RaB. 5 : Biru

Mata biru itu.

"Namaku ... Ezra."

Mata Syerin terbelalak, tubuhnya yang gemetar perlahan turun dari tempat tidur. Syerin tidak berani menatap Ezra, kepalanya menunduk dan mulutnya menggumamkan sesuatu yang tidak dapat didengar oleh Ezra.

"Maaf...." Satu kata terdengar di telinga Ezra.

"Hm? Kenapa kau meminta maaf?"

Bulir-bulir air perlahan luruh dari kelopak mata Syerin. Ia mendongak, menatap mata biru itu sekali lagi. Melihat Ezra yang menatapnya bingung, seketika air mata itu semakin deras.

Dia jadi seperti ini karena aku.

"Aku minta maaf, Ezra ... Maafkan aku."

"Kenapa kau meminta maaf dan menangis, Syerin?" Raut wajah Ezra berubah panik.

"Kenapa ... Kenapa kau menolongku tadi?" Tangisan Syerin semakin deras.

Ezra mendekat, mencoba untuk menenangkan gadis itu. Namun Syerin malah mengangkat tangannya.

"Jangan mendekat, kau hanya akan celaka jika di dekatku," ucap Syerin ditengah tangisannya.

"Kau tidak memiliki kesalahan apapun padaku, Syerin. Lalu kenapa kau meminta maaf padaku?"

"Aku telah melakukan kesalahan," Syerin mencoba berbicara.

"Kesalahan? Apa yang kau maksud?"

Aku harus mengatakan yang sebenarnya.

Syerin berusaha keras mengendalikan diri dan menahan tangisannya.

"Akan kukatakan padamu kebenarannya."

"Kebenaran apa?"

"Tentang ... Mengapa kau bisa jadi seperti ini...."

Mendengar jawaban itu. Tiba-tiba Ezra menutup telinganya, tatapan matanya berubah takut, sama seperti saat Syerin mengetahui bahwa hantu di depannya adalah Ezra. Ia perlahan mundur ke arah jendela.

Ezra berseru, "Tidak! Kumohon jangan katakan itu!"

Syerin terdiam sejenak. "Kenapa?"

"Jangan, atau aku akan lenyap!" Ezra menjawab, masih dengan kepanikan yang sama.

"Aku tidak tau apa hubunganmu denganku. Jadi kumohon, tenangkan dirimu dan jangan katakan apapun tentang sesuatu yang menyebabkan aku menjadi hantu." Ezra sudah berada di ambang jendela, ingin bergegas meninggalkan tempat itu sebelum Syerin mengatakan sesuatu tentangnya.

Syerin terdiam. "Tenangkan dirimu, Syerin. Istrihatlah. Maaf, aku akan pergi sebentar."

Sebelum Ezra benar-benar pergi meninggalkan ambang pintu dan keluar dari kamar itu, ia menoleh sambil tersenyum tipis. "Aku yakin kau tidak memiliki kesalahan apapun padaku."

Kemudian ia pergi.

Dan seketika tangisan Syerin kembali pecah.

"Tidak, Ezra, kau salah."

*~*~*~*

Secercah cahaya perlahan masuk melalui kelopak mata Syerin yang terbuka. Gadis itu menatap langit-langit kamarnya, mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum ia terlelap. Kemudian menghela napas panjang setelah kembali mengingat semuanya.

Syerin duduk di tepi ranjang, kepalanya terasa berputar-putar.

Kemarin, terlalu banyak hal yang telah terjadi. Terlalu banyak kejutan.

Dan Syerin berharap, hari ini dia tidak akan mendapatkan kejutan apapun.

Ia beranjak dari kasurnya, menatap kaca. Pantulan dirinya menampakkan kedua matanya yang sembab dan sedikit bengkak. Ia teringat, kemarin, gadis itu terus menangis sampai terlelap.

Syerin langsung beranjak dari cermin untuk membersihkan diri. Setelah ia sudah selesai bersiap dengan seragam sekolahnya, ia kembali mengecek matanya di cermin.

Setidaknya tidak separah sebelumnya, pikirnya sembari berjalan menuju pintu keluar.

