Nggak Peka
Di balik perlengkapan kelas yang memadai, ada bendahara yang mabuk tagihan.
****
Setengah mengantuk, aku sampai di parkiran sekolah, bersama Andra. "Bisa nggak?" tanyanya saat aku kesulitan membuka helm.
"Makasih," ucapku saat Andra membantu melepaskan pelindung kepala itu, kemudian merapikan rambutku yang berantakan.
"Belajar yang rajin, biar pinter," ucapnya, persis seperti seorang ayah yang tengah menasehati putri kesayangannya. Yang bikin aku kesel, dia malah kembali mengacak rambutku sampai beberapa helai tampak menjuntai menutupi wajah.
"Niat rapihin nggak sih," omelku yang malah membuat cowok ganteng, yang terkenal ramah, baik hati dan tidak sombong itu tertawa cengengesan.
Dia sahabatku, tetangga sekligus kakak kelas. Banyak yang bilang, persahabatan antara cewek dan cowok itu bullshit. Tapi buat sekarang ini, aku belum jatuh cinta, nggak tau kalo malem.
Namaku Natasya Azalea Yasmin, panggil aja Aca, buat ukuran jomblo sih orang bilang aku terlalu cantik. Nggak percaya? Yaudah. Nggak mungkin juga kan dengan muka pas-pasan aku bisa jadi model sampul majalah remaja sejak SMP.
Di kelas masih tampak sepi, hanya ada Aurel yang tertidur di pojok kiri kelas, duduk di kursi kesayangannya. Sedangkan di pojok kanan ada Revan yang tampak baca komik sembari ngemil brokoli. Dia itu aneh, saat yang lain memilih kacang sebagai cemilan, dia malah nyemilin sayur. Apa enaknya coba?
Saat kedua bola matanya beralih dari komik dan menatapku, refleks aku menghindar, tau kenapa? Aku udah bilang kan kalo dia itu aneh. Kabarnya sih cowok itu bisa lihat mahluk halus. Tatapan matanya itu seolah bilang kalo ada seseorang disebelah kamu yang nggak bisa kamu lihat. Sumpah, dia emang se-horor itu.
Mengabaikan bulu kuduk yang merinding, aku mengeluarkan buku tebal catatan uang kas dari dalam tas. Aku menjabat sebagai bendahara di kelas ini, bukan karena pinter itung-itungan sih sebenernya, kata mereka akutuh berpotensi banget jadi bendahara, jujur, dan anak orang kaya.
Entah kenapa aku nangkepnya malah 'lo kan kaya, Ca, jadi kalo gue nunggak, boleh lah lo talangin.' Beneran begitu deh kayaknya, soalnya selama aku menjabat jadi bendahara, uang kas macet semua. mereka bilang, "Pake duit lo dulu buat beli alat ya, Ca." Kurang biadab gimana coba teman kelasku ini.
"Astagfirullah!" Aku terkejut ketika seseorang menyentuh pundak, sepertinya masih terbawa suasana horor.
"Kamu kenapa sih, Ca?"
Ternyata Senna, teman kelasku. Dengan masih mengatur nafas yang sedikit memburu aku menatapnya dan berkata tidak apa-apa. Dia memberikan uang untuk membayar kas minggu ini.
Seperti biasa, hari terakhir sebelum libur dalam satu minggu adalah jatahku untuk menagih uang kas. Sengaja aku berdiri di depan pintu kelas dan menodong teman-teman yang baru datang, seperti sekarang ini.
"Uang kas minggu ini dong. Duitnya mau dipake buat beli alat, nih."
"Yaelah, Ca. Masih pagi banget juga," Clarinta menyahut. Cewek itu adalah salah satu dari sekian banyak yang terkenal alot dalam hal menyisihkan uang jajan, untuk bayar kas kelas.
"Justru karena masih pagi. Nanti siang pasti duitnya kepake jajan," cecarku.
"Iya, tenang aja, nanti juga dibayar." Cewek itu ngeloyor pergi, aku mengabaikannya. Lebih fokus pada Safire yang tampak sibuk menghitung lembar uang limaribuan untuk membayar tagihan satu semester kedepan. Coba saja semua anak di kelas ini berjiwa Safire semua, aman tentram damai sentosa aku jadi bendahara kelas.
