Ch. 11 : Perubahan
Enryu melangkah memasuki desa dengan kepala menunduk. Dia bahkan tidak membalas sapaan hangat para penduduk desa, yang membuat mereka terbingung-bingung sendiri karena sang surai merah pasti selalu membalas sapaan mereka. Tetap saja, tak ada yang berani untuk menghampirinya dan bertanya kepadanya.
Mereka dapat merasakan aura yang berbeda darinya saat itu.
"Enryu, Enryu, Enryu!!!"
Namun seperti biasa, Urek tidak peka dengan situasi//emang kapan dia pernah peka--
Urek berusaha memanggil Enryu lagi sampai beberapa kali, tapi dia masih tak mendapat balasan darinya, seolah-olah dia sedang memanggil orang tuli. Mengangkat kepalanya saja tidak dia lakukan. Bingung sekaligus (sedikit) khawatir, Urek pun mencoba lagi.
"Enryu! Hoi, denger gak? Enryu!! Enryu!! Jangan cuekin aku--"
"Apa yang kau mau, Mazino?!"
Bagi penduduk desa, Enryu merupakan sosok yang tenang (plus tampan dan berani uhuq--). Selain kontrol akan shinsu yang luar biasa, dia juga memiliki kontrol emosi yang sangat baik. Selalu terkendali di setiap situasi.
Jarang sekali mereka bisa melihatnya marah atau mengeluarkan emosi lainnya yang dapat membuat orang-orang bergetar, walaupun mereka juga tau bahwa setiap kali dia berada di dekat Urek Mazino atau Arlene Grace, dia dapat berekspresi dengan lebih terbuka dari biasanya.
Mungkin karena dua orang itu merupakan teman terdekat Enryu yang sudah dia kenal dari dulu, dan dia tidak masalah dengan bersikap lebih longgar bersama mereka. Jika di dekat Arlene, Enryu lebih banyak tersenyum, dan jika di dekat Urek, Enryu lebih banyak menggerutu.
Mendengar Enryu membentak secara terang-terangan seperti itu sangatlah tidak biasa bagi penduduk desa. Tentu, mereka pernah melihatnya membentak Urek puluhan kali, tapi yang satu ini rasanya...
Berbeda dari yang biasanya.
Dan tepat setelah Enryu berteriak, shinsu di sekitarnya berubah warna menjadi merah, seperti setiap kali dia hendak bertarung, dan Urek sontak melangkah mundur melihatnya. Oke fix, dia marah. Penduduk desa yang menyadarinya segera meninggalkan lokasi, dalam hati berdoa bahwa Urek tidak akan menyulut api yang seharusnya memang tidak tersulut.
"A- Aku ingin memberitaumu suatu hal penting..."
Urek (dan satu desa) menghela nafas lega ketika shinsu merah di sekitar memudar perlahan. Seperti yang sudah mereka duga, Enryu segera mengontrol emosinya lagi karena tidak mungkin dia marah tanpa sebab, dan dia tidak ingin menyakiti orang secara tidak sadar.
Memijit keningnya sendiri seraya menggerutu pelan, Enryu akhirnya menanggapi Urek dengan lebih terkendali, "Baiklah, katakan apa itu. Cepatlah, aku lelah sekali hari ini"
"Phantaminum menghilang dari desa, Enryu"
"Hah?" Enryu melotot pada Urek dengan sepasang manik merahnya membulat sempurna, "Dia menghilang? Kenapa? Sejak kapan?"
Urek menggidikkan bahu, "Aku tidak tau. Aku datang ke rumahnya karena dia bilang dia ingin adu shinsu lagi denganku hari ini. Tapi saat aku mendobrak pintu rumahnya --iya aku tau itu buruk tapi jangan komen deh--, tidak ada siapapun disana. Rumahnya pun bersih, seakan-akan tidak pernah ada yang tinggal disana"
Enryu menutup mulut dengan tangannya, deru nafas keresahan berhembus dari bibirnya saat dia berbicara pada dirinya sendiri, "Kemanakah dia pergi...? Phantaminum bukanlah tipe orang yang suka keluyuran macam Urek... Rasanya aneh jika dia pergi tanpa pemberitauan..."