Syerin meletakkan tangannya di atas gagang pintu. Namun dia tidak membukanya dan malah menatap pintu polos di depannya. Syerin bertanya-tanya, jika ia membuka pintu ini, apa dia akan menemukan sesuatu atau seseorang?

Sekelebat harapan muncul di pikirannya, namun Syerin cepat-cepat menggeleng. Tidak, dia tidak boleh mengharapkan Ezra muncul di depannya.

Syerin menarik napas panjang dan mengembuskannya kasar. Dibukanya pintu itu, lalu tanpa pikir panjang ia langsung berjalan cepat ke depan sambil memejamkan matanya.

Saat ia membuka matanya, Syerin tak menemukan apapun.

"Sebenarnya apa yang aku harapkan?" Syerin terkekeh kecil sambil kembali melangkah pergi.

Syerin pergi, tanpa menyadari bahwa ia telah menembus sesuatu yang sedang berdiri di ambang pintu. Sesuatu yang sedang menatapnya sambil tersenyum miris.

"Sebenarnya apa yang membuatmu sangat merasa bersalah padaku?"

Kemudian, sosok itu menghilang.

*~*~*~*

"Hei, Syerin."

Syerin yang sedang melamun langsung terlonjak kaget saat mendengar seseorang memanggilnya. Ia mencari-cari asal suara tersebut, namun ia tidak menemukannya.

"Ah, siapa yang memanggilku?" Syerin berdecak kesal, lalu kembali melanjutkan perjalanannya.

Namun tiba-tiba sesuatu menghentikan jalannya. Syerin menunduk, ia menginjak suatu benda pipih berwarna perak. Sebuah pisau belati dengan berbagai ukiran indah di permukaannya.

Kenapa benda tajam seperti ini dibiarkan tergeletak?

Syerin mencoba mengambil belati itu, namun ia tidak bisa menyentuhnya. Dicobanya lagi, tetap saja, tangannya hanya terlihat seperti sedang menyentuh benda itu. Namun sebenarnya belati perak itu tidak bisa disentuhnya, transparan.

Setelah beberapa saat terjebak dalam penasaran akibat tangannya yang tak kunjung merasakan permukaan benda itu, Syerin akhirnya mengerti. Belati ini, bukanlah benda yang bisa disentuh oleh manusia.

Ini benda gaib.

Benda gaib ... tapi hantu mana yang ceroboh menjatuhkan benda ini? Mana ada hantu yang sengaja meninggalkan belati sebagus ini. Tapi ... benda ini terasa familiar. Pernah lihat dimana ya?

"Ah, belatiku!" Syerin menangkap suara yang berada di atasnya.

Ia mendongak. Betapa terkejutnya dia saat melihat sesosok hantu yang melayang tepat di atas kepalanya. Lalu, lebih mengejutkannya lagi, sosok itu adalah Ezra.

Seketika wajah Syerin berubah pucat. "K-kau!"

"Ah, sudah kuduga kau akan terkejut." Ezra meringis.

"A-apa yang kau lakukan di sini?"

"Membuntutimu, tentu saja." Ezra tersenyum lebar. "Ah, ya, ngomong-ngomong itu belati milikku."

Syerin kembali menatap benda perak di bawahnya. Ah, dia ingat sekarang. Belati ini adalah benda yang kemarin dipakai Ezra untuk menyelamatkannya dari hantu menyeramkan yang mengejarnya.

"Bisakah kau mengambilnya?"

Syerin menggeleng. "Manusia tidak bisa menyentuh benda gaib."

"Ah, begitu." Ezra mengangguk mengerti, kemudian turun dan mengambil belatinya. Di masukkannya lagi benda itu ke dalam sarung yang tergantung di pinggang celananya.

"Apa belati itu benar-benar bisa melenyapkan hantu?" Syerin bertanya.

"Ya, tentu saja. Tusukkan belati ini pada jantung sesosok hantu, maka dia akan lenyap," jawab Ezra tanpa ragu.

Syerin hanya ber-oh pelan sebelum ia mengecek jam dan berubah panik. "Ah, aku harus segera berangkat."

"Boleh aku ikut?"

"Tidak," Syerin menjawab langsung, tanpa ragu. Ia menatap manik mata Ezra sebelum akhirnya langsung melangkah pergi, meninggalkan laki-laki itu sendirian.

