RaB. 2 : Dia

Syerin duduk di tepi lapangan sekolah, menyesap teh dingin dalam gelas yang baru saja dibelinya di kantin. Ia menghela napas, kemudian menatap lapangan yang saat ini di ramaikan oleh siswa laki-laki yang sedang bermain basket bersama. Sementara para gadis bersorak-sorai mendukung tim pilihan mereka.

Hari ini kelas mereka mendapat giliran jadwal penjaskes. Sayangnya, guru di bidang ini sedang berhalangan hadir. Jadi, beginilah kegiatan mereka.

Tiba-tiba, sebuah benda berbentuk bundar berwarna oranye mengetuk sepatu Syerin perlahan, gadis itu menunduk, kemudian menatap para siswa laki-laki yang menatapnya sambil memberi isyarat agar Syerin melempar bola itu pada mereka.

"Ambil sendiri." Syerin menendang bola basket itu perlahan, membuatnya menggelinding beberapa sentimeter dan kemudian ia memalingkan wajahnya dari mereka.

Salah satu dari mereka mengendikkan bahu, kemudian melangkah maju dan mengambil benda tersebut. Ia menatap Syerin, yang masih terlihat tak acuh.

"Bola basket itu dilempar, bukan ditendang."

Seketika jantung Syerin berdetak lebih cepat.

Suara itu!

Syerin menolehkan kepalanya, di depannya berdiri Ezra yang menatapnya dengan dua alis terangkat. Syerin terdiam dengan wajah yang perlahan memanas.

Sebelum wajahnya memerah, Syerin membuang napasnya kasar dan kembali membuang wajah dari laki-laki itu. "Ya, ya, pergilah."

Dialah Ezra. Ezra yang Syerin kagumi selama 2 tahun lebih.

Syerin bersyukur, tahun ini dia dapat berada di dalam ruang kelas yang sama dengan Ezra. Ia dapat melihat laki-laki itu dari dekat, memperhatikan gerak-geriknya dengan leluasa.

Sayangnya, jarak mereka memang dekat. Namun Ezra masih tak pernah meliriknya, seakan-akan ia hanya sebuah bayangan yang tak pantas diacuhkan.

Sebenarnya bukan Ezra yang salah, Syerinlah yang salah karena tak pernah mencoba mendekati laki-laki itu. Membiarkan perasaannya menjadi rahasia dengan mengharapkan laki-laki itu yang akan datang padanya.

Sebuah harapan yang mustahil terwujud.

Tak lama setelah Ezra pergi, Lula datang menghampiri Syerin yang jantungnya masih berdetak tak karuan. "Kau ini kenapa sih?"

Syerin menoleh. "Maksudmu?"

"Melempar bola basket saja, apa susahnya?"

"Susah, karena itu merepotkan," jawab Syerin.

"Lalu..." Lula memajukan wajahnya, mendekati wajah Syerin. "Kenapa wajahmu memerah saat Ezra bicara padamu?"

"Hah? Ah, itu...."

"Kau suka padanya ya?"

"Tidak!" bantah Syerin, "Aku tidak suka padanya, sama sekali tidak. Wajahku memerah karena panas saja, mataharinya menyengat sekali."

Lula tertawa. "Ya, ya, aku hanya bercanda, Syerin."

Syerin hanya mengangguk.

"Lagipula, orang seperti dia yang ramah pada setiap orang, terlalu sulit untuk diraih."

"Yah, mungkin kau benar." Syerin kembali menyesap tehnya.

Memang sulit. Tapi Syerin menikmati setiap detik yang ia habiskan selama menjadi pengagum rahasia.

*~*~*~*

Hembusan angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya kala ia melangkah maju menuju rumah. Ezra menatap sekeliling, mencari sahabatnya yang sengaja ia tinggalkan saat mengikat sepatu. Laki-laki itu terkekeh kecil kemudian kembali melanjutkan langkahnya.

"Ezra!" Sebuah teriakan membuat Ezra berhenti melangkah.

"Hm?" Ezra menatap laki-laki berambut pirang di belakangnya dengan datar.

Laki-laki itu berlari mendekati Ezra dan secara tiba-tiba merangkul pundaknya, membuat Ezra tersentak dan maju beberapa langkah.

"Dasar kau, jangan tinggalkan aku seenaknya begitu!" ucapnya protes.

Ezra tertawa kecil. "Kau itu yang lambat, Teo."

Wajah Teo berubah cemberut. "Ya, ya, dasar kaki panjang."

"Kakiku ini normal, kakimu yang terlalu pendek."

"Hei! Kau—"

Ucapan Teo terpotong kala ia melihat secarik kertas yang meluncur dan mengetuk sepatu Ezra. Ezra menunduk, diambilnya kertas berwarna merah muda itu.

"Milik siapa ini?" Tanya Ezra.

"Mungkin kalau kau buka isinya, kau bisa tau itu milik siapa," usul Teo.

"Tapi rasanya tidak sopan jika aku membuka surat pribadi orang lain." Ezra menatap surat di depannya ragu.

"Tapi kita tidak akan tau jika tidak membukanya. Mungkin saja itu surat yang penting, kan?"

Ezra mengangguk pelan, dibukanya kertas tersebut dan membaca isinya.

Untuk kamu.

Aku tidak menyangka hari ini akan ada kejutan. Kejutan yang ada dari dirimu. Kau berbicara padaku setelah sekian lama. Yah, walaupun hanya sebuah teguran karena aku menendang bola basket. Tapi sungguh, aku senang sekali.