"Jadi apa yang harus kulakukan, Enryu?"
"... Tidak ada"
"Eh?"
"Tak ada yang kau bisa lakukan terhadap kepergian Phantaminum. Dia mungkin punya suatu hal genting yang harus dia lakukan sampai-sampai dia menghilang tanpa jejak dari desa ini.
Kemungkinan besarnya itu juga hal yang berbahaya. Kusarankan kau jangan mengikutinya. Aku ragu dia akan mendengarkanmu jika seandainya kau bertemu dengannya dan menyuruhnya balik ke sini. Hilangnya dua orang dari desa ini sudah terlalu banyak untukku..."
Urek berkedip beberapa kali, "Iya juga sih, palingan dia ogah mendengarkanku. Bisa-bisa nanti aku dihajar olehnya, hehe" dia terkekeh.
Candaan kecil Urek berhasil membawa sedikit senyum ke wajah Enryu yang lelah, walaupun apa yang dia katakan selanjutnya menghancurkan setitik susunan emosi yang tersisa dalam dirinya.
"Oh ya, Enryu. Apa kau sudah dapat kabar dari Arlene?"
Itu hanya sebuah pertanyaan simpel. Bertanya tentang kabar wanita yang Enryu sayangi bagaikan keluarga sendiri. Namun mendengar nama wanita itu disebut lagi, oleh orang lain yang juga mengaguminya sebesar dirinya, menarik kesenduan Enryu untuk kembali naik ke permukaan, memaksa emosinya untuk tumpah dari wadahnya.
"Eh? Ehhh??? Enryu?" Urek seketika terlihat panik dan takut di saat yang bersamaan ketika dia melihat air mata terkumpul di pelupuk mata sang surai merah, "Maafkan aku, Enryu, apa aku salah ngomong?"
Ini mungkin pertama kalinya Enryu mendengar nada bersalah seperti itu dari Urek. Bahkan ketika dia (tak sengaja) merubuhkan rumah salah satu penduduk, atau ketika dia hampir (tak sengaja) merusak jaket Enryu dalam pertarungan, atau ketika dia (tak sengaja) menubruk Arlene, dia tak pernah terdengar sebersalah ini.
Yep, Enryu tau kebanyakkan dari kesalahan yang Urek lakukan merupakan suatu ketidaksengajaan. Terkadang itu membuatnya bingung bagaimana bisa Urek menyebabkan kekacauan dengan begitu sering tapi padahal dia tak sengaja melakukannya.
"Tidak, Urek. Wajar bagimu untuk menanyakan hal tersebut. Kau tidak salah bicara" Enryu menerka air matanya dengan lengan jaket merahnya, kain tebal dan sejuk tersebut menjadi lembab karenanya.
"Tapi aku juga minta maaf. Aku belum mendengar kabar lainnya sama sekali dari Arlene. Sekarang aku permisi dulu"
Dan Urek Mazino (serta para penduduk desa yang ngintip dari balik rumah/semak-semak saking keponya) hanya bisa menonton ketika punggung Enryu yang tegap dan memancarkan aura mengerikan tersebut menghilang di balik pintu rumahnya.
.
Entah kenapa bagi Enryu, tahun berlalu bagaikan tetesan air yang terjatuh dan menyatu dengan danau, tak disadari telah menetes namun gelombang yang tercipta dari kontaknya dengan permukaan danau akan terlihat sejenak sebelum memudar lembut.
Mungkin dia sedang tidak fokus kala itu, terlalu sibuk memikirkan tentang jarum yang dia tinggalkan di lantai 43 untuk menggorok tenggorokan Jahad, apakah Arlene menemukan cara untuk keluar dari Menara dengan tubuh putranya yang tak bernyawa, bahkan bagaimana keadaan Phantaminum sekarang.
Alhasil Urek berhasil mengenainya.
Enryu melayang membeku di udara, dengan Urek yang menyeringai lebar di hadapannya karena akhirnya mengenai sang pembawa pesan dari dewa. Enryu menaikkan tangannya untuk membenarkan posisi jaketnya yang sedikit merosot karena pukulan Urek yang diperkuat oleh shinsu tadi, mengusap-usapnya perlahan.
