Ch. 17 : Prolog (2)
Warning : Yeah, masih ada si bintik-bintik. Kalem, ini yang terakhir kok.
"Arlene, sebenarnya kenapa kau datang ke tempat ini pertama kali?"
Arlene menolehkan kepalanya pada gadis yang duduk di sebelahnya, yang kedua kakinya ditindih oleh figurnya yang ramping. Sebuah senyum pilu menghiasi wajah wanita itu, dan dia membuka mulutnya.
"Aku ingin bertemu seseorang"
Rachel mengangkat sebelah alisnya, "Siapa itu?"
Oleh refleks, tangan Arlene mengelus permukaan tanah tempatnya dan Rachel duduk. Dia bisa merasakan sesuatu di balik penghalang tebal itu, di balik tanah yang menghalangi antara dia dan putra tersayangnya. Samar-samar, namun ada. Manik emasnya melembut, sebelum suaranya keluar.
"Dia orang yang sangat penting untukku" membicarakan tentang Bam, dimana putranya sendiri ada di kegelapan tanah di bawahnya, nyaris membuatnya menitikkan air mata, tapi dia menampung emosinya dan menarik nafas dalam untuk menenangkan dirinya sendiri.
Rachel, baik dia menyadari keresahan Arlene atau tidak, lanjut bertanya, "Apa dia ada disini? Kenapa kau tidak menemuinya?"
"Aku tak bisa, Rachel" jawaban Arlene keluar sedikit terlalu cepat bagi telinga gadis itu, "Aku ingin, namun sayangnya aku tak bisa"
Arlene tau, bahwa Rachel memiliki otak yang cukup cerdas untuk anak seumurannya, dapat menyerap informasi yang Arlene sajikan untuknya dan selalu bertanya jika dia belum mengerti pada suatu hal. Melihat anggukan kecil dari Rachel, Arlene menganggap bahwa dia sudah paham.
"Arlene, apa kau pernah mendengar suatu legenda?" Rachel mengangkat kepalanya untuk memandang Arlene tepat di manik emasnya.
Arlene menatap balik pada manik kuning yang terarah padanya, "Legenda apa?"
"Aku pernah mendengarnya... Bahwa ada seorang anak yang ditakdirkan untuk memasuki Menara. Kau tau tidak, Arlene? Katanya ada seorang utusan dari dewa, yang akan meletakkan jarum di tangan anak tersebut. Seorang raja akan mati di tangan anak pemegang jarum itu, dan dia akan menemukan kunci yang tersembunyi, membuka suatu pintu dengannya. Dikatakan juga bahwa dia akan memimpin semua orang di dalam Menara ke tempat yang lebih tinggi. Apa kau pernah mendengarnya, Arlene?"
Arlene membeku di tempatnya selama beberapa saat. Pikirannya berputar-putar bahkan saat Rachel baru mencapai kalimat ketiga dari ucapannya. Seorang anak, utusan dari dewa, jarum, seorang raja, kunci yang tersembunyi...
Ada yang membuat legenda tentang putranya? Dari mana mereka bahkan tau soal putranya Bahkan sampai menyebutkan bahwa dia akan membunuh Jahad dan mendapat kunci itu? Kunci yang meledakkan sebuah perang dengan darah yang tak pernah berhenti tersebut? Dan benarkah putranya akan membawa orang-orang di Menara menuju tempat yang lebih tinggi? Sampai ke puncak Menara?
Benarkah itu?
Apa benar dia bisa melakukan semua itu?
Menjatuhkan sang raja dari tahtanya, merebut kunci terkutuk itu, membawa keadilan di Menara, dan mencapai puncaknya?
Benar-benar...
Putraku adalah seorang monster.
Rachel merasakan suatu perasaan asing tumbuh di dalamnya ketika Arlene tertawa. Tawa itu berbeda dari tawa yang pernah Rachel dengar dari mulut wanita itu. Selama ini, tawa Arlene selalu terdengar manis, lembut seperti rambutnya, dan ringan seperti shinsu.
Tapi tawa yang ini hampa, tanpa emosi, dan dingin. Rachel tidak tau kenapa Arlene tertawa seperti itu, tapi yang pasti, dia tau bahwa Arlene tidak tertawa oleh rasa humor ataupun kegelian.
Ah.