"Tagihan kas minggu ini, sama kekurangan yang minggu kemaren mana?" cecarku pada Calamara, cewek galak yang nggak pernah lepas dari hoddie dalam cuaca sepanas ini. Dia melirikku dengan malas.
"Nih, gue bayar sampe satu semester." Dia menyerahkan satu lembar uang duaribuan lecek padaku.
"Ini mah kurang, Cal."
Tanpa menghiraukan omelanku, gadis itu pergi begitu saja. Kesel nggaksih coba deh. Akutuh nggak bisa diginiin tau. Mereka nggak pada peka sama perasaan aku.
Xia, Shilla dan Ica bergantian menyodorkan uang limaribuan ke arahku. "Aku padamu kawan," balasku dengan tidak lupa tersenyum kalem, tuh, kalo begini kan jiwa mak lampirku aman terkendali.
Ditengah keadaan yang mulai kondusif, seseorang berlari menerobos masuk. "Ale!! bayar uang kas!" terikakku, refleks mengejarnya ke dalam kelas. Cowok itu memang yang paling petakilan di antara yang lain.
"Iya-iya, nih gue bayar."
Dia memberikan lembar uang sepuluh ribu padaku, dan langsung kucontreng dua kotak di buku catatan.
"Eh, kembali limaribu, dong," protesnya, aku menggeleng.
"Buat bayar yang minggu depan sekalian, gue males nagih-nagih mulu sama lo."
Terlepas dari acara penagihan uang kas, yang berakhir dengan perdebatan sengitku dengan Alvi dan Raka, dua cowok yang teramat menguras kesabaran jiwa dan raga. Belum lagi Yafi dan Susan yang kompak membayar uang kas dengan masing-masing lima batang lolipop, muka mereka tuh bocah banget, aku nggak tega buat nolak. Dua tahun berturut-turut jadi bendahara mereka, bisa buka kedai permen deh kurasa.
Aku duduk manis menyambut kedatangan Pak Junaedi, guru matematika yang selalu terlihat berwibawa semi galak. Heran deh, kenapa sih pelajaran sekelas matematika dijadwalkan di hari terakhir sebelum libur. Selain dapat menjadi momok menakutkan saat liburan, juga berpotensi mendapatkan tugas segambreng dengan alasan 'kan besok weekend.'
Belum lagi pelajaran kedua nanti Bahasa Indonesia, bukannya aku nggak cinta tanah air yah, tapi pasti Bu Anjani nyuruh bikin karangan bebas deh.
Akutuh kadang suka bingung, disaat otakku disuruh mikir tugas matematika, malah ngarang. Ngitung kancing kalo perlu. Tapi giliran disuruh ngarang tugas Bahasa Indonesia, malah mikir. Iya, iya. Otak aku emang secetek itu.
Jam istirahat, Andra mendatangi kelasku untuk mengajak ke kantin. Aku duduk di kursi pojok, menunggu cowok itu memesan makanan sembari menopang dagu.
"Satu mangkok bakso, nggak pake saus, nggak pake sambel, juga nggak pake kol." Andra mengoceh sembari menyodorkan makanan ke wajahku, memaksa uap panas membuat aku berjengit.
"Kaya lagu," sahutku, dia terkekeh kemudian duduk di kursi panjang di depanku. Meja kantin yang tidak terlalu besar membuatnya leluasa mengusap kepalaku, dan menyuruh makan. Sumpah deh, kadang aku suka ngerasa kayak hewan peliharaan yang dikasih empan sama majikannya.
"Gimana nagih uang kasnya, lancar?" tanyanya setelah mengaduk bakso dan menambahkan beberapa sendok sambal di sana.
"Boro-boro," keluhku. Dia mendongak, menyimak curahan hatiku yang selalu sama. "Gue nggak cocok jadi bendahara deh kayaknya. Setiap gue nagih, jiwa kaum dhuafa mereka tuh pada keluar."
Andra tertawa, kembali mengusap kepalaku pelan. "Sabar, dong. Tapi nggak semua kan?" tanyanya. Aku membenarkan, memang ada sih beberapa yang lancar dan mengerti dengan kewajiban mereka itu. Tapi tetep aja, sepuluh banding seratus. Untung uang jajanku fotonya Soekarno Hatta, murah senyum. Coba kalo kapitan Pattimura, udah sangar. Bawa golok pula.
"Gue bosen deh, Ndra. Udah kelas sebelas masa masalah gue cuman seputar nagih uang kas, sih. Dimana masa SMA yang katanya penuh warna coba. Gue pengen punya pacar. Gimana kalo kita jadian?"
