Ch. 15 : Perintah
Bam tumbuh menjadi seorang lelaki yang, karena Enryu kekurangan kata-kata, sangatlah baik hati. Bam bersedia membantu ibunya kapan saja, walau kadang dia sampai menyulitkan diri sendiri untuk melakukannya. Setiap pujian manis yang terlontar dari bibir ibunya maupun Enryu membuat Bam tersenyum begitu lebar sehingga Enryu pernah berpikir apakah bocah itu pernah lelah tersenyum atau tidak.
Jika Enryu melihat Bam dan Arlene tersenyum di saat yang bersamaan, Enryu akan langsung memalingkan wajahnya. Bukan karena dia benci melihat mereka tersenyum, namun karena senyum mereka terlalu silau baginya untuk dia lihat. Bagaikan ada dua matahari yang menempati rumah Arlene.
Pada malam hari ketika Enryu pamit pada Arlene dan putranya, sang rembulan sedang bersinar lembut, terkesan hangat terlepas dari udara dingin yang sukses melewati pertahanan jaket merahnya yang tebal. Uap tipis bahkan sampai merangsek keluar dari bibirnya.
Enryu hendak berjalan pulang ke rumahnya, jika bukan karena dia menerima panggilan dari "dia" di tengah jalan. Enryu tak yakin bagaimana cara kerjanya, tapi dia merasa seperti punya seseorang di belakang pikirannya yang selalu memberitaunya jika "dia" memanggilnya.
Mengambil jalan yang berbeda dari yang biasa dia ambil menuju rumahnya, Enryu berjalan di rute yang hampir tak mendapat sorotan perak sang rembulan. Melangkah tenang karena dia sudah melewati jalan tersebut selama ribuan kali, dia akhirnya sampai ke tempat yang dia tuju.
"Selamat malam, Tuan. Saya tak menyangka anda akan memanggil saya dalam waktu selarut ini. Ini kan waktunya saya untuk tidur, saya sudah ngantuk nih" biasanya, tak ada pemimpin yang senang jika anak buahnya bicara seperti itu, bicara seakan-akan dia adalah anak buah yang tak selalu menuruti perintah atasannya.
Tapi sosok di depannya tertawa kecil mendengar pernyataannya. Itulah apa yang membuat Enryu setia padanya. Dia tidak memandang Enryu sebagai sebatas pelayannya saja, namun sebagai seorang teman dekat, mengutarkan nada ringan walaupun suaranya tak pernah lembut di telinga orang lain kecuali Enryu.
"Maaf, nak, aku hanya ingin memberitaumu sebuah hal kecil, yang mungkin sebenarnya bukan hal kecil bagi kalian bertiga" ujar sosok tersebut.
Enryu menaikkan sebelah alisnya, "Apakah yang anda maksud dengan "kalian bertiga" adalah saya, Arlene, dan Bam?"
"Tentu, nak. Siapa lagi jika bukan kalian?" sosok itu tertawa lagi sebelum melanjutkan, "Beberapa tahun sudah berlalu sejak anak itu bangkit lagi dari kematian, untuk satu tujuan, yaitu untuk memasuki Menara dan mengubah takdirnya. Sudah saatnya hal itu untuk terjadi"
Manik merah darah Enryu menggelap menjadi bayangan familiar setiap kali pria itu memikirkan sesuatu yang membuat hatinya berkecamuk, namun seperti biasa, dia menyembunyikannya di balik topengnya, "Tentu saja, Tuan. Beri saya perintah, dan saya akan berusaha untuk mewujudkannya sebisa saya"
"Itu dia masalahnya, nak. Perintah ini bukan untukmu"
Enryu tergelak ketika dia mengerti maksudnya.
"Anda ingin Arlene sendiri yang mewujudkan perintah anda"
"Tepat sekali. Arlene Grace yang orang yang meminta bantuannya padaku waktu itu, bukan dirimu. Bukanlah suatu kejutan besar jika pada akhirnya dia harus menjalankan hal selanjutnya yang sudah terukir dalam takdirnya. Tapi jangan khawatir, nak, kau kuperbolehkan untuk membantunya"
Kelegaan merambati tubuh Enryu kala dia mendengar kalimat terakhirnya.
