Menjadi Berharga
Mataku seketika terbuka saat ada kelontang nyaring dari lantai bawah. Senyaring itu hingga aku bisa mendengrnya dengan jelas. Tak mau peduli, aku melangkah ke kamar mandi. Aku butuh membasuh diri sebelum harus berangkat ke sekolah.
Hampir satu jam kuhabiskan untuk bersiap. Kusampirkan tas di pundak, lalu keluar kamar. Aku menuruni tangga. Saat itulah netraku menangkap sosok seorang perempuan di dapur. Sosok yang sangat familier dan tentu saja membuatku muak.
Aku terhenti di ruang tamu saat seorang lelaki muncul dari salah satu kamar. "Udah mau berangkat? Enggak mau sarapan dulu?"
Pertanyaannya membuatku menoleh sejenak ke arah perempuan yang masih berkutat dengan segala perkakas dapur. "Belom laper. Bisa makan di sekolah," ujarku ketus sambil memalingkan wajah.
"Mau Kakak anter?" tawarnya lagi.
"Enggak. Makasih. Urusin aja pacar Kakak. Jangan sampe bikin rumah kebakaran," balasku cuek sambil melangkah keluar. Membiarkan tatapan hampa yang sempat kutangkap.
Aku berangkat dengan ojek online pesananku. Selama perjalanan, aku hanya bisa menggerutu dan merutuk. Aku sudah terlalu muak dengan hal-hal yang akhirnya jadi sebuah kebiasaan baru.
Ya, orang tuaku ada di luar kota. Meninggalkanku berdua dengan kakakku. Katanya ada urusan. Entah apa. Sampai-sampai mereka menghabiskan waktu hampir tiga tahun berjauhan dengan kami. Keadaan ini juga yang akhirnya membiarkan kenakalan kakakku merajalela. Sejak setengah tahun terakhir, aku selalu menemui perempuan yang sama, di tempat yang sama.
Kalian tak salah kira. Kakakku memang membawanya. Mengajaknya menginap setiap malam. Namun, jangan tanyakan padaku apa mereka tidur sekamar atau apa yang mereka lakukan. Itu bukan urusanku. Namun, karena itu juga aku merasa tak berharga ada di sini. Karena kakakku selalu lebih mementingkan kekasihnya dibanding aku, adiknya sendiri. Perhatiannya hanya basa-basi. Ajakannya hanya untuk mendekatkanku dengan perempuan yang ia puja itu.
Aku turun dari motor saat motor itu berhenti tepat di depan pos satpam. Mengembalikan helm, membayar ongkos dan melepas jaket yang sedari tadi melindungi tubuhku. Kulilitkan jaket berwarna merah muda itu dipinggang. Aku malas menenteng apalagi memakainya.
Dengan langkah santai, aku menuju kelas. Railete. Kelas yang menjadi arena bermain bagiku. Bukannya kenapa. Aku hanya merasa bebas dan tak tertekan. Kecuali jika sudah bertemu Aca, bendahara kelas yang suka malak di depan pintu setiap Jumat.
Aku menaruh tasku tepat di sebelah seorang perempuan yang duduk diam sambil membaca novelnya. Dia teman semejaku, Shilla. Aku hanya bisa ikut duduk diam hingga bosan.
Aku memandang sekeliling. Melihat kira-kira siapa yang bisa kuganggu. Netraku menangkap sebuah punggung yang berjarak satu meja di depanku. Lagi, seorang pendiam. Sasaran yang tepat.
Tanpa menghiraukan Shilla yang masih asik dengan novelnya, aku beranjak. Melangkah santai menuju sebuah kursi kosong di meja terdepan. Kubuka ponsel. Kugulirkan menuju salah satu aplikasi jual beli yang terkenal di Indonesia. Mengetuk sebuah gambar yang menunjukkan visual sebuah barang.
Dengan santai, aku mendudukkan tubuhku di kursi kosong di samping perempuan itu. Tampak ia terkejut. Aku hanya bisa terkekeh geli melihat responsnya.
Aku mengulurkan ponselku. Menunjukkan layar yang tengah menampilkan jaket incaranku. "Bel, Bel! Menurut lo, gue harus pilih mana? Yang ini keliatan lebih imut, 'kan, ya?"
Aku kembali terkikik geli saat matanya masih saja membulat. Namun, tak lama keterkejutan itu memudar, berganti sebuah senyuman. Kami tenggelam dalam obrolan dan perdebatan sengit tentang pilihan kami masing-masing.