Ezra terdiam menatap kepergian Syerin. Ia meringis, padahal dia sudah menduga Syerin akan menjawab begitu, lalu untuk apa bertanya?

"Baiklah, aku tidak akan ikut." Ezra mengendikkan bahunya dan kemudian menghilang, lagi.

Sebenarnya Syerin bukannya melarang Ezra tanpa alasan. Tentu saja ada alasan kuat di balik itu semua, kalau tidak, mana mungkin dia bisa menjawab seyakin itu dalam waktu kurang dari tiga detik. Syerin sebenarnya takut akan banyaknya orang di sekolah yang membicarakan pasal penyebab kecelakaan Ezra kemarin.

Gadis itu takut, jika Ezra mengetahuinya, maka laki-laki itu akan lenyap.

Jika itu terjadi, maka Syerin tidak akan bisa memaafkan dirinya seumur hidup. Walaupun Ezra berkata bahwa itu bukan kesalahannya.

Dan Syerin berharap, Ezra akan mendengarkannya kali ini.

*~*~*~*

Dugaannya benar. Saat ini Syerin sedang melangkah menyusuri koridor sekolah yang biasanya terlihat beberapa siswa-siswi yang tengah asyik mengobrol. Lalu, seperti dugaannya, mereka membicarakan Ezra. Syerin berusaha tidak mendengarkan, namun telinganya yang terbuka lebar itu menggapai semua suara yang dapat dijangkaunya.

Ezra. Wajar saja jika banyak orang yang membicarakannya. Dia itu laki-laki yang bisa berbaur dengan semua orang. Laki-laki yang ramah.

Dan karena sikapnya yang ramah pada semua orang itu, Syerin menjadi lebih sulit menggapainya. Orang pendiam sepertinya tidak pantas jika disandingkan dengan Ezra. Tidak akan pernah pantas, sampai kapanpun.

Lamunan Syerin terhenti saat ia mendengar salah satu percakapan dua orang siswi, telinganya mencoba menggapai suara itu.

"Aku mendengar dari sahabatnya, kalau Ezra saat ini sedang koma."

Satu kalimat itu, telah sukses membuat Syerin berjalan cepat mendekati mereka. Tentu saja dua orang itu menatapnya dengan bingung, apalagi saat melihat raut wajahnya yang ambigu.

"Apa itu benar?" Tanya Syerin tiba-tiba setelah berdiri di hadapan mereka.

"Apanya?" Sahut salah satu dari mereka.

"Apa benar ... Ezra hanya koma?"

Mereka mengernyit bingung saat mendengar kata "hanya". 

"Hei, koma itu sama saja seperti sedang berada di ambang kematian! Bagaimana bisa kau berkata bahwa itu 'hanya' koma?" Hardik mereka tanpa menjawab pertanyaan Syerin.

Namun Syerin mengabaikan hardikan itu. Ia juga tidak peduli pertanyaannya tidak dibalas sebagaimana mestinya. Malah, sedikit senyuman muncul di wajahnya, membuat kedua murid di depannya bergidik.

Setidaknya, Ezra tidak mati.

"Yah, tentu saja dia bisa menyebut kata koma dengan kata 'hanya'," sebuah suara memecah senyuman Syerin bersamaan dengan lengan yang merangkul pundaknya.

Syerin menoleh, matanya bertemu dengan mata biru yang menatapnya intens. Sejenak Syerin tersentak karena mengira itu adalah Ezra. Namun saat menyadari bahwa mata itu menatapnya dengan tajam serta menusuk, Syerin sadar bahwa iris biru itu bukanlah milik Ezra.

"Itu karena ...," laki-laki itu melanjutkan kalimatnya, "gadis inilah penyebab Ezra menjadi koma."

Maka Syerin tersentak untuk yang kedua kalinya, begitupun dengan kedua murid perempuan di depannya yang kini menatap seram padanya.

Laki-laki itu masih menatap Syerin dengan tatapan tajam dan senyum penuh kebencian. "Aku tidak salah, kan?"

Syerin terdiam. Dia ingat orang ini.

"Pem-bu-nuh."

Dia Teo, sahabat Ezra. Si Mata Biru yang lain.

Bersambung.

(Sabtu, 28 Januari 2017)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top