"Uhukk, uhuk!"
Mendengar pertanyaanku itu, dia malah terbatuk hebat. Aku memutar bolamata, nggak berminat meredakan batuknya, hanya menggeser segelas air minum yang kemudian diteguknya dengan rakus. Wajahnya merah, entah karena pertanyaanku, atau karena tersedak barusan. Entahlah.
"Ngaco!" omelnya saat batuknya mulai reda, tangan kanannya masih menepuk-nepuk dada. "Lo ngajak jadian, sama kaya ngeramal entar sore bakalan hujan. Lempeng amat muka lo," lanjutnya dengan wajah serius, aku mengerutkan dahi. Mana pernah sih aku ngeramal hujan. Dia nih yang ngaco.
"Lah emang musti gimana?" tanyaku, dia tampak mendengus. Kesel banget kayaknya.
"Ya seenggaknya, malu-malu, kek, ragu, atau malah grogi gitu."
Mendengar usulnya aku tertawa, "Gue ngerasa nggak harus bersikap kaya gitu. Gimana dong."
"Ya berarti lo nggak serius," tukasnya. Aku refleks mencebik. Teganya dia meragukan keseriusanku. "Gue nggak kepikiran sih, jadi pacar lo," lanjutnya, aku mendongak.
"Kenapa?" tanyaku.
"Lo tuh ngajak jadian cuman karena ngerasa nyaman sama gue, bukan karena suka dalam hal pengen pacaran. Pacaran itu nggak se-simpel lo yang tiap hari minta dianter jemput gue k emana-mana," ucapnya panjang lebar, aku tertegun. Baru sadar jadi selama ini peran Andra untukku semacam tukang ojek pribadi dong. "Lagian lo telat, gue udah punya cewek," tambahnya yang seketika membuat hatiku memanas, nafas sesak, jantung berdebar-debar, lemas. Kayaknya maag ku kambuh deh.
"Lo nggak apa-apa, Ca?" Aku nggak sadar udah melamun sembari memegangi dada, Andra terlihat khawatir.
Patah hati rasanya kenapa bisa seberlebihan ini sih? Aku pikir hanya cerita novel saja yang penulisnya terlalu hiperbola tapi ternyata ... Eh, tunggu. Patah hati?
"Gue ke kamar mandi dulu." Aku berlari meninggalkan Andra yang terdengar memanggil namaku, aku terus berlari.
Aku benar-benar kekamar mandi, tapi tidak masuk ke salah satu biliknya, malah terus ke belakang dan duduk bersandar di sana. Menangis. kenapa sakit maag bisa semenyedihkan ini sih.
Sepasang sepatu berhenti di hadapanku, aku mendongak, pemiliknya menatapku bingung. Refleks aku berdiri dan menghindar beberapa langkah.
"Kenapa?" tanyanya, aku menoleh ke kanan kiri, memastikan bahwa pertanyaan itu ditujukan untukku. Bukannya menjawab tenggorokanku malah tercekat, takut. Pandangan cowok yang bernama Revan itu melirik ke samping kananku. Tuh, kan. Tatapan matanya itu seolah pengen bilang ....
"Cukup," aku menyela, saat dia membuka mulut seolah ingin berbicara. Telapak tanganku teracung ke hadapannya. "Kalo lo mau bilang ada yang ngikutin gue, gue nggak takut. Bilangin, gue nggak takut." Entah kenapa suaraku sedikit bergetar.
Revan kembali menolehkan pandangannya ke sampingku. "Lo udah denger kan?" ucapnya entah pada siapa, kepalaku mulai pening.
"Iya, gue denger."
Aku menoleh, ternyata Andra yang mengikutiku. Setelah menepuk pundak Andra, Revan pergi begitu saja.
Andra menjentikkan jarinya di depan wajahku. "Kenapa lo tegang banget sih?" tanyanya.
"Gue pikir dia mau bilang kalo di sebelah gue ada setan."
"Lah, gue dong setannya?"
Aku berdecak, "Dia itu anak indihome, tau. Wajarlah kalo gue takut," ucapku yang malah membuatnya tertawa.
"Indigo, Natasya," ralatnya, dengan gemas dia mengacak rambutku. kemudian menarik tanganku untuk mengantar ke kelas.
