Ketua Kelas yang Tak Dianggap
Bola-bola kertas melayang di udara, terdengar beberapa murid lelaki di belakang menabuh meja, gelak tawa nyaring dari para murid perempuan yang sedang asyik mengobrol menambah kegaduhan di dalam ruangan. Di salah satu bangku barisan terdepan, Ken duduk dengan tenang sambil menyilangkan tangan di dada, meskipun dari tadi teman-temannya ribut dan menimbulkan kebisingan di kelas, dia tetap bergeming seperti sama sekali tidak peduli.
Ken mengerti sebagai ketua kelas dia seharusnya menjaga ketenangan dan ketertiban di kelasnya. Namun, itu tidak dilakukan olehnya karena dia bukanlah seseorang yang senang mengatur atau memberi perintah. Menjadi ketua kelas pun bukan atas kehendaknya sendiri, melainkan dia terpilih berdasarkan suara terbanyak dari teman sekelasnya. Karena tidak ada yang mau mengajukan menjadi ketua kelas, terpaksa pada saat itu Bu Anjani sebagai wali kelas harus menyuruh murid-muridnya untuk memilih sendiri di secarik kertas siapa kira-kira yang pantas menjadi ketua kelas dan orang yang terpilih tidak boleh menolaknya.
Dan terpilihlah Ken. Dia tidak tahu apa untungnya menjadi ketua kelas. Dia tidak mendapat nilai tambahan atau penghargaan apa pun, yang ada dia hanya direpotkan oleh tugas-tugas tidak penting yang dibebani kepadanya sebagai ketua kelas seperti memfotokopi, membuat jadwal piket, ditanya paling pertama ketika ada teman di kelasnya yang tidak masuk tanpa keterangan, dan terkadang disuruh membuat kopi oleh gurunya. Daripada disebut ketua kelas, Ken merasa jabatannya ini lebih tepat dinamakan sebagai babu kelas. Hal itu yang membuat Ken jengkel kepada teman-temannya karena membuat dia berada di posisi seperti sekarang ini.
Bodo amat, pikir Ken. Biarkan para guru mengetahui betapa bobrok kelakuan murid-murid di kelasnya. Tak apa kalau akhirnya dia disalahkan karena tidak becus, sebab murid lelaki berkacamata itu memang berharap demikian. Dia jadi punya alasan untuk mengundurkan diri dan terbebas dari segala macam urusan yang tidak ada sangkut pautnya dengan pelajaran.
Dia sudah menyerah. Pernah sekali waktu Ken mencoba untuk mengatur teman-teman sekelasnya agar bisa lebih tenang dan tidak terlalu ribut, namun ucapannya tidak pernah didengarkan. Dia adalah ketua kelas yang tak dianggap.
Lagi pula Ken merasa murid-murid di kelasnya banyak yang berperilaku aneh. Ada temannya yang tiap hari ngemut lolipop, ada pula yang asyik dengan dunianya sendiri, bahkan katanya ada yang bisa lihat makhluk halus. Dia tidak akan terkejut bila suatu saat terungkap bila diantara mereka ada manusia buatan atau malaikat maut yang menyamar menjadi murid sekolah di kelasnya.
Ken beranggapan cuma dia yang normal, padahal tidak juga. Sebab, tidak seperti kebanyakan murid-murid sekolahan, Ken sangat senang belajar. Mengerjakan tugas pelajaran adalah hobinya. Oleh karena itu, dia akan kesal bila ada guru yang tidak memberikan PR setelah pulang sekolah. Otaknya akan terasa gatal bila sehari saja tidak dipakai untuk berpikir.
Semua buku pelajaran tahun ini sudah habis dibaca. Lembar latihan soal pun telah diisi tanpa tersisa. Ken sudah melakukan itu semua tanpa harus menunggu perintah dari para gurunya. Selain bisa dikatakan rajin, ada kemungkinan lain bila Ken memang terlalu banyak waktu luang.
Ken sering menjauhkan diri dari teman-temannya. Setiap diajak jalan-jalan ke mal atau nongkrong di kafe, dia selalu menolak tanpa pikir panjang. Baginya itu hanya membuang waktu. Ken lebih suka mengurung diri di kamar sambil membaca buku pelajaran dan mengisi teka-teki silang. Daripada uang jajannya dihabiskan untuk minuman mahal di kafe, lebih baik dia gunakan untuk membeli buku.
Hanya satu orang di kelasnya yang menarik perhatian Ken. Murid itu dipanggil Aca. Bendahara di kelasnya yang selalu cerewet bila sedang menagih uang kas. Gadis manis yang memiliki kulit putih bening dengan rambut panjang yang indah. Ken tidak pernah bosan memandang kecantikan gadis itu, dan dengan ini kita bisa menyimpulkan bahwa seorang kutu buku yang paling parah sekalipun adalah lelaki normal.
