[1.Their Meeting]

Chap 1

Aku tidak tahu kapan harus memulai ceritaku.

Aku bukanlah seseorang yang mudah bercerita kepada orang lain dengan lancar seperti para pembawa acara di benda kotak yang membawa kebahagiaan bagi dunia dari zaman dahulu yang masih diliputi warna monokromatik, ataupun sekarang yang telah terlalu banyak warna yang dapat dilihat hingga terjadi polusi mata. (Itupun jika polusi mata ialah sebuah kata yang baku)

Aku memutuskan untuk menceritakan kisahku yang paling awal dan yang paling kusukai...

Saat dimana aku bertemu dengannya. . .




With love,

Miroko presents

|RAIN|

Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki.





Saat hujan turun, hal yang pertama kalian lakukan ialah berteduh.

Entah berteduh di bawah naungan sang payung, tas yang ada, atau di bawah naungan teras rumah seseorang, dan lebih parahnya lagi, minimarket terdekat.

Mencari kehangatan dengan berpelukan mesra dengan pasangan, orang tua, teman, ataupun dengan selimut dan bantal tercinta di rumah masing-masing sambil meminum minuman penghangat badan.

Mungkin coklat panas, mungkin teh, mungkin susu, mungkin juga kopi pahit namun sedap di lidah para tetua, ataupun yang ekstrim seperti minuman jahe dan air putih panas.

Apakah aku salah?

Entah kenapa, dari sekian banyak hal tersebut tidak satupun yang kulakukan.

Lalu, apakah yang kulakukan?

Pertanyaan yang bagus.

Dan akan dijawab sebentar lagi dalam cerita ini.

. . . Hal-hal tentang aturan, politik, hukum, norma, ataupun undang-undang yang berlaku hampir tidak pernah kuindahkan.

Hal itu juga termasuk dalam hal untuk "tidak membahayakan dirimu sendiri dan orang lain" ataupun "mempedulikan kesehatan sendiri ataupun orang lain"

Kenapa aku bisa melanggarnya?

Well,...

Di hari pertama aku bertemu dengannya, aku sedang melakukan hobi yang paling kusenangi....

Menatap hujan.

Ya, kau tidak salah melihatnya.

Hobiku ialah menatap sang air bening tetesan hujan yang jatuh.

Dan kurasa tidak ada masalah dengan itu.

Lalu,...

Kenapa aku bisa melanggar peraturan?

Jelas.

Itu karena aku tidak mempedulikan hal-hal seperti payung, jas hujan, sepatu boot, ataupun sebuah teras untuk berteduh.

Singkatnya, aku melihat hujan tanpa hal-hal diatas. Aku menatap hujan dengan mendongak ke arah atas, dan jika aku beruntung berada di tempat yang lembut seperti rumput, tidur di atas permukaan tanah berumput itu.

Tanpa mempedulikan bajuku yang basah dan kotor, sepatuku akan dipenuhi jamur jenis apa, ataupun bau dan bentuk seperti apa yang akan dihasilkan dari rambutku nantinya saat pulang.

Karena bajuku tidak akan dipakai lagi untuk esok dan jika memang akan dipakai, aku punya cadangan di rumah.

Rambutku? Ah itu gampang diperbaiki. Ah, tasku dan sepatuku telah dengan manisnya berada dibawah naungan payung dengan warna ungu plus polkadotku.

Dan aku akan tidur sambil merasakan air hujan yang menggelitiki syaraf-syaraf kulitku, dan dengan bau khas hujan yang telah bercampur dengan bau tanah.

Bau kesukaanku.

Air hujan yang dingin itu terus menerus menimpa tubuhku tanpa ampun, sampai membuat seluruh tubuhku mati rasa akibat dinginnya cairan bening itu.

Tapi aku tidak peduli. Sama sekali tidak peduli. Karena aku telah merasakan kedinginan yang lebih dingin dari cairan bening itu. Aku akan menceritakannya nanti. Karena aku rasa kita sudah cukup menyimpang dari tujuan awal kita.

Dan hal ini terus kulakukan sesering hujan turun di kota tempatku tinggal.

Ya, setiap kali hujan turun. Orang-orang yang melihatku biasanya hanya mengabaikanku, menggangap aku hanya seorang gadis biasa yang tengah galau, bersimpati padaku ataupun mengira aku orang gila.

