Manusia Buatan Teknologi dan Cinta
Alvi Syahputra, seorang lelaki tampan yang selalu berhasil menyimpan ketampanannya. Meskipun memiliki banyak kelebihan, tapi nyatanya ia adalah seorang penyendiri yang jauh dari kehidupan masyarakat.
Tak seorang pun mampu memahaminya. Setidaknya itulah yang ia pikirkan. Baginya manusia bukanlah makhluk sosial sejati. Tidak seharusnya manusia bersosialisasi secara berlebihan. Menurutnya hal itu hanya akan membawa kekacauan.
Alvi berjalan memasuki kelas . Tepat di depan pintu, ia dihadang oleh seorang siswa perempuan. Wanita itu menatapnya dengan tajam dan penuh kebencian.
Dari tatapannya itu, Alvi tahu apa yang akan dilakukannya setelah ini. Dengan begitu Alvi hanya bisa menghela napas sembari menyuruh gadis itu menyingkir.
“Uang kas udah dua bulan belum lo bayar,” ucapnya.
“Nanti kubayar kalau ada uang,” balas Alvi dengan santainya.
“Mau kapan lagi lo bayar? Nanti tunggu habis semester?”
“Sekalian tamat sekolah,” ujar Alvi sebelum melenggang pergi. Sementara Gadis bernama Aca yang bertugas sebagai bendahara itu masih mengomel atas tindakan Alvi.
Alvi langsung menuju meja tempat duduknya di paling depan. Lebih tepatnya di barisan kedua dari pintu masuk. Meskipun duduk di barisan terdepan, Alvi hanya duduk seorang diri. Bisa dibilang sebagian besar siswa di kelas tak mau duduk berdua dengannya.
Tiba-tiba seorang gadis perempuan dengan rambut yang duduk di meja sebelah berbicara, “Alvi, tugas mtk udah siap?”
Dengan tegas dan tak bertele-tele Alvi menjawab, “belum.”
Seketika gadis bernama panggilan Ica itu langsung berdiri. Ia mendekati meja Alvi dengan maksud menagih tugas itu secara lebih halus.
“Alvi, itu tugas seharusnya dikumpul dua minggu yang lalu, lho. Dan kamu tau sendiri kan kalau pak Junaedi itu kejam. Nanti kamu bisa diomeli.”
Meski sudah berbicara panjang lebar, nyatanya Alvi tak peduli sedikitpun. Ia malah sibuk membaca buku novel romance yang baru dibeli olehnya kemarin. Itu adalah salah satu kebiasaannya dan bisa dibilang sebagai kesukaannya. Walau ia tidak mau menyebutnya sebagai hobi. Aneh memang melihat seorang lelaki dingin dan irit bicara malah membaca novel romantis.
“Alvi, seenggaknya dengerin aku bicara dong.”
“Iya, aku dengar.”
Tiba-tiba Alvi menutup buku yang dipegangnya. Lantas ia membuka tas yang tergantung di tepi mejanya. Tampak jelas beberapa novel yang semuanya bergenre romance tersusun rapi di dalamnya. Bahkan Ica sampai sedikit kaget melihatnya.
Brakk!
Alvi membanting setumpuk buku itu ke atas meja. Suara benturannya yang besar menggema di dalam kelas hingga membuat seluruh siswa melihat ke arah mereka berdua.
“Baca dalam seminggu!” ucap Alvi dengan tegas
“Eh? Ma-mana mungkin aku bisa!” Tanpa sadar Ica merentangkan tangannya hingga menjatuhkan buku-buku novel milik Alvi tadi dan tangan sebelahnya tertabrak oleh Revan.
Pria bernama Revan itu menatap tajam. Bukannya ke arah Ica namun ke bangku sebelah Alvi yang kosong tanpa penghuni.
“Maaf, Revan. Maaf,” ucap Ica panik sembari membungkukkan badannya beberapa kali.
Revan hanya mengangguk. Kali ini ia menatap Alvi dengan tajam. Seolah-olah ia ingin mengatakan sesuatu kepada Alvi.
Sesaat setelah Alvi menyadari bahwa ia di tatap, ia langsung mengalihkan pandangannya dan berbalik menatap tajam kepada Revan. Saat itu pula Revan beranjak pergi.
“Sebaiknya lo percaya bahwa mereka memang ada.”
“Aku gak percaya. Bahkan nggak percaya kau manusia.”
