One Thing I Know About Him
Sapu tangan biru.
Benda peninggalan yang terus saja mengingatkanku tentang hari itu. Aku memandangnya. Terlihat lebih bersih dari yang terakhir kali membalut kakiku. Jelas saja! Aku sudah mencucinya hingga puluhan kali. Merendamnya dengan air panas. Menjemur tidak di bawah terik matahari. Menggunakan banyak pewangi. Menyetrikanya lalu kusimpan benda itu dalam lipatan buku harianku.
Jemariku bergerak meraba permukaannya. Hmmm … lembut. Telunjukku menjalar menyusuri garis-garis samar yang menjadi penghias sulaman kain itu. Aroma pewangi menguar. Menggantikan aroma amis darah pada hari itu.
Alisku mengernyit. Entah ada apa denganku yang bisa-bisanya menyimpan barang orang lain. Terlebih milik orang asing. Hal yang sama sekali tak pernah kulakukan sepanjang kehidupanku berjalan.
Sapu tangan biru.
Seharusnya aku menolak tegas ketika pemiliknya membalut luka di betisku. Atau membuang saja benda itu pada hari nahas seminggu yang lalu. Tapi dengan bodohnya kain berbentuk persegi itu malah tertahan padaku hingga hari ini.
Lalu sekarang apa? Mencari pemiliknya? Oh, yang benar saja! Aku tidak ingin berurusan dengan orang asing. Apalagi untuk hal-hal sepele seperti ini. Jelas sekali bukan cerminan diriku.
Telujukku terhenti. Aku menunduk. Kedua alisku merapat. Kuangkat sapu tangan itu lebih dekat dengan mataku.
“R - E - P.” Bibirku mengeja tulisan kecil yang hampir tidak terlihat di sudut kain itu. Alisku semakin bergelombang.
Siapa? Nama pemiliknya kah?
Sapu tangan biru.
Kejadian hari itu kembali berputar di ingatanku.
Pulang sekolah sendirian. Melewati sebuah gang sepi, langkahku dihadang beberapa pria dewasa bertubuh besar yang menggunakan topeng. Berusaha kuabaikan tapi mereka malah bergerak menyerang. Aku panik, terdesak dan berusaha melawan namun berakhir dengan kesadaranku yang hilang.
Entah berapa lama, aku kembali tersadar dengan kondisi yang cukup mengenaskan. Mataku tertutup kain penghalang. Kedua kaki dan tangan terikat kuat. Mulutku tersumpal gulungan kain besar. Beberapa bagian tubuhku terasa perih dan sakit yang menyengat.
Aku meringis pelan mencoba menahan rasa sakit. Berusaha tetap tenang sembari memfokuskan pendengaran. Aku jelas tidak tahu di mana keberadaanku sekarang dan apa maksud manusia-manusia laknat itu menghadang dan menyerangku.
Suara langkah kaki menyapa pendengaran. Reflek, aku beringsut, berusaha mundur ke belakang. Meski percuma saja. Pengikat yang membelit mencegah gerakanku.
Derap kaki semakin terdengar. Perlahan dan semakin mendekat. Lalu mendadak hening meningkahi. Aku memutuskan menunggu. Tetap diam di posisiku. Aku merasa siapapun itu, entah manusia, hewan atau bahkan makhluk planet lain sekalipun jelas sekarang ia sedang berada di dekatku.
Hening semakin melingkupi. Aku bergeming dan terus menunggu. Namun pikiranku tanpa henti terus memburu. Ada apa sebenarnya? Di mana aku? Apa yang terjadi dan siapa mereka?
Tiba-tiba aku tersentak saat merasakan sesuatu yang sedikit terasa dingin menyentuh pergelangan kakiku. Apa itu? Tangan kah? Tersadar, aku menggerak-gerakkan kakiku berusaha menghindar. Pikiranku bekerja cepat. Jika ini manusia, mungkin saja ia adalah salah satu dari orang-orang yang menghadangku beberapa saat lalu dan ingin melanjutkan untuk mengeksekusiku. Atau mungkin saja seseorang dengan niat mesum yang ingin berbuat cabul. Atau mungkin juga …. Pikiranku melayang dan mulai melantur kemana-mana bersamaan dengan benakku yang menjerit melontarkan beragam kata sumpah serapah guna menghalau rasa panik, bingung, kesal dan tentu saja rasa marah yang sudah menumpuk.
