Rahasia Hati

Dalam diam seseorang, tersimpan jutaan kata yang tersembunyi.
Dalam sikap tak acuh sesesorang, tersimpan berbagai rasa yang terpendam.

Bukan pandangan pertama, namun membekas.

Sepanjang mata memandang, wajah baru semua yang terlihat. Jika bukan karena kepala sekolahnya adalah orangtuaku, maka tak akan aku mau bersekolah di sini tanpa teman yang ku kenal sebelumnya. Meski aku juga tidak berniat untuk terus berinteraksi dengan teman-teman lamaku.

Aku datang ke sekolah sengaja mepet jam masuk, berharap aku terlambat dan disuruh menghabiskan waktu di luar kelas. Dengan malas aku berjalan menuju kelas, beruntung lorong sudah sepi karena bel masuk sudah berbunyi sedari tadi. Namun keberuntunganku hanya sebatas itu, karena guru belum ada di kelas dan saat akan duduk di tempat duduk favoritku sudah ada yang menempatinya.

Jika bukan seorang gadis yang menempatinya, tak akan segan aku mengusirnya. Namun entah kenapa, kakiku melangkah ke kursi di sebelahnya. Ku pandangi wajahnya dengan kesal, karena dia tadi sempat hampir menabrakku saat di gerbang sekolah.

“Hei, aku Gatra Supraba. Bisa panggil aku Gara,” ucapku tanpa berpikir lagi, sementara gadis ini dengan kurang ajarnya hanya melirikku.

Hadirnya membuat perhatianku teralihkan.

Sejujurnya aku tidak ada keinginan untuk meneruskan sekolahku. Apalagi sejak kejadian yang membuatku tidak bisa menghadirkan senyum di bibirku, apalagi di hatiku. Aku ingin menyendiri dan meratapi kesedihanku.

Aku sudah merancang akan menjadi biang onar di sekolah saat terpaksa mengikuti kemauan orangtuaku. Namun rencana hanya rencana. Sosok yang menjadi teman sebangkuku ini yang berhasil merusak rencanaku.

Sikap gadis ini awalnya tidak bersahabat, namun aku tidak ingat lagi kapan hubunganku dengannya menjadi lebih dekat. Sempat ku pikir dia pendiam, karena saat aku mengajaknya kenalan dulu dia hanya melirikku. Tapi setelah dia merasa dekat denganku, dia berubah menjadi seperti kaset rusak. Tiada hariku yang terlewatkan tanpa mendengarkan ocehannya.

Entah aku harus bersyukur atau menyesal karena sibuk mendengarkan ocehannya, aku tidak larut lagi dalam kesedihanku.

Saat aku lengah, hatiku seenaknya mengukir nama.

Panas yang membuat basah bajuku tak ku hiraukan, karena saat ini aku sedang bermain basket dengan teman-temanku di tim basket. Rasa kesal dulu masuk sekolah ini karena paksaan orangtuaku hilang saat aku menemukan banyak teman baru, terutama yang suka bermain basket juga seperti kebiasaanku dari dulu.

Tak hanya basket, hampir semua kegiatan ekstrakurikuler di sekolah ini menantangku untuk mencoba semuanya. Apalagi kegiatan yang melibatkan olah fisik, sehingga membuat tubuhku banyak bergerak. Karena setelah lelah dengan pelajaran yang menguras otak, harus diimbangi dengan banyak gerak.

Bukan hanya itu alasan rasa kesalku menghilang, namun sesosok gadis yang senantiasa duduk di samping jendela menghadap ke lapangan basket juga menjadi salah satu alasan. Entah kenapa, gadis ini bisa menghilangkan rasa kesalku dengan mudahnya. Hanya dengan senyumnya, maka dia berhasil membuat hariku menyenangkan.

Entah karena sikapnya yang mudah marah, muka merahnya jika berlari masuk kelas karena telat, atau cerewetnya yang tak pernah lelah mencurahkan isi hatinya kepadaku walaupun tak jarang hanya ku dengarkan sambil lalu.

Cinta tak harus memiliki itu hanya untuk penakut.

Bisa terus dekat dengan pujaan hati bukankah harusnya membahagiakan? Yah, mungkin banyak yang iri padaku karena dari awal aku masuk sekolah hingga saat ini aku duduk berdampingan dengan Aurelia. Ah, menyebut namanya saja hatiku berdesir.

