana bisa menyebutkan negara mana yang ditinggali Wira jika profesi pria itu saja tidak diketahuinya?

“Saya lupa nama negaranya, Pak. Tapi, Om Wira masih di kawasan Asia, kok,” jawab Ocean.

“Asia? Tumben. Biasanya Bang Wira, kan, ditugasin di kawasan Eropa.”

“Iya, sih, Pak. Emang agak aneh.” Ocean merutuki  diri karena salah memilih jawaban. “Tapi, namanya juga profesionalitas pada pekerjaan. Mau gimana lagi, Pak?”

“Iya, sih.” Riyadh mengangguk. Kali ini kecurigaannya pada Ocean sedikit berkurang. “Itu emang udah resiko jadi duta besar. Harus siap ditugasin di mana aja.”

Ocean mengangguk, pura-pura mengiyakan apa yang dikatakan Riyadh. Padahal, ia baru saja tahu apa profesi Wira.

“Sampai saat ini, saya masih enggak ngerti sama pola pikir om kamu,” ucap Riyadh sambil kembali membaca halaman skripsi Ocean. “Kalo kamu, gimana?”

“Pola pikir yang mana, ya, Pak?” tanya Ocean. Ia tidak mungkin ber-iya-iya, padahal tidak tahu apa yang sedang dibicarakan. Bagaimana jika itu adalah topik jebakan yang lain?

“Tentang sikap Wira ke Qwincy.”

“Oh, yang tentang ketidakpedulian Om Wira sama Qwincy, ya, Pak?” tebak Ocean sambil bernapas lega. Sepertinya ia tidak perlu berbohong untuk topik kali ini.

“Kamu dengar itu dari siapa?” Tanpa berpaling dari skripsi Ocean, Riyadh bertanya.

“Qwincy,” jawab Ocean ragu-ragu. Ia benar-benar takut salah menjawab dan kembali membuat Riyadh curiga.

Mendengar jawaban Ocean, Riyadh pun terbahak. “Qwincy emang selalu berpikir seperti itu. Padahal kenyataannya berbeda 180 derajat.”

“Masa, sih, Pak?” Setengah terkejut, Ocean bertanya. Ia penasaran apa yang terjadi hingga Qwincy bisa salah paham pada Wira secara total.

“Kamu emang enggak tahu karena ini urusan orang-orang dewasa,” ucap Riyadh sambil menutup skirpsi Ocean. “Sebenarnya, Wira peduli banget sama Qwincy. Anak pertamanya.”

“Serius, Pak?” Ocean tidak bisa menutupi rasa tidak percaya. Melihat bagaimana Qwincy bercerita, ia yakin pria itu tidak bohong. Namun, Riyadh pun tidak mungkin menyatakan hal dusta.

Riyadh mengangguk. Pria itu lalu bercerita. Setelah bundanya meninggal, Qwincy tinggal dengan Agra, sementara Wira pergi keluar negeri. Meski begitu, seluruh kebutuhan Qwincy dipenuhi oleh sang ayah. Dari biaya sekolah, uang makan, hingga mobil Fortuner yang dikendarai Qwincy saat ini. Namun, semua dibuat seolah-olah diberikan oleh Agra.

Diam-diam, beberapa kali Wira juga datang di acara sekolah Qwincy. Bahkan saat Qwincy pertama kali mengadakan bedah buku, sang ayah pun turut hadir. Hanya saja, Wira selalu menyamarkan keberadaannya.

Wira tidak pernah mau Qwincy mengetahui hal yang sebenarnya. Dia pun melarang orang-orang sekitar untuk meluruskan kesalahpahaman yang ada. Entah atas alasan apa.

“Sebagai sahabat terdekat Agra, saya jadi tempat pembuangan semua uneg-uneg Agra tentang abang iparnya. Makanya saya tahu banyak,” ucap Riyadh menutup cerita.

Bingung harus menanggapi apa, Ocean hanya ber-oh-ria.

“Kenapa hari ini Qwincy enggak ikut?” tanya Riyadh sambil menutup naskah skripsi milik Ocean. “Dia ada seminar atau bedah buku? Atau lagi ngejar deadline novel?”

“Hari ini Qwincy lagi pergi ke dokter THT, Pak," jawab Ocean menjawab jujur.

Riyadh mendongak. “THT? Saya enggak tahu kalo Qwincy punya masalah THT. Tepatnya, di bagian mana? Telinga atau tenggorokan? Serius, enggak?”

“Qwincy cuma mau periksa THT sebagai syarat persiapan op-” Ocean menghentikan jawaban. Rasanya kurang etis membicarakan tentang kondisi kesehatan seseorang tanpa persetujuan orang yang bersangkutan.

“Persiapan apa?” tanya Riyadh penasaran.

“Persiapan… persiapan keluar kota, Pak. Kebetulan dia lagi pilek.” Ocean buru-buru mengarang kebohongan baru. Jika Qwincy belum bercerita tentang perihal operasi, ia pun tidak boleh membocorkannya.

Mendengar itu, Riyadh lalu menggumamkan ‘oh’ panjang. Membuat Ocean bisa kembali bernapas lega.

“Kalo gitu, saya tunggu revisi skripsi kamu besok,” ucap Riyadh sambil menyerahkan naskah skiripsi pada Ocean.

“Besok?” Ocean terkejut setengah mati karena persentasi keberhasilannya menyelesaikan misi itu hanya di bawah 5%.

“Sekalian ajak Qwincy ke sini saat kamu bimbingan. Saya tiba-tiba kangen pengen ketemu Qwincy dalam versi yang benar-benar lagi ingusan.

Sendi-sendi Ocean melemas seketika saat mendengar misi kedua yang lebih mustahil. Bagaimana caranya ia membuat Qwincy yang sehat bugar menjadi pilek hanya dalam 24 jam? Yang lebih penting, memangnya Qwincy bersedia?

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️


Qwincy emang agak 'laen', sih.

Betewe, menurut kamu, Qwincy bersedia enggak jadi 'anak ingusan' demi Ocean?













Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top