Tak berselang lama, kurasakan lagi sesuatu seperti membalut pergelangan kakiku dengan asal. Disusul suara langkah yang bergerak ke arah belakang. Selanjutnya tali yang mencengkeram tanganku terasa longgar. Tanpa menunggu, aku bergerak cepat. Melepaskan tanganku dari belitan ikatan. Membebaskan sumpalan di mulut lalu menarik lepas kain penutup mata. Jariku bergerak lagi merampas kuat lilitan tali yang mengikat kakiku. Sontak saja, aku menghirup udara rakus demi mengisi paru-paruku yang sedari tadi terasa sesak.
Setelahnya, aku menggerakkan pandangan hanya untuk mendapati seseorang yang berjalan cepat meninggalkanku. Mataku terbuka lebar. Laki-laki?
Selain tangan, seluruh tubuhnya tertutup setelan hitam. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena ia berjalan membelakangiku dan juga terhalang helm full face yang melindungi kepalanya. Tapi aku sangat yakin, dia bukan lah salah satu dari kawanan orang-orang yang berbadan besar itu. Meski kecil, posturnya tampak lebih tinggi dan tegap. Lalu siapa?
“Hei! Tunggu!” Aku berteriak keras untuk memanggilnya.
Kulihat orang itu terus berlalu tanpa mau repot-repot berbalik ataupun sekedar berdiri menungguku. Ia terus berjalan dengan langkah-langkah lebarnya lalu kemudian berbelok dan menghilang dari pandanganku.
Alisku berkerut. Pandanganku bergerak mengelilingi sekeliling. Aku terhenyak. Bukankah ia yang baru saja menolongku? Harusnya ada sedikit basa-basi atau hanya sekedar sebuah tanya. Tapi orang itu malah pergi seperti dikejar Mbak Kunti. Aku berusaha bangun dan berdiri sambil menahan ringisan. Aku tidak bisa melepaskan orang itu begitu saja. Ia adalah kunci akan peristiwa yang menimpaku hari ini. Setidaknya ia mungkin tahu bagaimana aku bisa berakhir di bawah jembatan angker yang ada di belakang sekolah dengan kondisiku yang tak enak dipandang mata. Lecek, apek dan bau.
Langkahku terseok-seok akibat luka di betisku. Darah mulai mengucur lagi membasahi sapu tangan. Aku tidak peduli! Hari mulai merangkak menuju malam. Kegelapan sebentar lagi akan datang bertandang. Suara gemericik air sungai terdengar nyaring di telinga. Aku terus berjalan. Tidak ada satu manusia pun yang menyapa pandangan. Aku bahkan tidak melihat lagi gerombolan manusia berbadan besar tadi yang akhirnya membuat rasa penasaranku semakin besar.
Tepat ketika kakiku menginjak jembatan beraspal, orang itu sudah melaju kencang di atas motor besarnya.
“Arrrgggghhh, sial!” Aku jatuh terduduk di aspal jalanan tepat ketika suara azan berkumandang.
Sapu tangan biru.
Satu hal yang kutahu tentang orang itu adalah ia penyelamatku. Dan aku berterimakasih untuk itu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku hari itu jika ia tidak datang. Setidaknya itu yang kuyakini terlepas dari siapapun ia.
Bel tanda masuk sekolah berbunyi riuh. Tanganku bergerak melipat sapu tangan lalu menyimpannya kembali ke tempat semula. Diariku. Entah benda itu akan membawaku bersua pemiliknya atau tidak namun satu yang pasti ada dorongan kuat dalam diriku untuk tidak melepaskannya.
Aku beranjak berdiri. Menarik ritsleting hoodie yang kukenakan, mengaitkan tas di pundak lalu berjalan meninggalkan taman belakang dan bergegas menuju kelas.
“Cala!”