Ada yang bilang, kalau orang sepertimu sulit untuk diraih. Dia benar. Tapi aku tidak pernah memiliki niat untuk meraihmu, aku hanya akan memperhatikanmu dari kejauhan. Berharap kau akan melihatku juga, meskipun rasanya mustahil.

Tapi aku akan tetap menyukaimu, Arze.

Dariku, pengagum rahasiamu.

"Tidak ada namanya, tapi sepertinya ini milik perempuan," ucap Ezra.

"Tidak ada ya? Mungkin surat itu disimpan dalam tas dan terjatuh. Coba kau perhatikan, barangkali ada salah satu tas yang resletingnya terbuka." Teo memperhatikan satu-satu tas murid perempuan yang lewat.

Tiba-tiba ia berseru dan menunjuk salah satu tas, "Ah, itu dia! Tas yang warnanya merah!"

Ezra mengikuti arah jari telunjuk Teo, matanya mendapati sebuah tas berwarna merah yang salah satu resletingnya terbuka.

"Tunggu, sepertinya aku kenal dia. Tapi aku lupa namanya," Ezra berdecak.

"Kalau begitu, kejar saja!" Teo mendorong punggung Ezra tiba-tiba. Membuatnya mau tak mau mengejar gadis bertas merah itu.

Ezra berhenti berlari. "Hei, tas merah!"

Gadis yang dimaksud seketika berhenti berjalan, ia berbalik secara perlahan. Menatap tanya pada Ezra yang masih terengah-engah.

"Ini punyamu?" Ezra menunjukkan kertas berwarna merah muda di tangannya.

Gadis itu terdiam beberapa saat, mencoba mengingat-ingat. Kemudian tersentak kaget karena sadar bahwa itu miliknya.

Itu milik Syerin.

Ezra berjalan mendekat. "Kenapa diam saja? Ini punyamu kan?"

"Apa kau membacanya?"

"Hah?"

"Aku bertanya." Syerin menunjuk surat di tangan Ezra. "Apa kau membaca surat itu?"

Ezra terdiam, kemudian tersenyum canggung. "Em ... Yah, aku membacanya. Tapi apa benar ini milik—"

Suara hentakan kaki memotong ucapan Ezra tiba-tiba. Laki-laki itu terkejut saat melihat Syerin yang berlari meninggalkannya.

"Hei!" Ezra berlari mengejar gadis itu.

Meskipun begitu, Syerin masih tetap berlari kencang menjauhinya sambil memaki-maki dirinya sendiri.

"Sial, kenapa aku begitu ceroboh! Mau pasang muka apa aku nanti!"

Ezra masih tetap mengejar Syerin, namun pikirannya sibuk dengan bagian-bagian dalam surat yang ia baca.

Bola basket.

Arze.

Pengagum rahasia.

"Entah kenapa terasa familiar," gumam Ezra.

"Ah, kenapa dia terus berlari sih! Kenapa pula aku mengejarnya?"

"Bola basket itu dilempar, bukan ditendang."

Arze. Ezra.

Langkah kaki Ezra perlahan melambat.

Syerin!

"Tidak mungkin ...." Ezra menatap punggung gadis yang dikejarnya semakin menjauh.

Seketika laki-laki itu berseru, "Syerin, berhenti berlari!"

Syerin berhenti. Dengan canggung ia memutar tubuhnya, melihat Ezra yang kini sudah berhenti berlari.

"Surat ini ..." Ezra mengangkat benda yang digenggamnya. "Untukku, kan?"

"B-bukan kok."

"Jangan berbohong. Aku tau tadi pagi kau yang menendang bola basket itu," ucap Ezra, ia tersenyum miring.

"Ah, kalau itu ..." Syerin beralih memandang wajah Ezra ke sepatu yang dikenakan laki-laki itu.

Menatap sepatu yang saat ini sedang memijak sebuah aspal hitam.

Tunggu.

Aspal hitam?

Ezra menatap wajah canggung gadis yang berjarak beberapa meter darinya itu.

Namun entah kenapa, sedetik kemudian raut wajah Syerin berubah panik. Ia meneriakkan sesuatu, tapi Ezra tak bisa mendengarnya.

"Menjauh ... Sana ... Ezra!"

"Hah?"

Tepat pada saat itu pula, tiba-tiba ia merasakan hantaman luar biasa pada tubuhnya.

Dalam sedetik, ia terlempar jauh dari tempatnya berdiri. Suara tubuhnya yang beberapa kali menyentuh aspal terdengar nyaring.

Lalu, ia terbaring di atas aspal hitam.

Ada apa? Ezra ingin menanyakan itu.

Tapi ia tak bisa melakukannya, matanya berkunang-kunang, tubuhnya kebas, telinganya berdenging-denging, bahkan mulutnya tidak mampu membuka suara.

Perlahan, Ezra mencium bau anyir yang mengusik hidungnya.

Bau darah.

Serta kulitnya yang terasa panas akibat gesekan yang kuat.

Dan yang terakhir dilihatnya adalah wajah seorang gadis dengan rambut sebahu berwarna hitam, menatapnya dengan wajah memerah panik dan menahan tangis.

Gadis itu meneriakkan sesuatu, tapi Ezra tak bisa mendengarnya.

Setelah itu, semuanya gelap.

Bersambung.

(Sabtu, 14 Januari 2017)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top