RaB. 10 : Kejutan

"Hentikan, Syerin."

Ezra ... kenapa kau ada di sini?

Ezra memandang sayu pada Syerin yang teduduk lemas di lantai. Gunting di tangan gadis itu terlepas, sementara air matanya mengalir semakin deras. Syerin tidak tahu apa yang harus ia lakukan kali ini, kenapa Ezra datang di saat-saat seperti ini?

Kini semakin banyak orang-orang yang mengerumuni kelas Syerin, tak terkecuali Teo yang kini sedang mendecak sambil menggeleng-gelengkan kepala, seolah menyayangkan sikapnya kali ini. Namun, Syerin tak peduli, matanya tetap tertuju pada Ezra yang berada di antara kerumunan.

Syerin mengangkat tangannya, mulutnya terbuka, tapi tak ada satupun suara yang keluar dari sana. Suaranya sudah terlalu serak setelah lelah berteriak. Ia ingin memanggil Ezra, tapi tak bisa.

Alhasil, laki-laki itu kini menghilang, lagi, untuk yang kedua kalinya. Membuat Syerin kembali membisu dan terpaku.

Kau pasti sekarang membenciku, 'kan, Ezra?

"Tenanglah, Syerin, redakan emosimu." Kini Syerin mulai mendengar bujukan-bujukan dari orang-orang di kelasnya, ia bahkan juga mulai mengetahui bahwa orang-orang sedang membicarakan hal buruk tentangnya.

Perlahan, Syerin berdiri lalu mengusap pipinya yang basah dengan kasar. Ia menatap sinis pada orang-orang yang berbisik-bisik sambil memperhatikannya, apa mereka sedang memancingnya agar ia kembali mengamuk seperti tadi?

"Berhenti membicarakan orang lain, dasar tukang gosip," sindir Syerin dengan suara serak, sebelum akhirnya berlari meninggalkan ruangan kelas sambil sengaja menabrakkan diri pada bahu para 'penonton' dengan kasar.

Syerin terus berlari menuruni tangga, meskipun kini suara bel sudah berbunyi nyaring. Sejak melihat Ezra menghilang lagi, ia sudah memutuskan.

Bahwa saat ini, Syerin benar-benar ingin menjauhi keramaian.

Maka dia memilih perpustakaan.

Tatapan demi tatapan penasaran ia lewati begitu saja. Suara-suara bisikan diabaikannya. Syerin benar-benar merasa seakan kini ia sedang berlari menjauhi neraka dunia, dadanya sesak, matanya panas walau tak ada yang mengalir dari sana.

Kini Syerin telah sampai di perpustakaan. Ia berbohong dengan berkata bahwa dirinya sedang dihukum dan harus belajar di ruang penuh buku itu hingga jam pulang. Dan hebatnya penjaga perpustakaan percaya padanya. Mungkin itu karena saat mendengar suaranya yang serak dan matanya yang sembab, beliau mungkin berpikir bahwa Syerin baru pertama kali di hukum, sehingga ia merasa malu dan menangis tersedu-sedu.

Maka langsung saja Syerin mengambil salah satu buku dengan asal dan duduk di tempat yang paling jauh dari jangkauan pendengaran dan penglihatan Si Penjaga Perpustakaan. Gadis itu berusaha untuk membaca lembaran demi lembaran buku sejarah yang diambilnya, tapi keadaannya yang sedang lelah malah membuatnya menguap dan menutup matanya secara berangsur-angsur.

*~*~*~*

Selang satu jam kemudian, mata Syerin perlahan terbuka. Kepalanya bertumpu pada buku yang sedang terbuka. Saat menyadari bahwa punggungnya mulai pegal, Syerin mencoba untuk duduk.

"Kau sudah bangun." Terdengar sebuah suara menginterupsi sunyinya ruangan penuh buku itu.

Syerin menoleh pada sumber suara, seketika ia tercekat saat menyadari siapa orang yang bicara padanya itu.