Aku mendengus. Baru juga beberapa langkah memasuki kelas, telingaku langsung menangkap gema suara tegas milik Ken, si ketua kelas.
Suasana dalam kelas sudah mulai ramai dengan beberapa siswa teladan yang sudah berdatangan. Kuangkat wajahku. Ken berdiri tepat di depanku sambil bersandar pada mejanya dan menatapku melalui empat matanya.
“Apa?” tanyaku malas sambil kembali melanjutkan langkah.
“Lepas hoodie kamu!” perintahnya tegas seperti biasa.
Aku berhenti lagi. Jarakku hanya beberapa langkah dari posisinya. Kebetulan mejaku satu barisan dengan meja Ken dan ada di deret paling belakang. “Lo nggak ada bosannya ya nyuruh gue buat ngelepas hoodie. Emang masalah banget ya buat lo?” Aku menantang tatapannya.
“Bukan masalah buat saya tapi penampilan kamu mengganggu pemandangan dan bikin seisi kelas sakit mata,” jawabnya penuh penekanan seolah menegaskan tentang penampilanku yang mengundang kekacauan.
“Tutup aja mata lo kalo gitu. Itu aja repot,” sahutku lagi tak menghiraukan perkataannya.
Kulihat Ken menyipitkan matanya dari balik lensa yang digunakan.
“Ini kelas, Nona Aneh, bukan pasar malam. Nggak usah bergaya seperti preman. Nggak malu apa setiap pagi saya harus negur kamu? Lepas sekarang juga!”
“Gue nggak buta, Mata Empat. Gue juga tau kalo ini kelas. Terus masalahnya apa sama hoodie yang gue pake? Gurunya aja nggak masalah malah lo yang ribet. Gue nggak mau lepas. Mau mulut lo kumur-kumur sampe berbusa juga, terserah. Bodo amat!”
Aku meneruskan langkah, melewati Ken yang menatapku tajam dan berjalan menuju mejaku.
“Cala!”
Awal hariku hari ini benar-benar buruk. Suara itu. Rasanya aku ingin mengumpat keras. Aku berbalik. Aca, si depkolektor kelas yang tidak bisa jauh dari buku merk Sinar Dunia berdiri di depanku seraya menengadahkan telapak tangan.
“Mana setoran kas? Lo udah nunggak banyak. Lama-lama gue bisa kere kalo harus tombok punya lo terus.”
Aku bergeming. Menatapnya datar.
“Gue nggak ada duit, Ca. Malah rencananya hari ini gue mau minjam duit kas sama lo,” ucapku to the point.
Aca ternganga bersama bola matanya yang seakan ingin melompat keluar.
“Calaaaaaaaaaa!” Suara jeritannya membahana.
“Lo bener-bener nggak punya malu ya! Berani-beraninya lo minta duit kas sementara setoran lo nunggak hingga berbulan-bulan. Hebat banget lo ya. Nggak ada! Gue nggak kasih. Lo minjam aja noh sama tembok.” Aca menatapku garang sebelum kemudian menghentakkan kakinya dan pergi meninggalkanku.
Aku mengangkat bahu tak acuh. Lalu memutar badan lagi. Kakiku baru saja ingin bergerak ketika tanpa sengaja mataku melihat ke arah Raka, si murid baru yang duduk sendiri di barisan meja lain . Cowok itu duduk tegak di kursinya dengan pengisi nada yang tersumpal di telinga dan tangan sibuk mencoret-coret buku di atas meja.
Entah ada apa, setiap kali tanpa sengaja memandang Raka, aku merasa seperti ada sesuatu yang bergetar namun tak mampu kujelaskan. Padahal interaksiku dengannya jika diukur tepat berada di nol persen. Aku tidak pernah berbicara dengannya meski sudah satu bulan ia bergabung di kelas ini. Selain karena tidak ada hal yang mengharuskan, aku juga minim peduli dengan kondisi kelas. Lagipula menurut desas desus yang berembus, Raka itu tipe cowok keren tapi apatis terhadap seisi kelas, tampan tapi sedikit kasar jika berbicara. Bahkan tak butuh waktu lama, ia sudah mendapat predikat dalam katagori julukan sebagai public enemy. Aku menghindari sekali model cowok seperti itu meski diam-diam menyukai pancaran matanya yang tajam dan sikapnya yang terkesan arogan.