Meskipun ada pendapat yang lebih ekstrim yang pernah kudengar, mereka menggangap aku punya semacam fetish atau aku itu Do-M makanya mau-mau saja ditimpa air hujan.

Tolong abaikan yang terakhir. Aku bukan seorang Do-M ataupun M dan aku juga tidak memiliki fetish.

Tetapi entah kenapa, ada seseorang yang peduli padaku.

"Kenapa kau ada di sini?"

Tanyanya dengan suara yang sedikit cempreng, namun juga sedikit baritone. Persis seperti suara para kaum adam saat masa pubertas, dimana suara mereka sedang dalam masa berubah.

Aku membuka mataku dan melihatnya. Laki-laki yang kiranya sebaya denganku, dengan mahkota merah dan kedua iris crimson yang menatapku tegas namun diselimuti kekhawatiran.

Ia memegang payung dengan warna merah, dan masih memakai jas seragam sekolah elit lengkap dengan tasnya.

"Karena hujan."

Jawabku singkat. Aku bukan seseorang yang bisa melakukan percakapan normal seperti orang lainnya, aku ini sedikit anti-sosial.

Ia sedikit terkejut atas jawabanku yang datar, namun dengan cepat kembali ke ekspresi awalnya.

"Memangnya kenapa kalau hujan?" Tanyanya lagi dengan keheranan.

Mungkin ia sudah menganggapku punya fetish atau gila. (Kuulangi sekali lagi, aku tidak punya fetish!)

"Aku suka" sebuah jawaban singkat lainnya keluar dari mulutku.

Wajahnya sekarang sudah seperti badut, lucu. Mukanya mengeryit, dahinya berkerut sedemikian rupa hingga membuatku ingin tertawa lepas. Namun aku hanya tersenyum tipis.

"Saking sukanya hingga rela membuatmu mati kedinginan?"

Ujarnya lagi. Aku jadi heran, apakah ia tidak bosan bertanya terus?

Namun aku hanya tersenyum karena sedang ada di pikiranku tentang; 'ada juga orang seperti dia, yang memperhatikanku' seperti itu.

"Aku tidak peduli. Hujan ialah segalanya bagiku. Jika ia ingin mengambil jiwaku dari ragaku sekalipun, aku tidak peduli.". Jelasku panjang lebar.

Dan kalimat tersebut ialah kalimat terpanjang yang pernah kukatakan dalam lima tahun belakangan.

Aku tidak bermaksud bersikap hiperbolis, itu ialah kenyataan yang tidak dapat dibantah. Aku punya buktinya. Namun, kita simpan itu untuk nanti.

"..."

Karena terlalu tenggelam dalam pikiranku sendiri, menyelam terlalu dalam ke seluk beluk memori kehidupan, dan bernostalgia seorang diri, aku tidak sadar laki-laki tersebut sekarang telah menyimpan payungku, mengangkat tasku, dan sekarang ikut mengangkat diriku.

Ah, apa aku tidak mengatakan bahwa ia menggendongku bak perempuan di hari pernikahan oleh sang pengantin pria?

"Jika kau tidak peduli pada hidupmu, maka berikanlah segala yang ada padamu untukku... Jika kau sangat mencintai hujan sampai-sampai rela membuang nyawamu sendiri, jadilah milikku saja."

Dia mengatakannya sambil menatapku dengan lembut, kemudian menundukkan kepalanya dan mendekatkan kepalanya ke kepalaku.

Gumpalan merahnya yang bernama bibir tersebut menyatu dengan milikku. Bibirnya yang tidak terlalu kering, agak lembab -mungkin karena hujan- menyentuh milikku -yang jelas-jelas basah karena hujan- dengan lembut.

Butuh beberapa saat bagiku untuk sadar bahwa...

Sebagai bukti telah memilikiku dan sebagai tanda cintanya padaku,....

Ia menciumku.




Author Notes: Saya sempat bingung tentang ceritanya,...

Cowok mana yang akan langsung menjadikan seorang cewek tak dikenal di tengah hujan miliknya?

Dan, setelah bertanya pada diri saya sendiri, saya menemukan jawabannya.

"Karena dia seorang Akashi Seijuurou"

Dan, setelah itu, saya akhirnya menyetujuinya.

Bagaikan kalimat tersebut ialah pemecahan dari segala masalah yang sedang kuhadapi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top