"Ezra?"

"Halo," sapa Ezra, tanpa senyuman seperti biasanya.

"Kenapa kau ada di sini? Kemana kau kemarin? Aku mencarimu kemana-mana!" ucap Syerin hampir menjerit.

Mata Ezra perlahan sayu, ia membuang wajahnya dari Syerin. "Maaf Syerin, tapi aku tak bisa untuk terus di sampingmu."

Syerin tercekat, untuk yang kedua kalinya.

"Tapi kenapa, Ezra?" tanya Syerin dengan suara bergetar, "Semua orang sudah meninggalkanku, dan sekarang giliranmu?"

"Begitulah," manik mata biru milik Ezra yang biasanya berbinar berubah kelam, perlahan tubuh laki-laki itu berubah transparan, "aku kecewa padamu Syerin, tidak kusangka kaulah yang telah membuatku jadi seperti ini."

Syerin menutup mulutnya tak percaya.

Jika Ezra tahu yang sebenarnya, maka ia akan....

Seketika, dalam satu kedipan mata, tubuh Ezra pecah berkeping-keping di hadapan Syerin. Syerin menjerit, menangkap kepingan-kepingan bercahaya yang berserakan di lantai. Pandangannya mengabur disertai dengan deru napasnya yang memanas.

Lagi-lagi, Syerin menangis.

Lagi-lagi, ia kehilangan.

"Tidak, Ezra!" Syerin menjerit kuat disertai tubuhnya yang seketika ambruk ke lantai. Ia meringis dan memegang kepalanya yang terasa seperti sedang dihantam oleh palu besi.

Syerin membuka matanya, satu bulir air mata mengalir dari kedua matanya. Ia kemudian mengerjap beberapa kali, dan menyadari bahwa ia baru terbangun dari tidurnya.

"Hanya mimpi?" Syerin berbisik parau sambil mencoba duduk.

Hingga akhirnya ia menyadari, bahwa seseorang sedang duduk manis di depannya. Menatapnya dengan mata biru yang berbinar dan senyuman khasnya.

"Halo, Syerin," sapa Ezra sambil tersenyum.

Syerin membisu, matanya menatap lekat pada manik biru Ezra. Perlahan tangan Syerin terangkat, mencoba untuk menyentuh laki-laki di depannya. Namun, Ezra seketika mundur menjauhi tangannya.

"Jangan menyentuhku."

"Kenapa...?" Syerin bertanya dengan suara bergetar, "apa kau akan melakukan hal yang sama seperti apa yang ada di mimpiku?"

Ezra menggeleng. "Aku tidak tahu apa yang ada di mimpimu. Aku ... aku hanya takut tanganmu akan menembus tubuhku."

Syerin hanya bisa menatap sayu pada Ezra yang kini tertunduk. Ia sedih, sangat sedih saat melihat keadaan Ezra, tapi air matanya tak lagi bisa mengalir. "Maafkan aku."

"Tidak, ini bukan salahmu."

"Itu salahku."

Ezra mendongak. "Jadi maksudmu ... yang mereka katakan itu benar? Jangan berbohong, Syerin, aku bahkan melihatmu menyangkal perkataan mereka saat di kelas tadi."

Syerin tertunduk, matanya terpejam. "Lalu bagaimana jika yang kukatakan saat ini adalah jujur, sementara yang di kelas tadi adalah kebohongan?"

"Aku tidak akan percaya," balas Ezra.

Syerin mendengus. "Omong kosong, kau pasti akan sangat kecewa, lalu meninggalkanku begitu saja seperti apa yang terjadi sebelumnya."

Beberapa saat keheningan menyelimuti mereka berdua. Syerin tersenyum miring, ia sudah menduga hal ini akan terjadi.

"Baiklah, jika kau ingin pergi sekarang, silakan. Aku tidak akan melarangmu, lagipula, siapa yang mau berteman denganku yang—"

"Aku tidak akan meninggalkanmu, aku berjanji."