Aku masih memandangnya. Raka bahkan sama sekali tidak merasa terusik karena keberadaanku. Aku mengendikkan bahu dan dengan cepat mengalihkan pandangan. Tatapanku seketika bertemu dengan netra milik Revan. Dengan cepat aku berjalan dan berhenti di samping mejaku.
“Jangan coba-coba berani buka mulut jika lo masih pengen semua makanan lo ini aman tanpa gue lempar ke tong sampah!” desisku cepat ketika kulihat Revan, cowok yang sebangku denganku menggerakkan bibirnya ingin bicara. Revan menyeringai tanpa dosa dan kembali melanjutkan sarapan paginya. Wortel mentah! Aku menarik kursi dan duduk di tempatku masih dengan menatapnya, tajam.
Kurasa saat takdir membagikan tempat duduk di sekolah, aku hadir paling belakangan sehingga terpaksa harus sebangku dengan manusia gipsy macam Revan ini. Bagaimana tidak, jika di dekatnya, telingaku terpaksa harus ekstra sabar mendengar tentang ;‘Cala, lo dulu pernah jadi … bla bla bla. Cala, pulang sekolah nanti lo pasti ketemu … tralalala trililili. Gue yakin, dua hari dari sekarang lo bakal … uuu lalaaa uuu liliiii. Bisa bayangkan? Semuanya tentang dongeng masa lalu, keajaiban masa depan atau apapun itu yang sejenisnya. Biarpun semuanya menjadi nyata namun aku lebih percaya kalau semua itu adalah kehendak takdir bukan karena bualan si Revan gipsy semata.
Waktu terasa bergerak lambat. Ibu Anjani yang merangkap sebagai guru mata pelajaran Bahasa Indonesia sekaligus wali kelas tampak sebesar gajah di mataku karena pandanganku yang terus saja oleng. Sedari tadi aku terus menguap. Efek bergadang semalaman membuat fokus dan pikiranku seakan berebutan siapa yang pantas menang. Aku sangat yakin setelah pelajaran ini usai, seperti biasa, telingaku akan kembali mendengarkan siraman rohani dari sang wali kelas.
Lalu ketika bel istirahat berbunyi, “Calamara, setelah jam istirahat selesai, tolong ke ruangan Ibu sebentar!” Lalu ibu Anjani pamit permisi.
Dalam sekejap mataku menyala terang. Waktunya pojokan kantin! Urusan dengan Ibu Anjani akan selesai begitu perut juga ikut diam. Aku bergegas merapikan peralatan tulisku. Mengambil diari dari dalam tas lalu berjalan keluar.
“Cala, gue ucapin selamat deh karena bentar lagi lo bakal dapat hadiah tak terduga.” Suara Revan yang tiba-tiba sontak menghentikan langkahku.
See. Revan, si manusia gipsy mulai beraksi.
Aku menoleh. “Makanan mentah lo abis?” tanyaku.
Kulihat Revan mengerutkan keningnya lalu selanjutnya ia mengangguk seperti orang bodoh.
“Kalo gitu simpan omong kosong lo itu buat makan siang ya,” ejekku sambil beranjak pergi.
Tergesa-gesa, tanpa sengaja lenganku menyenggol tas besar milik Raka yang ada di atas meja menyebabkan benda itu jatuh dengan ragam penghuninya yang berhamburan di lantai. Karena kaget, aku spontan bergerak mundur. Kugerakkan ekor mataku mengintip sang empunya tas. Raka menatapku tanpa ekspresi.
“Sorry!”
Karena tidak ingin membuat kegaduhan juga karena ingin cepat-cepat menghentikan pendemo di dalam perutku, aku merunduk, menjongkok di lantai bermaksud memungut barang yang berserakan.
Tiba-tiba saja mataku terpaku pada satu benda yang ada di kaki kursi. Tanganku segera saja menjangkaunya. Sapu tangan biru! Persis seperti yang ada padaku. Aku menunduk guna menelisik. Benar! Ini sama. Bahkan tulisan kecil berukirnya pun ada!