Rachel meletakkan tangannya di dadanya sendiri, merasakan jantungnya berdegup kencang, abnormal bagaikan ada yang sedang memaksanya untuk bekerja lebih keras, memompa darah dengan kecepatan tinggi yang melelahkan namun menolak untuk memelan walau untuk sejenak.
Rachel mengerti sekarang.
Perasaan asing itu adalah ketakutan.
Dan Arlene...
Arlene tertawa oleh rasa takut.
"Monster... Monster... Ahahaha, seorang monster!!"
Rachel meneguk ludah gugup, tangannya yang bergetar terangkat untuk meraih Arlene, untuk mengetahui apakah wanita itu baik-baik saja meskipun mulutnya masih melontarkan tawa kering serta kata spesifik itu, "A- Arlene...?"
Arlene kembali menoleh pada Rachel dengan sangat cepat, gadis itu khawatir dia akan menyakiti lehernya. Sebuah seringai lebar terukir di wajah Arlene, manik emasnya berkilat-kilat dengan tak wajar, dan Rachel belum pernah merasa setakut ini dalam hidupnya.
"Arlene, apa kau baik-baik saja...?"
"Rachel!" alih-alih menjawab, Arlene mencengkram bahunya dengan sangat erat, Rachel yakin bahunya akan nyeri nanti, "Malam adalah sosok yang luar biasa kuat! Kekuatan yang dia miliki itu sungguh mengerikan! Dia adalah monster! Monster yang berbahaya! Kau harus berhati-hati!"
Rachel tidak mengerti satupun kalimat yang Arlene lontarkan. Apakah pikiran wanita itu sudah gila? Apa yang terjadi padanya?
Demi dirinya sendiri, Rachel menepis kedua tangan Arlene dari bahunya, sontak menyeret dirinya mundur darinya tapi tidak terlalu jauh supaya dia masih bisa melihat raut wajah yang dimiliki oleh wanita tersebut.
Kegilaan.
Rachel pernah mendengar tentang hal itu sebelumnya. Lebih tepatnya dari Arlene sendiri, dialah yang menceritakannya padanya. Arlene berkata kegilaan akan membuat pikirannya berkabut, dan bayangan-bayangan mengerikan akan memasuki otaknya, membuatnya berlaku tidak sepantasnya. Yang benar adalah salah, dan yang salah adalah yang benar.
Dulu, Rachel tidak berani bertanya lebih lanjut pada Arlene mengenai "kondisi" tersebut. Dari cara Arlene menceritakannya, Rachel merasakan kegilaan bahwa suatu kondisi yang sudah Arlene kenal dengan cukup baik.
Sekarang...
Rachel memandangi Arlene yang masih tertawa, terus menerus berkata bahwa malam adalah monster. Manik kuningnya penuh dengan kengerian, oleh tawa Arlene yang seakan-akan menggema di sekitarnya dan ocehan yang selalu mengucapkan satu kata. Monster.
Ya, Rachel bisa mengetahui bahwa Arlene Grace benar-benar sudah gila.
.
Sejak kejadian itu, Arlene tak pernah lagi datang untuk mengunjungi Rachel. Gadis itu masih datang ke tempat mereka biasa duduk, seharian menunggunya muncul dan kembali menceritakan banyak hal kepadanya, hanya untuk memiliki kegelapan yang menyelimuti lorong sejauh matanya memandang. Tak ada siapa-siapa disana selain dirinya.
Arlene pernah bilang bahwa jika tak ada bintang maupun rembulan, malam adalah pemandangan yang mengerikan. Tak akan pernah ada yang tau apa yang ada di balik kegelapannya, dan suara-suara menyesatkan akan selalu menemani jika tak ada yang melindungi. Rachel mengangkat kepalanya, dan bibirnya gemetar.
Dengan kegelapan yang membentang di atasnya, Rachel yakin akan satu hal.
Dia takut dengan malam.
Misterius, tak terhingga, dan mengerikan.
Sudah seminggu Arlene tak muncul, dan Rachel menyimpulkan bahwa wanita itu tak akan pernah muncul lagi disini. Sebuah kesenduan melukis wajahnya yang redup, dan Rachel mencengkram lengan kemeja hitamnya yang panjang, berharap akan ada sesuatu yang menemaninya disini. Dia benci sendiri, apalagi ditinggalkan.
Dia bangkit dari posisinya dan hendak berbalik kembali, jika bukan karena ujung sepatunya tersandung oleh sesuatu yang membuat dirinya condong ke depan. Dia terjatuh ke permukaan tanah, tak tersakiti namun terkejut.