"Omong kosong."

"Aku sudah berjanji, camkan itu."

Syerin mendongak, menatap Ezra yang kini menatapnya serius dengan pandangan tak percaya.

"Aku tahu kau bukan penyebabnya. Lagipula jika memang yang mereka katakan benar, aku seharusnya sudah lenyap sejak tadi. Kau tahu, sepanjang perjalanan mereka berkata bahwa kau telah membunuhku," ucap Ezra sambil tertawa kecil.

"Aku tak percaya, bagaimana bisa manusia yang takut dengan wujud asli hantu sepertimu bisa menjadi seorang pembunuh?" Ezra menggeleng-gelengkan kepalanya.

Namun Syerin tak tertawa sama sekali. "Tertawa saja terus. Kau bahkan tidak tahu aku sampai ingin mati rasanya saat mereka semua membicarakanku seperti itu."

"Tidak boleh, kau harus tetap sayang nyawa." Ezra menatap tajam pada Syerin.

"Jadi, sampai kapan kau akan mempertahankan janjimu itu?" Tanya Syerin.

Ezra diam sesaat, kemudian ia tersenyum. "Sampai waktuku telah habis."

Syerin menautkan kedua alisnya. "Waktu apa maksudmu?"

"Aku ini hantu. Mungkin saja suatu saat aku akan lenyap dari dunia ini, 'kan?" Balas Ezra sambil terkekeh.

"Itu tidak lucu sama sekali, jangan terkekeh, Ezra." Syerin membuang wajahnya.

"Kau ini sinis sekali, Syerin." Ezra tersenyum masam, yang hanya dibalas Syerin dengan tatapan datar.

Tiba-tiba, suara bel yang berbunyi nyaring membuat mereka berdua seketika tersentak. Syerin berdiri, mengambil buku sejarah yang ada di atas meja.

"Sudah waktunya pulang, aku akan mengambil tasku di kelas. Kau pulang saja," perintah Syerin.

"Oke," Ezra mengangguk, "cepatlah pulang, aku akan menunggumu."

Syerin hanya membalas dengan senyuman tipis dan anggukan kecil, kemudian berjalan meninggalkan Ezra yang masih menatapnya lekat. Jujur saja, sebenarnya ia ingin tetap berada di perpustakaan bersama laki-laki itu.

Karena, sesuai dugaannya, semakin banyak orang-orang yang membicarakan dirinya. Yah, meski sebenarnya Syerin sudah tidak peduli lagi.

Tiba-tiba, seseorang menyentuh pundak Syerin, membuat gadis itu berbalik dan menyadari bahwa dua orang siswi sedang menatapnya cemas.

"Ada apa?" Tanya Syerin dengan tatapan datarnya.

"Apa kau baik-baik saja, Syerin?" Kedua siswi itu mengenggam tangannya. Namun itu malah membuat Syerin menatap tajam pada mereka.

Syerin tersenyum miring lalu melepas genggaman mereka dengan kasar. "Hah, sandiwara apa lagi ini?"

"Kami tidak bersandiwara, sungguh—"

"Pembohong!" hardik Syerin, kedua alisnya tertaut, "kalian pikir aku akan percaya? Maaf saja, tidak ada satupun diantara kalian yang bisa kupercaya."

"Jadi, tidak usah sok mengasihaniku. Aku benci itu," ucap Syerin sebelum akhirnya meninggalkan mereka begitu saja.

Di sisi lain, kedua siswi itu kini masih menatapnya cemas. Mereka saling menatap, lalu menggeleng pelan.

"Sungguh, aku tidak bermaksud untuk membuatnya marah," ucap salah satu dari mereka.

Yang lainnya hanya bisa tersenyum tipis dan menghela napas pasrah. "Itu bukan salahnya, wajar saja jika ia sulit percaya pada kita setelah semua yang menimpanya.