Aurelia juga mendukung semua kegiatan yang ku senangi. Mulai dari basket, pecinta alam, pramuka, dan semua kegiatan yang mengharuskanku menghabiskan waktu di luar ruangan dan tak peduli dengan terik matahari serta tentu saja akrab dengan keringat. Bahkan tak jarang Aurel juga menemaniku, meski dia selalu mengeluh jika kegiatanku membuatnya berkeringat.

Sayang, belum sempat ku rangkai kata manis nan indah untuk teman sebangkuku yang istimewa, gadis tomboy ini berhasil menghanguskan segala asa yang ada. Dengan santainya dia memujiku yang masuk tim basket seakan ingin membuatku berharap, namun langsung dijatuhkan di detik berikutnya. Karena gadis ini mecurahkan perasaannya untuk orang lain, yang menjadi temanku di tim basket.

Ku kira selama ini Aurelia mau menemaniku latihan basket karena diriku. Namun padi ditanam tumbuh ilalang, pandangannya tak tertuju ke arahku. Padahal karena keaktifanku di sekolah, aku menjadi banyak dikenal. Pesona anak populer yang melekat padaku tak membuat gadis ini melirikku.

Saat harapan terwujud, meski tak sesuai keinginan.

Latihan basket yang biasanya membuatku menahan kesal, mulai bisa ku nikmati tanpa beban. Entah karena aku semakin fokus dengan kejuaraan basket yang sudah di depan mata. Bisa juga karena aku mencoba berdamai dengan menelan pil pahit patah hati. Atau bisa juga karena,

“Garaaaa, semangat yaa. Lo keren banget!” teriak seorang gadis dari pinggir lapangan basket.

Gadis itu hanya ku lirik, namun tak dapat ku cegah bibirku menampilkan senyuman sangat tipis sekilas. Gadis yang bisa menghilangkan rasa kesalku lagi, dan tak pernah berhenti membuat keributan di sekitarku.

“Pulang,” ujarku sembari menghampiri gadis itu, mengambil tasku lalu beranjak pergi.

“Eh, ihhh Garaa. Kan gue nungguin lo, kok malah ditinggal siih,” omelnya lalu menyusulku.

“Lambat,” gumamku saat melihatnya berhasil menyusulku.

“Apa? Lo tuh yang kepanjangan kakinya, udah tau kaki gue pendek. Suka nggak sadar diri lo tuh ya,” omelnya lagi dengan ekspresi yang sungguh ingin membuatku tertawa lepas, namun ku tahan agar dia tak menjadi besar kepala.

“Enggak ada capenya ya kamu, aku aja cape dengerin kamu ngomong. Mending aku latihan basket seharian daripada dengerin kamu ngomong nggak berhenti gitu,” ujarku sambil menahan tanganku untuk tidak membelai kepalanya yang ada di sampingku.

“Garaaaa! Lo nih ya, mending diem aja udah. Sekalinya ngomong panjang sukanya cuma ngejekin gue. Huh! Untung aja gue orangnya sabar, baik hati, tidak sombong, rajin menabung...,” ocehan gadis manis ini terhenti karena mulutnya ku bekap.

“Terus kamu sayang aku, kan? Ayo naik, sayang,” ujarku melepas bekapanku lalu bersiap menaiki motorku dan menyodorkan helm untuknya. “Ayo, udah sore. Gerah ini.”

“Lo tadi bilang apa?” tanyanya dengan muka yang membuatku ingin memeluknya gemas, namun tentu saja ku tahan.

“Pulang,” jawabku singkat sambil menghidupkan motor.

Dengan muka yang semakin membuatku gemas, dia memakai helmnya dan menaiki boncengan motorku.

“Pegangan, nanti jatuh sayang,” ujarku langsung melesat kencang dengan motorku keluar dari lingkungan sekolah.

Hati memang tak bisa memilih pada siapa dia akan menjatuhkan pilihan. Namun percayalah, semua akan indah pada waktunya. Seperti aku, yang harus menelan pil pahit  patah hati sebelum tunas di hatiku  bisa bersemi dengan indahnya.

*****

Written by dhyaaa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top