“Singkirin tangan lo dari benda itu!”
Aku mendongak menatap ke arah Raka.
“Ini punya lo?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibirku.
“Bukan urusan lo,” sahutnya seraya merebut kasar sapu tangan itu dari tanganku.
Aku berdiri dan kuletakkan tas miliknya di atas meja. Pikiranku bekerja cepat meski pendemo semakin semarak. Dua sapu tangan sama persis. Dan jelas-jelas bukan milikku. Lalu? Milik Raka? REP? Rakaevan Putra?
Aku terkesiap. Kulirik Raka. Ia sedang membereskan buku-bukunya. Adrenalinku mendadak terpacu cepat. Aku meyakini satu hal bahwa terkadang beberapa kemungkinan dan ketidaksengajaan itu adalah sebuah kenyataan yang tidak pernah terduga. Aku tidak bisa begitu saja mengabaikan kesempatan ini.
“Raka!” panggilku dengan intonasi ringan.
Ia hanya melirikku dengan ekor matanya lalu kembali melanjutkan kegiatannya memasukkan buku ke dalam tas.
“Raka! Gue mau ngomong bentar sama lo.” Kembali aku berusaha menarik perhatiannya.
Jujur saja, ini pertama kalinya aku mengajak teman dalam kelas berbicara. Biasanya interaksiku dengan mereka hanya sebatas yang penting saja. Aku cenderung tidak peduli. Lebih senang menyendiri dengan duniaku sendiri. Duduk di tempatku dengan puluhan puisi yang kutuangkan dalam diariku. Jika ada yang berani mengusik, mereka harus siap dengan suaraku yang melegenda. Aku tidak ambil pusing jika pada akhirnya mereka menjulukiku ; Cala, si Kompor Meleduk.
Sekali lagi, Raka seolah tidak menganggap keberadaanku. Cowok itu sudah selesai dengan kegiatannya lalu berjalan menuju pintu. Aku berdecak sebal. Cepat-cepat menyusul dan menghadang langkahnya tepat di tengah ruangan kelas. Ia menatapku datar tanpa ekspresi.
“Gue mau ngomong sama lo. Penting!” tegasku dengan tatapan memohon.
Namun, lagi-lagi Raka malah tak memedulikan permintaanku. Ia kembali melanjutkan langkahnya.
Aku mengerang kesal.
“Raka, lo yang nolongin gue di bawah jembatan seminggu yang lalu ‘kan?” Aku bertanya lantang. Kesabaranku lama-lama tenggelam menghadapi cowok model Raka ini.
Aku berbalik menghadap punggungnya yang terhenti di depan pintu yang masih tertutup. Sepertinya belum ada yang keluar setelah tadi Ibu Anjani menghilang di balik pintu. Siswa yang lain pun akhirnya lebih memilih menjadi penonton ketimbang keluar mengisi perut mereka. Bahkan kudengar, samar-samar ada yang mulai berbisik-bisik tentangku dan Raka.
Kulihat Raka membalikkan badannya. Ia mundur, bersandar pada kusen pintu dan bersedekap dengan raut wajah yang khas. Tak terbaca.
Masa bodoh! Aku hanya ingin memastikan rasa penasaranku. Langkahku mendekat dan berdiri di depannya. Kuambil sapu tangan dari lipatan diariku dan kusodorkan ke dekat wajahnya.
“Ini punya lo ‘kan?” tanyaku kembali.
Aku mengamati ekspresinya yang sama sekali tak tertebak. Sungguh menyebalkan! Ia hanya melirik benda itu sekilas lalu beralih menatap mataku.
Alis Raka terangkat tinggi. “Well … tebakan lo boleh juga,” sahutnya dengan nada ringan.
Ambigu banget sih!
“Jadi bener lo orang yang nolong gue?” Aku terus bertanya guna memastikan.
“Gue lebih senang ngebiarin orang-orang semacam lo mati langsung di depan gue.”
Astaga! Kasar banget!