Percakapan terhenti. Hanya begitulah kira-kira obrolan mereka setiap harinya. Sekilas memang terlihat seperti musuh bebuyutan. Namun faktanya mereka adalah teman yang selalu bersama di SMA.
“Sebaiknya kamu membereskan semuanya,” ucap Alvi sembari menunjuk ke bawah meja, tepatnya ke arah buku-buku yang berserakan. “Kalau gak mau kena masalah dengan pak Junaedi.”
“Oh, iya, benar juga.”
Ica pun langsung memunguti novel-novel itu. Kemudian ia meletakkannya kembali ke meja Alvi.
“Bawa pulang dan bawa kembali dalam seminggu.”
“Eh??!! Tapi—“
“Tidak ada penolakan.”
Pada akhirnya Ica harus membawa buku itu dengan terpaksa. Dalam hatinya tak ada niatan untuk membaca semuanya. Yang ada malah ia ingin berbohong dengan Alvi. Lagian itu memang mustahil mengingat tugas yang diberikan oleh guru juga banyak. Jadi tak mungkin Ica bisa membaca semuanya dalam kurun waktu seminggu.
Tak terasa seminggu sudah berlalu, selama periode itu tak banyak interaksi antara Alvi dan Ica kecuali masalah tugas.
Hari ini Alvi memasuki kelas seperti biasa. Ia masih saja dihadang oleh bendahara yang selalu ingin menguras uangnya dan berinteraksi dengan Revan meski tidak banyak berbicara.
Namun ada yang berbeda. Hari ini, Ia tidak langsung duduk di bangku dan membaca novel tetapi singgah sejenak ke meja Ica untuk menagih novelnya.
“Ah, iya. Aku sudah membaca semuanya,” kata Ica sembari mengeluarkan seluruh buku yang dipinjamkan oleh Alvi.
“Kenapa Rena mati dalam novel ‘slow’?” tanya Alvi secara tiba-tiba
Ica terdiam agak lama. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. Jantungnya berpacu kencang karena panik. Secara tak sadar, ia mematahkan pulpen yang sedang di genggamnya. Hal itu dilakukannya karena rasa panik.
“Maaf,” ucapnya pelan. “Aku belum membaca semuanya. Habisnya, kamu tau sendiri, kan kalau tug—“
Ica langsung terdiam tatkala ia melihat Alvi memasang wajah yang agak kecewa. Ia sedikit merasa bersalah karena tak memenuhi keinginan Alvi. Akan tetapi di satu sisi, ia merasa bahwa apa yang dilakukannya sudah benar. Mana mungkin dia bisa membaca seluruh novel yang begitu banyak dalam kurun waktu tujuh hari. Padahal membaca satu saja butuh waktu dua hari.
“kalau begitu, ada hukumannya,” ucap Alvi.
“Eh? Ka-kamu gak bila—“
Seketika Alvi sudah kembali duduk di mejanya. Ia hampir tak melirik sedikit pun pada Ica dan itulah yang membuatnya merasa semakin aneh. Mungkin ia telah keterlaluan karena sudah membohonginya.
Sementara Alvi tetap merasa santai. Ia bahkan tak peduli dengan hukuman yang dikatakannya pada Ica tadi. Malahan dia merasa senang bisa kembali membaca novel kesayangannya yang sudah puluhan kali dibaca ulang.
Bel masuk berbunyi dengan nyaring. Mendadak Alvi terdiam seperti orang bodoh. Dia merasa ada sesuatu yang aneh. Sepertinya itu sangat penting. Tapi apa? Apa hal yang dilupakannya? Entahlah, dirinya pun tak tahu sebelum akhirnya ia membuka tas dan menyadari baju olahraga miliknya tidak ada di dalam sana.
Dia menepuk dahi beberapa kali. Semangatnya berkurang karena ia terpaksa harus tak ikut pelajaran olahraga. Padahal pelajaran itu yang paling disenangi olehnya. Yah, itu pun karena dia bisa sedikit santai di tengah kesibukan setiap hari.
“Alvi, kamu juga gak bawa baju olahraga?”
Alvi menoleh. Melirik wajah manusia yang menyapanya. Ternyata dia adalah Ica. Memang selama ini hanya gadis itulah orang yang paling sering berinteraksi dengannya.
Alvi hanya mengangguk. Sebenarnya dalam hati dia merasa sedikit bahagia karena bukan hanya dia sendiri yang tidak membawa baju olahraga yang menurutnya sangat jelek itu. Tapi benarkah dia senang karena itu? Atau mungkin dia merasa senang karena cewek bernama Ica itu ada di sini bersamanya? Entahlah, bahkan Alvi sendiri pun tak tahu tentang hal itu.
