✦-𝐑𝐚𝐢𝐧-✧

Pemuda itu tak pernah tahu, apa yang membuatnya begitu menyukai setiap makanan atau minuman berbahan dasar strawberry? Atau tentang dirinya yang menyukai buku dengan judul Sky And Rain. Buku dengan cerita yang cukup klise, dimana menceritakan seorang gadis sakit-sakitan yang sedang jatuh cinta dan berakhir mati. Sudah sering ditemui 'kan?

Izaya, mengacak rambutnya gusar. Ia tidak tahu sudah berapa kali memimpikan hal yang sama. Dimimpinya dia melihat seorang gadis dengan Surai berwarna dark blue, dan mata heterokom dark blue-navy blue.

Yang ia lihat dalam mimpi hanya gadis itu sedang memegang sebuah es krim batangan sembari mengatakan, "Kenapa? Karena rasanya selalu membuatku candu, sama halnya denganku yang selalu candu pada dirimu."

Sepenggal kalimat itu selalu berhasil membuat Izaya terbangun dengan pipi merona, kemudian merutuk diri sendiri yang terlihat konyol. Jika Shinra mendengar ceritanya bisa saja dokter ilegal itu akan tertawa terbahak-bahak, seorang teman yang dia kenal begitu apatis dan hanya peduli dengan rencananya bisa tersipu malu karena sepenggal mimpi singkat. Membayangkannya saja sudah terasa aneh.

Pemuda itu bersenandung ringan, hari ini ia sudah cukup membuat masalah. Membuat Shizuo naik darah dan berakhir bermain kejar-kejaran layaknya kucing dan tikus seakan sudah menjadi kegiatan sehari-hari baginya. Pria itu biasanya akan melempari Izaya dengan Bandung machine, ataupun mobil-mobil yang tak sengaja ia temukan. Izaya tak takut sedikitpun, ia yakin dengan kelincahannya sendiri.

Izaya memutar kenop pintu, hal pertama yang ditangkap netranya adalah ruangan berantakan menjadi begitu rapi dan bersih. Sebenarnya ruangan itu tidak begitu berantakan, hanya bekas catur dan shogi yang ia atur acak masih berada di atas meja, dan buku-buku bekas dia kerja tadi pagi masih tergeletak asal pada meja kerjanya.

Matanya berkedip beberapa kali saat melihat seorang gadis sedang merapikan ruangannya. Bukan, itu bukan seorang gadis, gerakannya terlalu kaku. Terlihat seperti robot, tapi luarnya sama halnya dengan manusia biasa.

Wajahnya tak asing, ia tahu betul itu. Rambut dan mata yang sudah dia hapal, sama seperti di dalam mimpinya.

"Kamu 'kan?"

"Oh, Orihara-san, ingin aku buatkan kopi?"

Izaya hanya mengangguk, ia masih cukup bingung. Sekarang, sebuah robot berperawakan layaknya manusia berada di dalam rumahnya. Jangan pernah berpikir bahwa pemuda dengan jaket berbulunya itu bodoh, satu kota Ikebukuropun bisa dia manipulasi. Menjadi informan itu sangat menguntungkan baginya, selain uang yang cukup besar, dia juga bisa melakukan rencananya dengan mulus, sekaligus melihat reaksi tiap manusia ketika mengalami kejadian dari bagian rencana miliknya.

Izaya menyukai manusia, setiap orang yang dekat dengannya tahu itu. Jika ditanya kenapa, dia akan menjawab, "Aku suka reaksi mereka. Reaksi saat mengetahui hal baru, terutama reaksi saat melihat hal di luar nalar manusia."

Gadis robot itu menaruh secangkir kopi di atas meja tamu, kemudian ikut duduk pada sofa. Izaya yang sedang bersandar pada sofa mulai mengalihkan atensinya ke arah sang gadis robot.

"Siapa yang memerintahkanmu?" tanyanya.

Gadis robot itu hanya tersenyum, "Aku tidak bisa memberitahumu sekarang."

Suaranya lembut, terdengar layaknya manusia biasa. Mungkin, suara itu memang sudah diatur dan direkam sejak awal. Entah kenapa deretan film mulai muncul di pikiran Izaya, seperti terputar scenario ringan saat gadis dalam mimpinya menyerukan namanya. Suara yang membuat pemuda itu merasakan perasaan rindu.