“Denger ya Raka! Gue tanya baik-baik. Apa sapu tangan ini benar punya lo? Ada tulisan REP terukir di sana. Itu singkatan dari nama lo ‘kan? Barusan juga gue liat lo punya satunya lagi yang sama persis,” tukasku beruntun.
“Terus kalo itu punya gue, lo mau apa?” Pandangannya menantang tajam.
Aku menatapnya penuh selidik. “Berarti lo tau kejadian seminggu yang lalu ‘kan? Katakan kenapa bisa lo ada di tempat itu juga sementara orang-orang yang ngehadang gue seakan lenyap!” Aku mulai merasa ada sesuatu yang ganjil sekarang.
Raka bergeming. Air wajahnya tak berubah sedikitpun. Aku bukan pakar ekspresi yang dengan mudah mampu membaca tampilan wajahnya yang bak papan pencucian itu. Tapi aku mengerti satu hal, ada gejolak dalam diri Raka yang sedang berusaha ia samarkan.
“Pulang ke rumah lo dan tanya sama orang yang lo panggil Papa. Semua pertanyaan sampah lo akan mendapatkan jawaban.”
Aku terkejut bukan main. Tatapanku menyorot tajam ke arahnya. “Apa maksud lo? Kenapa lo jadi bawa-bawa orangtua gue?”
Raka berdecak seraya memamerkan senyuman mencemoohnya. Untukku kah?
“Kenapa? Lo marah? Murka? Ingin berteriak? Silakah!” Raka berbicara tenang dengan sungging meremehkan kini sedikit terukir di bibirnya.
Cukup sudah! Rasanya aku ingin berteriak keras di wajahnya karena sedari tadi ia terus memutar-mutar tidak jelas.
“Raka, jangan bertele-tele! Katakan, ada apa! Lo pasti tau sesuatu ‘kan?” Nada suaraku mulai meninggi.
“Insiden seminggu yang lalu kado permulaan dari gue buat Papa lo yang pecundang itu.”
“Tutup mulut lo! Lo nggak punya hak buat ngehina orangtua gue!”
“Sebelum dia jadi orangtua lo, dia itu bokap gue, sialan,” teriak Raka menggelegar diikuti pandangan berkilat tajam penuh kemarahan.
Langkahku spontan mundur ke belakang bersamaan dengan diari dan sapu tangan yang jatuh menimpa lantai. Seisi kelas mulai berdecak penuh keingintahuan. Aku menatap Raka tak berkedip. Apa ia sedang mengalami halusinasi tingkat tinggi?
Kugerakkan sedikit bibirku ke atas dan menampilkan senyum balasan untuknya. “Lo pikir gue akan percaya?”
Kilatan di mata Raka semakin berkobar. “Gue nggak butuh kepercayaan dari lo.” Setelah mengatakan itu Raka berbalik, menarik handle pintu, “Tapi satu hal yang perlu lo tau, darah nggak akan berubah jadi air. Dan satu lagi, sampein buat Mandala Putra, Papa kesayangan lo, retak mungkin aja bisa direkat tapi bekas selamanya nggak akan pernah hilang.” Lalu ia keluar dan meninggalkan bunyi bantingan pintu tepat di depan mukaku.
Aku masih berdiri di posisiku. Kurasakan bumi berputar dan berporos hanya padaku. Aku tak mengerti entah ini sudah tertulis dalam takdirku namun satu kenyataan yang menjelaskan kenapa semenjak kehadiran Raka aku diam-diam sangat mengaguminya. Ternyata ada bagian dari dirinya yang juga mengalir deras dalam tubuhku.
Suara bisikan akhirnya kembali mengudara disusul derap langkah yang melewatiku. Pintu kembali terbuka menampakkan nyala matahari yang dalam sekejap menyadarkanku bahwa yang baru saja terjadi bukanlah mimpi.
Sapu tangan biru.
Kau hadir lewati celah meninggalkan bekas.
Membuka rahasia lewat raga yang tak kuduga.
Beribu kata tak mampu kukata.
Hanya isyarat sebagai pelengkap rasa.
Kelak hadirmu akan kembali membasuh sebuah luka.
******
Written by ChieDara
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top