"Masih belum ada goresan" Enryu berkomentar dengan nada tenang, senyum merambat ke wajahnya yang tampak tak termakan usia sama sekali, "Walaupun kau berhasil karena aku sedang tidak fokus, aku tetap kagum dengan usahamu"
Kemudian 30 Bang merah langsung terbentuk di atas kepalanya.
"Tapi sayang sekali, hasilnya akan tetap sama"
Dan Urek tidak punya waktu untuk bereaksi saat semua Bang itu mengenainya dengan telak. Saking udah biasa terkena serangan seperti itu, Urek tidak ambruk seperti dulu sekali, walaupun dia masih suka tepar di lapangan berumput yang hancur oleh semua serangan mereka. Biasa, lelah dengan kehidupan//ga.
Enryu mendarat di sampingnya, mengambil posisi duduk bersila saat dia menepuk-nepuk bahu Urek, "Kerjamu bagus hari ini. Aku juga senang melihatmu lebih kalem karena kau sudah tak lagi mempunyai lawan bacot"
Urek memanyunkan mulutnya, "Iya nih, gak ada lawan bacot yang pas bagiku selain Phantaminum. Sebenernya tuh orang kemana sih? Udah berapa tahun dia ilang dari desa ini, Enryu? Puluhan tahun kah?"
Enryu mengangguk, "Ya, bahkan rumahnya sudah dimiliki oleh seorang penduduk desa. Karena segala benda kepemilikannya hilang tanpa jejak seperti itu, mereka tak masalah memberikan rumahnya pada orang lain"
"Lalu, bagaimana dengan rumah"nya"?"
Enryu melirik Urek dari sudut matanya. Tampaknya sejak Enryu berkata bahwa dia tak mendengar kabar apapun dari Arlene, Urek membuat kesimpulan sendiri mengenai Arlene, bahwa sesuatu telah terjadi padanya sehingga Enryu enggan menceritakannya pada orang lain.
Urek mungkin orangnya gak peka, tapi bukan berarti dia gak bisa mikir.
"Aku masih menjaganya" jawab Enryu setelah keheningan menggantung untuk beberapa saat di sekitar mereka, "Aku tak berniat pindah kesana, tapi aku memastikan bahwa rumahnya masih layak ditinggali dan bersih. Sebagai pengingat terakhir bagiku terhadap Arlene Grace"
"Jadi memang benar sesuatu telah terjadi padanya" gumam Urek.
"Benar, tapi aku tak ingin membicarakannya"
"Tak apa. Aku mengerti kok"
Hening lagi sesaat.
"Tumben"
"Enryu kejam ih!"
Tawa kecil terselip dari bibir sang surai merah. Urek terkadang bisa saja membuatnya tertawa dengan sikapnya itu, "Tapi aku serius. Tumben sekali kau bisa mengerti tentang hal seperti ini"
"Selain belajar tentang kekuatan, aku juga belajar kok soal perasaan orang" Urek menyeringai bangga, padahal masih tepar di tanah.
"Tumben"
"Plis berhenti bilang kata itu"
Enryu mendengus kecil, "Terserah kau, Urek" dia berdiri dari posisinya dan menoel-noel lengan Urek dengan ujung sepatunya, "Bangun dari situ. Bajumu akan penuh dengan tanah dan rumput nanti saat kau bangun"
"Kau mau kemana, Enryu?" Urek yang sudah kembali duduk bertanya saat dia melihat Enryu melangkah ke arah yang berlawanan dari desa.
"Aku akan menemui "dia" lagi. Dia memanggilku untuk menemuinya hari ini. Karena hari ini aku ada jadwal latihan denganmu, aku minta izin padanya untuk datang saat siang hari. Dengan matahari sudah naik tinggi di langit, aku harus pergi sekarang. Teruslah berlatih, Urek"
"Makasih buat latihannya ya, Enryu!"
"Sama-sama. Kita akan latihan sebulan lagi dari sekarang"
"Oke!"
~~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top