Ia menghiraukan sederet scenario yang muncul untuk sesaat tadi.

"Tujuan kalian?" Sebenarnya Izaya bisa mencari tahu sendiri, tapi reaksi awal robot tersebut membuatnya memilih untuk menanyakan saja.

"Membuatmu ingat apa yang telah kamu lupakan. Kamu ingin tahu tentang mimpimu 'kan?"

Izaya menyeringai, mimpi itu memang selalu membuat ia kesal tiap malam. Mengalami mimpi yang sama tanpa tahu sedikitpun artinya, membuat dia begitu penasaran. Dirinya ingin tahu kenapa ia bisa tersipu malu hanya karena mimpi singkat?

"Caranya?" Pemuda itu meletakkan gelas kopinya ke atas piring.

"Tidak banyak, kamu hanya perlu berkencan denganku sehari."

Ia menyeringai lagi, robot ini pintar. Terlalu pintar malahan. Pemuda itu tidak begitu kaget, mengingat kota yang dia tinggali juga cukup aneh. Dullahan, pria yang bisa mengangkat barang melebihi berat tubuhnya, geng-geng warna, dan mafia, itu semua sudah menjadi hal lumrah di sini. Robot cerdas seperti yang ia lihat sekarang juga bisa saja terjadi.

"Baiklah, aku cukup risih dengan mimpi singkat namun memberi kesan lebih saat aku terbangun. Memuakkan, padahal aku tak kenal dia siapa."

Robot itu tersenyum, "Untuk nama, silahkan panggil aku Rin."

o0o

"Kenapa ke perpustakaan? Aku kira kamu akan mengajak ke taman bermain dan semacamnya."

Izaya sejak tadi mengekori robot itu, sebenarnya pemuda itu sangat malas untuk melakukan semua ini. Namun, rasa penasarannya sudah mengalahkan semua perasaan yang ada.

"Aku hanya mengikuti apa yang sudah dirancang untukku sejak awal."

Robot itu mengambil sebuah buku, kemudian pergi duduk ke meja yang tepat berada di hadapan jendela. Izaya juga ikut mengambil sebuah buku yang menurutnya menarik, lalu ikut duduk tepat di samping Rin.

Angin berhembus ringan, membuat helaian benang yang di bentuk sedemikian rupa agar mirip dengan rambut asli mulai terhembus ringan. Rin, robot itu menyelipkan helaian rambutnya pada telinga.

Izaya mulai mengalihkan netranya ke arah Rin sejak angin berhembus, dirinya seakan tak bisa mengalihkan perhatian sedikitpun dari robot itu. Setiap gerakan sederhana yang dilakukannya membuat tubuh sang pemuda diselimuti rasa rindu, kejadian yang baru pertama kali ia lihat seakan sudah tak asing lagi baginya.

Izaya sangat rindu, terutama dengan scenario yang mulai berputar di otaknya, mengajak untuk mengingat apa yang harus ia ingat. Termasuk tentang dia yang begitu mementingkan harga diri.

Mereka sekarang akan menuju tempat selanjutnya, mungkin. Mengingat bahwa robot di hadapannya ini tidak mengatakan apapun, sekarang Izaya benar-benar telihat layaknya bodyguard dan majikannya.

Mood Izaya mulai agak buruk sejak otaknya mulai mengingat apa yang telah dia lupakan. Pemuda itu sejak tadi merutuki dirinya dimasa lalu, terlalu tsundere dan baginya sangat menggelikan.

Rintikan hujan mulai terdengar, sangat lebat sepertinya. Kepala Rin mendongak ke atas, melihat butiran air yang berjatuhan. Robot itu melangkah ke luar perpustakaan, membiarkan air hujan membasahi dirinya. Dia tak akan rusak, tubuhnya telah diatur khusus untuk keadaan seperti ini. Sesuai dengan rencana yang telah terpasang pada memorinya.

Izaya hanya mengernyitkan alis, pemuda itu tahu Rin pasti sudah di rancang untuk hal seperti ini. Pemuda itu sebenarnya enggan untuk ikut membasahi tubuhnya. Tetapi, ia ingin ingat semuanya. Termasuk nama sang gadis.

"Orihara-san kamu ingin tahu 'kan?" Suara yang ia ingat dengan samar mulai terdengar lagi.