"Terima kasih, Tuan. Jadi apa yang harus saya lakukan?"
"Bawa Arlene Grace dan putranya ke hadapanku besok pagi. Kita akan bicarakan hal selanjutnya pada saat itu"
"Saya mengerti"
.
"Membawa Bam ke bawah tanah Menara... ?"
Arlene tampak tak setuju mendengar ide tersebut, hampir kehilangan emosi adalah kiasan yang lebih tepat untuk menjelaskan nada suaranya, tapi dia tidak meninggikan volume suaranya, takut untuk membangunkan Bam berada di dekapan lengannya, sedang tertidur dengan pulas.
Enryu berpikir bahwa itu adalah yang ide yang lebih baik jika Bam tidak terbangun ketika mereka sedang membicarakan nasib selanjutnya.
"Kau sudah mendengar kata-kataku, Arlene Grace" di sisi lain, Enryu mulai gugup ketika mendengar nada tegas dari sosok yang dia sangat hormati. Sosok itu hanya menaruh hormatnya pada Enryu dan Enryu seorang saja. Di hadapan orang lain, dia tampak seperti sesosok tiran yang mengendalikan rakyatnya hanya dari ayunan kecil dari jari-jemarinya yang dililit dengan secarik benang tipis.
"T- Tapi, Tuan, untuk apa saya membawa anak saya ke sana...?" Arlene mengutarkan maksudnya dengan terbata-bata.
"Apa kau lebih memilih untuk menitipkan putramu pada orang asing di bagian luar Menara? Mereka pasti akan menyadari sesuatu yang berbeda dari putramu, sebuah kekuatan yang bisa membuat mereka bergetar, ataupun yang bisa membuat keserakahan mereka tumbuh ke permukaan.
Bawah tanah Menara merupakan tempat yang bahkan penghuni Menara hampir tak pernah mendengarnya. Di sana adalah tempat yang dipenuhi kegelapan, namun juga keamanan yang tak terhingga. Lebih baik disana daripada di antara orang-orang yang mungkin hendak membahayakan putramu"
"Apa anda ingin saya untuk meninggalkan anak saya sendiri disana?" Arlene berdesis, tangan sontak naik untuk mengelus surai coklat tebal putranya ketika dia merasakannya bergerak dalam pelukannya, perlahan membuatnya kembali tertidur.
Sebuah seringai licik merekah di wajah sosok tersebut, dan Enryu bersyukur bahwa dia tak pernah membuat tuannya mengeluarkan seringai pengetar keberanian itu. Melihatnya saja sudah menyebabkan tubuhnya bergidik ngeri.
"Percaya padaku, putramu tak akan pernah kesepian. Karena kesepian lah yang akan selalu bersamanya ketika dia menunggu cahayanya untuk tiba"
"Arlene..." Enryu menepuk kedua bahu Arlene, jempol perlahan membelai otot yang menegang oleh ketakutan dan amarah, "Kontrol emosimu. Kau tentu tak ingin membuat masalah dengan "dia", bukan? Ingat, demi Bam"
Nafas Arlene sudah terengah-engah, terhias oleh frustasi yang dia rasakan dari pemikiran bahwa dia harus berpisah dari putranya sekali lagi.
"Apa kau ingin membalas dendam pada Jahad atau tidak, Arlene Grace?"
Telak.
Enryu tau "dia" sudah menang sekarang.
Tubuh Arlene membeku mendengar kalimat tersebut, dan Enryu sontak menyingkirkan tangannya dari kedua bahu Arlene. Sepasang manik emas milik wanita itu terlihat semakin redup setiap detiknya, Enryu khawatir dia akan kembali terguncang seperti dulu.
"Apa Tuan Enryu akan menemani saya ke bawah tanah Menara?"
