RaB. 1 : Hujan
Tangannya menari-nari di atas secarik kertas dengan sebuah pena yang di genggamnya. Matanya mengerling kesana-kemari, menatap awas kepada siapapun yang mencoba penasaran dengan sesuatu yang ditulisnya.
Seakan-akan tulisannya itu adalah sebuah aib memalukan yang tidak boleh diketahui siapapun.
Selesai. Ia menghela napas lega, dibacanya kembali untaian kata yang ia rancang khusus untuk seseorang.
Untuk kamu.
Kulihat sejak kau menginjakkan kaki di sekolah, bibirmu itu terus tersenyum. Bahkan sampai saat ini, aku masih bisa melihat senyummu untuk para temanmu itu.
Aku bertanya-tanya, suatu saat, bisakah aku menjadi penyebab dari seulas senyum di wajahmu itu?
Dariku, pengagum rahasiamu.
Dia tersenyum, diselipkannya anak rambut yang sejak tadi mengganggu mata ke belakang telinga, ia lalu melipat kertas berwarna merah muda yang ada di tangannya. Gadis itu memasukkan surat buatannya ke dalam tas.
Tidak, dia tidak akan memasukkan surat itu ke dalam loker si laki-laki yang dia sukai. Ia tidak seperti teman-temannya yang juga menjadi seorang pengagum rahasia. Gadis bersurai hitam ini tidak seberani itu, hanya dia yang tau isi surat ini, dan itu sudah cukup.
"Kau sedang apa, Rin?" Sebuah suara dengan nada bertanya menginterupsi senyum tipis gadis itu.
"Ah, t-tidak, aku ... Aku hanya sedang menulis ... Surat," Syerin-gadis penulis surat tadi-menjawab gugup, dipeluklah tas merahnya itu untuk menghindari kemungkinan bahwa temannya akan curiga dan kemudian membongkar tas miliknya seenaknya.
"Surat?" Si Penanya maju selangkah, mendongak dan mengintip sebuah surat yang berada di dalam tas merah itu.
"Surat untuk siapa?"
"Bukan, ini bukan untuk siapa-siapa," Jawab Syerin sambil menggeleng, "sudahlah Lula, jangan mengintip terus."
Lula memundurkan kepalanya, bahunya mengendik tak acuh dan mengatakan, "Oke, terserah," lalu melangkah pergi.
Syerin menghela napas lega. Diintipnya kembali surat berwarna merah muda itu.
Semuanya aman, batinnya.
Sudah nyaris 3 tahun ia menyukai laki-laki itu. Semua yang ada pada dirinya, ia menyukainya. Tidak ada yang bisa menggantikan posisinya, tidak ada, dan tidak akan ada.
Itu karena Syerin menemukannya disaat dirinya terpuruk.
Klise.
*~*~*~*
Ingatan itu kembali lagi. Saat itu, sekitar dua setengah tahun yang lalu, Syerin tak pernah menyangka. Bahwa ia telah dikhianati oleh sahabat lamanya, dikhianati oleh tiga orang sekaligus.
Betapa menyakitkannya.
"Bukankah kami tidak mengundangmu?"
"Hah? Apa maksudmu?" Syerin mengerutkan dahinya.
"Siapa yang mengundangmu kesini, Erin?" Salah satu di antara ketiga sahabatnya itu beranjak dari kursi cafe. Menatap tajam ke arah Syerin.
"Bukankah kau sendiri yang mengundangku ke sini? Lihat ini, kau mengirim pesan padaku!" Syerin—yang akrab disebut Erin oleh mereka bertiga—menyodorkan alat serbaguna berbentuk persegi panjang miliknya dengan penuh emosi.
Syerin benar, disana terpampang jelas sebuah pesan elektronik dari Tara untuknya. Bagaimana bisa gadis itu lupa, padahal pesan itu sampai padanya beberapa jam yang lalu?
"Ah, astaga." Tara menutup mulutnya, wajahnya terlihat terkejut. "Maaf, aku salah kirim."
Tubuh Syerin mundur selangkah. "Apa? Lalu apa yang kalian lakukan disini? Kenapa kalian bertiga tidak mengajakku?"
"Memangnya kau siapa kami?" Perempuan lainnya—Fera—ikut berdiri. Matanya seakan memberikan tatapan megejek ke arah Syerin yang masih mencerna semua kalimat darinya.
Syerin tersenyum kaku. "Apa-apaan? Aku ini kan sahabat kalian."