"Kuharap, ia memiliki seseorang yang bisa menemaninya melalui kejadian seperti tadi."

*~*~*~*

"Kau sudah datang," ucap Ezra saat melihat Syerin yang sedang membuka pintu pagar.

Syerin tersenyum, ia berjalan mendekati Ezra yang kini berdiri di depan pintu rumahnya. Setelah dirinya berdiri tepat di depan laki-laki itu, Syerin menarik napas panjang.

Lalu berkata, "Ezra, aku ada permintaan."

Ezra menaikkan kedua alisnya. "Apa?"

"Jangan menemuiku sampai tengah malam nanti."

Hening.

"Hah?"

Senyum Syerin berubah menjadi cengiran, membuat Ezra tertegun beberapa saat kemudian berdeham canggung.

"Kenapa kau menyuruhku—"

"Sudahlah, turuti saja!" Perintah Syerin sebelum berjalan memasuki rumahnya dan menutup pintu begitu saja, meningalkan Ezra yang masih bingung dengan perintahnya.

*~*~*~*

"Ck, aku bosan sekali!" Decak Ezra, "apa yang sebenarnya direncanakan oleh gadis itu?"

Sesuai dengan apa yang Syerin perintahkan, Ezra kini duduk termangu di atas pohon sambil menatap langit senja yang kini menghadirkan semburat oranye miliknya dengan matahari yang perlahan tenggelam.

Ezra memejamkan matanya beberapa saat, kemudian membukanya dan kembali berdecak sebal. "Kalau aku duduk di sini terus, aku benar-benar merasa menjadi seorang hantu."

"Apa pohon ini tidak ada penunggunya, ya?" Gumam Ezra sembari menatap pohon rimbun yang ia duduki dari atas ke bawah.

Berjam-jam ia hanya bisa melamun di atas pohon itu. Matanya menatap bulan yang perlahan menggantikan matahari dan naik untuk menghiasi langit. Ia terus mengikuti gerakan bulan berbentuk sabit itu hingga akhirnya tinggal lima belas menit lagi sebelun tengah malam.

"Ah, ternyata benar, ada hantu di sini." Sebuah suara membuat Ezra menunduk, matanya menangkap dua anak kecil yang sedang menatapnya hati-hati.

"Hantu itu melihat kita! Dia melihat kita!" Jerit salah satu dari mereka—seorang anak perempuan dengan rambut yang dikuncir dua.

Sementara anak lainnya—yang merupakan seorang anak laki-laki—merangkul bahu gadis kecil itu dengan satu tangannya. "Tenanglah, ada aku di sini."

Membuat Ezra seketika memandang mereka dengan tatapan jijik.

Menggelikan, bemesraan di depan hantu, entah sudah berapa orang yang datang ke sini untuk melihat penampakanku, batin Ezra sambil mendengus sebal.

Namun ekspresi kesalnya kini tergantikan oleh senyuman lebar saat melihat bulan sabit yang sudah berada tepat di atasnya.

Dengan cepat laki-laki itu melesat pergi meninggalkan pohon rimbun serta kedua anak kecil yang kini menjerit kuat karena terkejut.

Tidak perlu waktu lama, dalam menit kesepuluh ia kini sudah duduk tepat di ambang jendela kamar teman manusianya itu. Dan seketika senyuman Ezra kembali mengembang saat melihat Syerin yang kini sedang terlelap dengan wajah polosnya.

"Oh, jadi aku menunggu sampai tengah malam hanya untuk menunggumu tidur, begitu?" Tanya Ezra yang kini sudah berdiri di samping kasur. Udara malam perlahan masuk melalui jendela, membuat rambutnya berkibar pelan diterpa angin.

"Tidak kok, aku juga sedang menunggumu."

Ezra tersentak kaget, seketika ia berbalik. Namun hal itu malah membuatnya semakin terkejut karena tiba-tiba seseorang memeluknya sangat erat. Keseimbangan laki-laki itu perlahan runtuh, namun ia dengan sigap mundur beberapa langkah untuk tetap berdiri.