"Gue kelilipan tadi, bukan nangis," ujarku mencoba meyakinkan, dia mengangguk.
"Tapi kelilipan semut, makanya airmatanya banyak."
"Iya," jawabnya, entah dia yang bodoh atau aku yang kelewat pinter berbohong, kok bisa ya dia percaya. Tapi baguslah.
Dikelas, aku yang merasa murung menenggelamkan kepalaku di atas meja.
"Kenapa?" tanya cowok yang duduk di depan mejaku, Ken. Cowok genius yang biasa memberikan contekan. Aku mendongak.
"Nggak apa-apa, Ken. Cuman capek aja," jawabku, kembali tenggelam di balik lengan yang terlipat di atas meja.
"Kenapa lo Ca?"
Rani menaiki meja dan menduduki kursi pojok di sampingku, cewek petakilan ini adalah sahabat sekaligus teman sebangku yang kadang nggak berguna buat diharapin contekannya. Aku menopang dagu, menimbang untuk bercerita atau tidak, namun akhirnya kuceritakan juga tentang Andra yang membuatku patah hati.
"Yaelah, Ca. Gitu doang juga." Tanggapannya selalu bikin aku keki, tapi entah kenapa aku betah ya temenan sama dia. "Di langit itu ada beribu-ribu bintang, mati satu nggak akan membuat bumi merasa kehilangan," ucapnya, dan yang kutangkap dari ocehannya barusan adalah.
"Emang bintang bisa mati ya?"
Rani memutar bola mata jengkel, "Maksudnya gini loh, Ca. Lo kan cantik, meskipun rada oon emang—"
"Makasih," sarkasku, dia menyeringai.
"Dengerin dulu apah, maksud gue tuh lo kan banyak yang suka, lupain aja si Andra, masih banyak kok yang mau sama lo," ucapnya yakin, aku mulai berpikir, kemudian berkata.
"Ran, lo belum bayar uang kas ya?" dan dia pura-pura pingsan, sudah biasa.
Omongan Rani ada benarnya, sampai malam aku masih memikirkan hal itu hingga akhirnya aku putuskan keluar rumah dan membeli makanan, berpikir membuat perutku terasa lapar. Untung aku malas mikir, kalo pinter kebanyakan mikir bisa mati kelaparan deh.
"Mau kemana? Woy, tungguin."
Aku menoleh, cuma tetangga sebelah rumah, aku membuang muka kembali melangkah. Ternyata dia mengejar dan berjalan mundur di hadapanku.
"Mau kemana si, tumben nggak ngajak-ngajak," godanya.
"Ngapain lo ngikutin gue, nggak ngapelin cewek lo."
Iya, dia Andra, cowok yang bikin aku kesel seharian, Andra tertawa, kemudian berjalan di sampingku. "Muka lo keki amat," godanya, menjawel daguku.
"Gue nggak cemburu, tenang aja."
"Siapa yang nuduh lo cemburu," protesnya, bener juga ya kenapa aku bisa sebodoh itu. "Lagian gue nggak punya pacar," lanjutnya yang entah kenapa memberikan efek riang gembira di hatiku.
"Kan tadi siang lo bilang udah punya cewek."
Dia menoleh, tersenyum aneh. "Abisnya lo nangis sih," balasnya yang membuat aku terkejut.
"Jadi lo nggak percaya gue kelilipan semut?"
"Gue nggak sebodoh lo, Ca," tukasnya. Kesel banget aku dengernya. "Gimana kalo kita sahabatan terus sampe tua, gue atau lo jangan ada yang punya pacar."
mendengar itu, aku menoleh, yang kutangkap dari omongannya barusan adalah friendzone seumur-umur. "Amit-amit."
Andra menyentil keningku, "Maksudnya tuh, kita sahabatan sampe nanti kita menikah, gue sama lo."
Sinyal di otakku mendadak hilang, muter-muter, kuotanya habis.
"Lama deh loadingnya." Sudah dua kali Andra menyentil keningku, kemudian berjalan lebih dulu. Aku mengejarnya.
"Tanggal berapa sekarang, Ndra? Ingetin buat anniversary nanti."
"Nggak ah, ribet."
"Iih, valentine nanti kasih gue coklat yah."
"Nggak ngerayain."
"Panggilan sayangnya abi umi ya, Ndra."
"Males, males, males."
"Andra!!"
*****
Written by dedewarsiah
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top