"Jika kau menginginkannya, maka silakan. Bagaimana menurutmu, nak?"
Enryu mengarahkan pandangannya pada tuannya dan Arlene, mengulanginya sampai beberapa kali, sebelum menghela sebuah nafas berat yang tak bersuara, "Tentu, Tuan. Saya akan memastikan Arlene dan Bam mencapai bawah tanah Menara dengan aman" ujarnya patuh.
Oh dia benar-benar merasa seperti boneka sekarang. Tetap patuh walaupun keputusan itu terkesan berat untuknya (lebih berat untuk Arlene, tapi tetap saja kan). Mungkin sejak dulu benang tipis yang "dia" gunakan untuk mengendalikan orang-orang sudah terpasang di balik lehernya sejak lama.
Sebuah tawa pahit terselip dari bibirnya.
Bukan berarti dia akan memprotesnya. Toh dia sudah bersumpah setia padanya. Wajar saja baginya untuk menuruti perintah-perintah darinya, selama itu tidak merugikan mereka berdua ataupun orang-orang yang Enryu kenal.
.
Dengan jalan yang lebih rahasia, Enryu dan Arlene sampai ke bawah tanah Menara. Enryu menjelaskan bahwa disini benar-benar aman, karena bahkan sang "Penjaga Menara", Headon, tidak pernah mengunjungi tempat ini. Penjaga itu mungkin berpikir bahwa disini hanya ada bebatuan dan tanah, dan bukanlah sesuatu yang pantas untuk dia urusi.
Enryu dan Arlene loncat turun ke sebuah lubang yang menuju ke bagian lebih dalam dari bawah tanah Menara. Benar-benar hanya tembok tanah dan bebatuan yang ada di sekitar. Berkat shinsu-nya, Enryu membawa dirinya, Arlene, dan Bam mendarat dengan aman di permukaan tanah.
"Arlene, apa kau yakin?" entah sudah berapa kali Enryu mengulangi pertanyaan itu. Meninggalkan Bam sendirian disini tentu adalah sebuah keputusan yang sangat berat dan besar, terlepas dari "dia" yang memberitau mereka bahwa ada kemungkinan seseorang akan menemaninya nanti.
"Tuan Enryu, apa Tuan tak bosan menanyakan itu padaku?" Arlene tertawa kecil, suara dan nada manisnya menggema di tempat hening tersebut, bagaikan musik di telinga sang surai merah.
"Aku hanya tak ingin kau menyesalinya, Arlene"
"Satu-satunya penyesalanku adalah tidak melawan Jahad ketika dia membunuh bayi kecilku, Tuan Enryu. Aku terbutakan oleh ketidakpercayaan dan ketakutan, yang mengirimkan kelumpuhan di sekujur tubuhku. Mungkin jika aku melawannya, walaupun aku tau itu sia-sia, aku bisa melepas bayi kecilku dengan tenang karena sudah berjuang untuknya, tapi tidak.
Aku membeku di hadapannya. Sang Raja Menara yang oh sungguh kuat itu. Jika kesendirian Bam adalah hal yang dibutuhkan untuk membentuk dirinya menjadi orang yang akan mengalahkannya, maka aku tak masalah dengan itu"
Ah, Enryu sungguh kagum dan takut pada Arlene.
Tekad seseorang yang putus asa adalah hal paling mengerikan yang pernah dia lihat. Dia harus menahan dirinya dari meringis geram.
Arlene memutuskan untuk meninggalkan Bam di permukaan tanah dengan baju panjang putih polos dan sebuah celana pendek. Dengan kemampuan mantranya yang seakan-akan tak pernah menumpul, dia menghapus ingatan Bam tentang dirinya, Enryu, dan dunia luar. Hanya meninggalkan namanya di kepala kecilnya.
Bam. Sebuah nama panggilan kecil yang selalu Arlene sukai. Malam memanglah indah, tapi siapa tau apa yang tersembunyi di balik kegelapannya.
Enryu tersenyum tipis, "Akhirnya dimulai juga kisah ini"
~~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top