"Apa itu tadi...?" dia menggumam pada dirinya sendiri, dan menoleh pada apapun itu yang membuatnya tersandung. Sebuah lubang di tengah permukaan tanah terlihat di pandangannya, tidak terlalu besar namun tidak terlalu kecil pula, sehingga cahaya bisa menembus memasukinya.
Namun apa yang ada di bawah sana?
Rachel hendak mendekati lubang itu, tapi dia terkejut ketika mendengar suara samar dari baliknya, bagaikan batu berbentur dengan tanah dan suara seseorang yang kesusahan dan kelelahan.
Dia rasa siapapun yang ada di bawah sana butuh bantuan, maka dia meraih batu terdekat yang beratnya cukup untuk membuat tangannya berayun ke bawah dengan kekuatan seimbang, membuat tanah di bawahnya retak.
Dia terus mengulangi aksinya, menghujamkan batu tersebut ke permukaan tanah di bawahnya. Ketika garis retakan mulai terbentuk di sekitarnya, Rachel sedikit menyeret dirinya mundur dan mengalirkan kekuatan tambahan dalam ayunan tangannya pada permukaan tanah.
Krak!
Suara itu menggema di sekitar Rachel sebelum tanah di bawah runtuh. Rachel telah mengantisipasinya, sehingga dia ada di bagian tanah yang tak ikut runtuh. Apa yang sepasang manik kuningnya lihat selanjutnya membuatnya terkejut.
Seorang lelaki menatapnya dengan manik emas yang simpelnya dipenuhi kelegaan, garis air mata sontak turun deras dari kedua pelupuk matanya dan bibirnya terbuka walau dia tak mengatakan apa-apa, hanya tersenyum sangat lebar. Dia berbaring di atas sebuah menara kecil yang terbuat dari ratusan bebatuan besar, hanya memakai baju putih panjang lusuh dan memiliki rambut coklat tebal yang mencapai sampai ke punggungnya.
"A- Apa kau baik-baik saja?" Rachel spontan berseru khawatir melihat kondisinya, "Tunggu disana sejenak! Aku akan datang untukmu!"
Kemudian dia kembali membuat lubang lebih besar di sekitarnya supaya dia bisa turun dan menghampiri bocah tersebut, yang kelihatannya tak bisa berhenti menangis.
.
"Ah, mereka akhirnya bertemu"
"Hm? Apa itu, Tuan?"
"Bukan apa-apa, nak. Aku hanya berbicara pada diriku sendiri"
.
"Siapa namamu? Namaku Rachel"
"Na- Namaku Bam ke-25..."
"Itu nama yang unik, Bam. Boleh kan jika aku memanggilmu seperti itu?"
"Uhm, iya... Itu adalah tanggal kelahiranku... Tapi, Rachel...?"
"Ya, Bam?"
Rachel terkejut ketika Bam tiba-tiba melayangkan kedua lengan kecilnya yang ramping di figurnya yang berdebu karena menghancurkan permukaan tanah dengan batu tadi. Bam kembali menangis di bahu Rachel, menggumamkan kata-kata yang membuat Rachel teringat pada seorang wanita tertentu.
"Terima kasih, terima kasih, terima kasih, terima kasih..."
Ragu, Rachel balas melingkarkan lengannya di punggung Bam, menepuk-nepuknya perlahan untuk menenangkannya.
Bam pasti orang yang Arlene cari-cari selama ini... Tapi kenapa Bam sangat penting untuknya? Apa arti Bam bagi Arlene?
.
"Katakan, nak, apa kau suka cerita perjuangan yang penuh darah?"
"Tergantung bagaimana ceritanya berjalan, Tuan, walaupun saya tak bisa menyangkal bahwa saya memang suka pertumpahan darah"
"Hmph, kalau begitu kau pasti suka bagaimana kisah ini akan berlanjut"
~~~
A/N : Kemudian cerita ini berlanjut ke alur asli Tower of God. Dengan itu, author bisa menyampaikan bahwa cerita ini sudah selesai!
Tujuan cerita ini awalnya tuh cuman pengen ngebayangin doang gimana sejarah di balik Lantai Kematian, eh rupanya author keasyikan ngetik sampe ke bagian dimana si bintik ketemu cinnamon roll kita. Gapapa lah, biar lebih seru dikit :v
7/8/2020. Thank you so much for reading this story!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top