"Oh ayolah, apa sampai saat ini kau masih belum sadar?" balas yang lainnya, "kau itu hanya batu pijakan bagi kami selama di sekolah."
"Ya, dia benar. Kau itu hanya batu pijakan agar kami bisa naik ke posisi tertinggi di sekolah," sambung Fera dengan senyum menghina.
Kaki Syerin lagi-lagi melangkah mundur satu kali. "Jadi selama ini aku hanya dimanfaatkan?"
"Benar! Tidak kusangka ternyata kau cepat tanggap," jawab Tara sambil bertepuk tangan, "kami sebenarnya hanya butuh otakmu yang lumayan pintar."
"Tapi sayangnya bulan depan nanti otakmu itu sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi karena kita beda sekolah." Fera tertawa kecil, diikuti oleh kedua sahabatnya yang lain.
"Jadi, karena kau sudah tidak bermanfaat, kau boleh pergi dari kehidupan kami," Fera melanjutkan kalimatnya, "dan jangan datang-datang lagi."
"Oh ya, satu lagi. Terima kasih karena sudah menjadi anak polos yang berguna."
"Kami jadi murid terpintar itu karenamu. Terima kasih, ya."
Bola mata Syerin terasa panas. Ia ingin lari secepatnya dari tempat itu. Tubuhnya spontan mundur beberapa langkah, bersiap pergi meninggalkan cafe yang terasa sesak itu.
Namun sebelum itu, tangan lentiknya mendarat mulus di pipi Fera yang mencoba untuk mendekatinya, menciptakan sebuah tamparan yang kuat.
"Kau!" Fera ingin membalas tamparan Syerin, namun segera ditepis kasar olehnya.
"Kuharap kau tidak akan melupakan tamparan itu," ucap Syerin sebelum berlari meninggalkan mereka bertiga dengan air mata yang mulai meluncur dari tempatnya.
Tiba-tiba, titik-titik air hujan yang sebelumnya hanya berupa gerimis, berubah menjadi deras setelah Syerin berhasil melewati pintu keluar.
Syerin terus berlari menjauhi cafe di belakangnya, sementara ketiga sahabatnya hanya menatap sinis ke arahnya sambil terkekeh.
Di balik tangisannya, ia tersenyum kecut. Kenapa hujan selalu mendatanginya di saat yang tepat?
Syerin menyukai hujan, hujan selalu mengerti dirinya.
Hujan menghapus segalanya, termasuk air matanya. Hujan menghapus keramaian jalanan, membuat Syerin leluasa berlari dibawah titik-titik air yang menusuk kulit. Hujan bahkan menghapus suara tangisan gadis itu dengan suara nyaringnya.
Jahat! mereka jahat sekali, batin Syerin berteriak kesal.
Belum pernah ia merasa sesakit ini. Bodoh sekali, mempercayai sahabat melebihi dirinya sendiri.
Lalu sekarang? Ia dikhianati.
Ternyata rasanya seperti ini, Syerin tersenyum pedih saat kembali mengingat kalimat kejam dari mulut sahabat-sahabatnya.
Ralat, mantan sahabat-sahabatnya.
Tiba-tiba Syerin berhenti berlari, suara sepatu berdecit terdengar, begesekan dengan aspal hitam di bawahnya
Nyaris saja ia menabrak seseorang jika gadis itu tidak mendongakkan kepalanya dan mengerem langkah kakinya.
"Ah, maaf," ucap mereka berdua spontan.
Di sinilah mereka berdua bertemu, di bawah naungan hujan yang penuh kejutan dan rahasia. Awal mula dari rasa suka yang tumbuh di hati Syerin.
Klise.
Syerin memejamkan matanya, membuyarkan kenangan yang berkesan sekaligus menyakitkan itu.
Sejak kejadian dirinya dengan mantan sahabatnya itu, Syerin tak pernah lagi mencoba untuk mempercayai orang lain. Sudah cukup sekali saja ia dikhianati, tidak ada kali lainnya lagi. Pada akhirnya, Syerin hanya percaya pada dirinya sendiri.
Syerin ingin percaya pada orang lain, tapi dia begitu takut. Jika kejadian itu terulang lagi, apa yang akan terjadi padanya?
Tidak akan ada lagi yang namanya sahabat. Teman, baginya hanyalah seseorang yang datang dan pergi begitu saja.
"Di dunia ini, tidak ada yang bisa dipercaya selain diri sendiri," gumam Syerin.
Semua orang bisa saja berkhianat.
Tanpa terkecuali dirinya sendiri.
Bersambung.
(Jum'at, 13 Januari 2017)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top