Suara tawa di sampingnya membuat laki-laki itu kembali tersadar apa yang terjadi. Ezra ingin menoleh untuk melihat siapa yang memeluknya, akan tetapi hal itu diurungkannya saat ia tanpa sadar menunduk.

Orang—atau hantu—yang memeluknya, memakai pakaian yang sama dengan manusia yang kini sedang tidur terlelap di atas kasur.

Dan yang lebih hebatnya lagi, Ezra baru sadar bahwa suara tawa yang didengarnya tadi sama dengan milik manusia yang sedang tidur itu.

Tunggu, apa dia benar-benar sedang tidur?

"Kau ... Syerin?" Tanya Ezra pelan, nyaris berbisik.

Semoga bukan, semoga bukan, semoga bukan.

"Tentu saja aku Syerin! Kau pikir siapa, hah?"

Seketika Ezra terbelalak, jantungnya berdegup kencang. "Apa kau gila?"

"Yah, mungkin aku memang gila," balas Syerin sambil terkekeh, "bagaimana, kau suka dengan kejutanku?"

"Jangan bercanda!" Ezra melepas pelukan Syerin dengan paksa, bukannya senang, wajah Ezra benar-benar terlihat marah. Wajahnya yang pucat semakin pucat, sementara kedua alisnya tertaut.

"Untuk apa aku bercanda, Ezra?"

"Sudah kubilang padamu untuk menyayangi nyawamu!" Ezra mengguncang bahu Syerin, "lalu kenapa sekarang kau malah bunuh diri, hah?"

Syerin tercekat, matanya terpaku pada Ezra yang menatapnya tajam. Keheningan kini menyelimuti mereka, suara yang ada hanyalah desauan angin yang masih berusaha memasuki kamar itu.

Namun tiba-tiba Syerin tertawa sampai bahunya terguncang, membuat rahang Ezra semakin mengeras. Apa gadis ini pikir nyawa adalah sebuah candaan?

Untuk kedua kalinya, secara tiba-tiba Syerin memeluk Ezra. Namun kali ini laki-laki itu tak mencoba untuk melepaskannya.

"Kau pikir aku bunuh diri, hah?" tanya Syerin, "dasar bodoh, ini namanya astral projection."

"Aku tidak akan mati hanya dengan melakukan ini, Ezra. Aku tidak sebodoh itu untuk mengorbankan nyawaku."

Namun Ezra tak membalas perkataannya.

Syerin mendengus. "Kau tahu, berhari-hari aku melatih diriku untuk melakukan hal sesulit ini. Tidak bisakan kau menghargai kejutan yang kuberikan padamu?"

"Kukira kau bodoh," gumam Ezra.

"Hah?"

Syerin berpikir bahwa Ezra akan melepaskan pelukannya lagi, dan meninggalkan dirinya seperti sebelumnya. Namun dugaannya salah, laki-laki itu secara tiba-tiba membalas pelukan Syerin, bahkan lebih erat dari gadis itu. Ia tertawa lega, wajahnya yang sebelumnya sangat pucat kini kembali normal.

"Syukurlah ... aku senang kau baik-baik saja, Syerin."

Bersambung.

Author Note :

Wew, 2100+ kata!
Sepertinya ini chapter terpanjang di RaB.
Maaf karena update yang terlalu lama, tapi kuharap chapter ini bisa membuat kalian puas, ya :D

FYI, Astral Projection atau juga bisa disebut Meraga sukma adalah suatu keadaan di mana jiwa kita melakukan perjalanan sendiri ke tempat lain, terpisah dari tubuh kita (copas google wkwk). Selebihnya, silakan cari sendiri sama mbah ya, hohoho.

Okedeh, itu aja, See you next chapter, mwah!

(Sabtu, 25 Maret 2017)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top