Alvi berdeham, membuat cewek itu mengalihkan pandangan kepadanya.
“Aku suka,”
Alvi kaget. Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya. Dia sendiri tak tahu mengapa bisa mengucapkan hal seaneh itu. Perasaan aneh yang belum pernah dirasakannya mulai menguasai hati. Apa sebenarnya perasan itu? Itulah yang tak diketahui.
Secara spontan Ica menjatuhkan tas yang masih berada di genggamannya. Semua isi di dalamnya berserakan ke lantai. Ia memegangi wajah, berharap tak menampilkan rona merah yang mengindikasikan bahwa dirinya tengah tersipu.
“A-apa yang kamu—“
“Rambutmu,” sela Alvi dengan ekspresi datarnya yang khas.
“Eh? Rambutku ... ternyata,” ucapan Ica memelan di akhir kalimatnya.
“Ngomong-ngomong Alvi, apa kamu pernah jatuh cinta?”
Alvi melirik sedikit. Apa yang dikatakan oleh gadis itu tadi? Cinta? Jawabannya sudah jelas, kan? Alvi tak pernah jatuh cinta karena itu adalah hal yang tak berguna. Tapi benarkah demikian? Apa sebegitu mustahilnya bagi Alvi untuk jatuh cinta? Atau malah dia sudah jatuh cinta tanpa sadar. Hal itulah yang masih menjadi pikiran terbesarnya selama ini.
“Tidak.” Jawaban singkat yang keluar dari mulutnya benar-benar memberikan kesan ragu. Itu karena ia memang tak tahu jawaban pastinya.
“Alvi banget, ya,” ujar Ica dengan seulas senyum terlampir di wajahnya.
“Mungkin enggak masalah jika denganmu,” gumam Alvi.
Alvi memalingkan wajah ke arah lain. Hatinya bergejolak dengan ratusan perasaan saling beradu. Entah apa yang terjadi pada pemikirannya. Rasa berdebar-debar saat bertemu dengan Ica, dan sensasi yang berbeda saat berada di dekatnya. Mungkinkah itu benar-benar cinta? Selain itu dia telah mengatakannya tadi. Sebuah kalimat yang keluar tanpa izin darinya. Benarkah itu karena cinta?
Kalau dipikir-pikir, Alvi masih belum melihat reaksi Ica. Mungkin ada baiknya jika dia melihatnya. Gadis itu pasti akan memasang wajah ketakutan atau apa pun di luar harapannya.
Setelah beberapa kali membuang dan menarik napas serta dengan segenap mental yang sudah terkumpul dalam hati, Alvi memberanikan diri untuk menoleh.
“Maaf, lupakan saj—“
Kata-katanya terhenti begitu melihat Ica menunduk. Rona merah menutupi sebagian wajah. Air mata berlinang keluar dari netranya. Namun ekspresinya tidak menyiratkan kesedihan. Malah sebaliknya, ia tersenyum hingga menampakkan gigi-giginya.
“Kamu ... serius?” tanya Ica dengan pelan, sangat pelan hingga Alvi hampir tak bisa mendengarnya.
Tiba-tiba Alvi merasa bahagia. Perasaan yang tadi tak dimengerti olehnya kini jelas sudah. Jika diingat-ingat ulang, tidak ada hak istimewa yang membuatnya suka dengan Ica. Hanya kegigihan untuk dapat berinteraksi dengannya yang membuat Alvi memiliki kekaguman hingga perasaan cinta padanya. Hal itulah yang saat ini bisa membuatnya tersenyum untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
“Manusia buatan teknologi berwajah tembok sepertiku tak akan bisa merasakan cinta kecuali pada orang yang aneh.”
Ica tersentak. Buru-buru ia menghapus air mata yang sejak tadi mengalir. Lantas ia mendongak untuk menatap Alvi.
Senyum indah mengembang di wajah Alvi. Untuk seseorang yang tak pernah berekspresi, bagi Ica itu sangat luar biasa. Ia belum pernah melihat hal seindah itu sebelumnya. Seketika ia sadar bahwa usahanya selama ini tidaklah sia-sia. Orang yang pernah di anggapnya sebagai teknologi buatan manusia itu ternyata bisa memiliki perasaan cinta. Benar apa kata orang bahwa:
“Cinta perlu perjuangan.”
*****
Written by Dhikayo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top