Tanpa sadar, perbincangan kami telah melebar ke berbagai hal. Mulai dari fashion, buku, hingga lagu. Satu hal yang akhirnya kutangkap dari Abel. Dia tak seburuk yang kukira.
Dulu, kupikir dia adalah siswi paling pendiam yang pernah ada di kelas ini. Namun, ternyata Abel cukup asik. Walaupun harus kuakui, aku butuh effort lebih untuk membuatnya terus berujar. Dan mungkin, ia juga harus lebih bisa menyesuaikan diri dengan semua penghuni kelas.
Bel tanda masuk telah berbunyi. Aku pun kembali ke tempat duduk karena si empunya kursi telah kembali. Aku mendudukkan tubuh, bersiap membebalkan telinga.
****
Waktu terasa begitu cepat berlalu. Tahu-tahu, aku sudah kembali ke rumah. Sebenarnya, tadi aku mengajak Abel untuk hangout sebentar. Setidaknya ke kafe yang tak jauh dari sekolah. Namun, Abel menolak dengan alasan yang juga tak begitu kumengerti. Akhirnya, aku mengalah. Aku juga tak bisa mengajak yang lain karena memang aku tak seakrab itu. Hanya sekadar jahil.
Aku mendengus saat netraku langsung disuguhi pemandangan menjemukan di balik pintu. Apa lagi kalau bukan kakakku yang tengah bermesraan dengan kekasihnya? Mereka pun seolah tak risi dengan kedatanganku. Tubuh mereka seolah telah direkatkan oleh lem super hingga tak mau terlepas. Memuakkan.
"Hei, Cla. Udah pulang. Mau makan siang?" sapa kakakku dengan senyumnya.
Aku melangkah masuk dengan acuh. Sebodoh dengan semua sapaan dan panggilan itu. Tak peduli juga dengan tawaran makan siang bersama. Bagiku, itu semua tak akan membuat rasa muakku memudar begitu saja. Justru malah bertambah.
"Clarinta, Kakak ada novel baru lho. Kamu enggak mau baca?" Kini hiliran perempuan itu yang menawarkan sesuatu. Menyebalkan.
Aku langsung menuju kamar. Melempar tubuh ke atas tempat tidur tanpa bersusah payah mengganti pakaian. Aku terlalu lelah dengan kehidupan.
Aku meringkuk. Otakku seakan kosong. Aku tak bisa memikirkan apapun dengan benar. Banyak yang ingin kulakukan, tapi rasanya tubuhku sangat tak bertenaga.
Aku beringsut. Berjalan menuju nakas di seberang tempat tidur. Terduduk di sebuah kursi kecil, tempatku duduk mematut diri. Di atas nakas, tampak sebuah pigura yang hampir usang.
Ada potret kami yang masih harmonis. Aku mungkin masih berusia lima tahun saat itu. Sedangkan kakakku sudah 13 tahun. Ada mama dan papa yang mengapitku duduk di sofa dan kakakku di belakang.
Aku tersenyum pahit. Itu hanya kenangan lalu. Sampai hai ini aku tak pernah tahu pasti apa alasan di balik kepergian mereka. Aku yakin bukan karena bisnis atau semacamnya. Namun, tak ada satupun pertanyaan yang terjawab. Dan itu makin membuatku merasa tak berharga. Rasanya seperti aku tak pernah diinginkan.
Jemariku bergerak menarik sebuah laci. Isinya berserak. Berantakan. Ada tali, cutter, silet, botol-botol kaca mungil berwarna gelap, dan masih banyak yang lain. Saking merasa tak beharga, aku sempat berpikir untuk mengakhiri hidup. Mungkin lebih baik seperti itu.
Namun, semua itu tak berhasil kulakukan. Selalu ada yang membuatku terhenti. Apalagi setelah aku menjadi salah satu bagian dari Railete. Ada sisi diriku yang lain yang seolah terbangun dari tidur panjang. Aku merasa lebih hidup di sana, bukan di rumah.
Kututup laci itu dan kembali ke tempat tidur. Aku meraih ponsel yang tadi ikut sedikit terlontar. Aku berencana untuk memekakan telinga dengan musik bervolume keras. Namun, semua itu terhenti saat sebuah notifikasi muncul di layar ponsel.
Abel.
Aku hanya bisa tersenyum saat melihat isi pesannya. Ya, mungkin aku memang harus membantu seseorang mengubah sesuatu.
Menyenangkan.
Untuk pertama kalinya aku merasa berharga.
******
Written by puyu_putri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top