"Panggil aku seperti dulu." Izaya tidak tahu, tapi pita suaranya seperti mengatakan itu dengan sendirinya.

Rin menoleh ke belakang, kemudian tersenyum lembut.

"Izaya." Ia membalikkan tubuhnya menghadap pemuda di belakangnya.

Izaya hanya diam, tubuhnya yang mulai basah tak ia hiraukan.

"Aku suka hujan. Namun, aku juga membencinya." Rin menggenggam tangannya di belakang badan. Tersenyum lembut, seperti yang ada dalam memorinya.

Perlahan, ingatan yang terlupakan itu mulai kembali. Membuat kepalanya terasa sakit. Kehilangan gadis bernama Rin Noshiki adalah ketakutan terbesarnya.

Pemuda itu mulai ingat, saat pertama kali mereka bertemu. Bermula saat ia dan Rin berusia lima tahun. Rin saat itu sedang duduk sendirian di tengah hujan, sambil memeluk lututnya. Izaya yang sedang tidur bersandar pada pohon terbangun ketika merasakan tetesan air membasahi dirinya, kemudian mendapati Rin. Berdiri di hadapan sang gadis, lalu menyibak poni yang menutupi mata.

"Kamu suka anjing? Kalau aku tidak." Bukan obrolan manis yang ia keluarkan, hanya pertanyaan asal yang terlontar dengan sendirinya.

Gadis itu mendongak, memperhatikan mata merah yang sedang melihatnya lekat.

"Enggak."

"Lalu, kenapa menggunakan kalung seperti itu?" Izaya duduk di samping Rin, menghiraukan tanah basah yang bisa saja melekat pada celananya nanti.

"Kata mama, aku ini layaknya binatang. Bisa dibuang kapan saja." Mata heterokom itu terlihat kosong.

Izaya tersenyum, kemudian mengelus pelan rambut sang gadis.

"Kalau gitu, sekarang kamu jadi manusia. Soalnya, aku suka manusia."

Gadis itu menoleh ke arah Izaya. Anak laki-laki berumur lima tahun itu mendekatkan wajahnya dengan tubuh Rin, sesaat pipi gadis itu merona. Izaya mengarahkan tangannya ke leher Rin, melepaskan kaluang anjing tanpa rantai pada leher gadis itu. Itulah awal mula Rin mulai kembali ceria, rasa iri pada kakaknya pun menghilang. Saat itu, Rin mendapatkan apa yang dia inginkan. Walaupun, bukan dari orang tuanya.

Pada saat hujan yang sama namun waktu yang berbeda. Rin memeluk Izaya, menangis sejadi-jadinya. Membiarkan rasa sakit dan bahagia yang dia pendam menyeruak keluar.

"Aku akan pergi, jangan rindu dan jangan lupakan aku."

"Tidak!" Izaya berteriak. Tubuh gadis yang ada pada dekapannya mulai terasa dingin melebihi air hujan.

Pemuda itu benci dirinya sendiri. Ia benci dirinya yang mengataskan harga diri dibanding perasaan.

Kembali pada waktu sekarang.

Izaya merasakan hal yang bukan dirinya, perasaan yang tak pernah ada namun sempat ada mulai menyelimuti hatinya.

Ia melangkah mendekat ke arah robot berperawakan seperti gadisnya. Kemudian mendekapnya erat. Tidak nyaman, tak selembut tubuh gadis yang ia cintai melebihi rasa cintanya pada manusia.

Aroma ini Izaya tahu betul, susu strawberry kesukaan Rin. Alasan mengapa dia begitu menyukai strawberry dan karena gadis ini juga pemuda itu menyukai buku membosankan itu. Buku yang menceritakan tentang Rin namun dengan kisah yang cukup berbeda.

Kali ini, pemuda berumur 27 tahun itu tidak akan lagi berbohong pada perasaannya sendiri.

"Aku mencintaimu dan ... maaf."

"Ha'i, terima kasih." Robot itu tidak rusak, ia memang dirancang khusus untuk membuat Izaya ingat.

Amnesia psikogenik, hilang ingatan karena rasa setres yang ia alami setelah gadis itu benar-benar pergi. Mimpi singkat yang selama ini dia alami adalah pesan, agar dirinya tidak lupa dengan apa yang telah dijanjikan.

-END-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top