Sayangnya, perasaan Ken terhadap Aca bertepuk sebelah tangan. Sebagai murid yang selalu memikirkan segala sesuatunya seratus langkah ke depan, dia telah melakukan berbagai simulasi di dalam otaknya untuk mendapatkan hati gadis itu, namun hasil dari perhitungannya tetap sama; cintanya akan tetap ditolak.
Mengisi cinta di hati seorang gadis lebih sulit daripada mengisi jawaban di lembar soal Matematika. Apalagi Ken mengetahui bila hati Aca sudah terisi oleh cinta pemuda lain. Oleh sebab itu, mungkin inilah yang terbaik. Aca tidak perlu tahu perasaan cinta di hatinya, asalkan dia bisa terus berada di dekat gadis itu.
Ken mengecek arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, dan menghitung sudah lewat lima menit sejak bel masuk berbunyi. Pak Junaedi, guru yang mengajar hari ini masih belum terlihat di kelas. Ken mendorong kacamatanya yang sedikit melorot, setelah itu dia mulai memikirkan berbagai kemungkinan di dalam kepalanya.
Ken mencoba menerka-nerka apa yang menyebabkan Pak Junaedi datang terlambat. Kemungkinan pertama yang terbesit di benaknya adalah hari ini gurunya sedang sakit dan izin tidak masuk. Namun, seketika dia teringat bila motor bebek tujuh puluh gurunya itu sudah terparkir di depan pos satpam. Hanya satu kemungkinan lain yang terpikirkan oleh murid berkacamata itu; ulangan dadakan.
Ken dapat membayangkan Pak Junaedi kini tengah kerepotan menyiapkan kertas-kertas soal ulangan yang menumpuk di meja kerjanya. Setelah capek bolak-balik memfotokopi lembar-lembar soal, gurunya itu bakal rehat sejenak, dan menyeduh kopi dahulu sebelum datang ke kelasnya. Lima menit, Ken memprediksi waktu yang diperlukan Pak Junaedi untuk menghabiskan kopinya.
Ken pernah menghitung waktu yang dihabiskan untuk berjalan dari ruang guru ke kelasnya tidak lebih dari tiga menit. Itu berarti sekarang Pak Junaedi sedang berjalan di lorong sekolah dan sebentar akan sampai.
Beberapa saat kemudian, masih di tengah-tengah kebisingan kelasnya, Ken dapat mendengar suara langkah kaki di lorong sekolah semakin mendekat. Dia pun berdiri sambil merapikan seragamnya. Seketika suasana hening, dan semua teman-temannya ikut berdiri.
Pak Junaedi masuk kelas dengan membawa setumpuk kertas di tangannya. Dengan aba-aba dari Ken, semua murid memberi salam kepada guru yang cukup ditakuti itu.
"Selamat pagi juga, Anak-anak, "kata Pak Junaedi. "Hari ini kita adakan ulangan."
Murid-murid kembali duduk tanpa berkata-kata. Meskipun teman-temannya seakan terlihat tenang, Ken tahu bahwa sebenarnya mereka panik. Terlebih Aca, wajah yang tadinya tampak ceria berubah pucat seketika.
Tidak bisa dibiarkan. Ken menatap ke arah Pak Junaedi dan pandangan mereka langsung bertemu. Setelah itu Pak Junaedi berkata, "Ken, bantu Bapak membagikan lembar soal ini."
Ken sedikit menyeringai sambil membetulkan kacamatanya. "Baik, Pak," jawab murid itu seraya berdiri lalu menghampiri Pak Junaedi.
Ken menghitung cepat kertas soal yang ada di meja guru dan tanpa sepengetahuan Pak Junaedi, dia telah mengambil lebih satu lembar untuk dirinya sendiri. Setelah memastikan semua murid mendapatkan lembar soal, Ken kembali ke tempat duduknya dan langsung mengisi ulangan matematika dengan lancar.
Sepuluh menit berlalu, Ken telah selesai mengisi jawaban di lembar soal miliknya dan lembar yang lain dengan mudah. Tanpa harus menoleh, Ken tahu Aca yang duduk di belakangnya sedang kesulitan mengisi soal Matematika.
"Oke, waktu habis," kata Pak Junaedi.
Tanpa disuruh Ken berdiri dan membantu mengumpulkan kertas soal dari murid-murid lain. Ketika Ken mengambil lembar soal milik Aca, sekilas dia melihat jawaban di kertas milik gadis itu dan langsung tahu bila isinya salah semua. Ken pun melanjutkan mengumpulkan kertas-kertas soal murid-murid lain untuk diberikan kepada Pak Junaedi.
Tiba hasil ulangan matematika dibagikan. Aca menjerit kaget ketika melihat angka di kertas miliknya. Gadis itu mendapatkan nilai 70.
Itu berkat usaha Ken. Dia tahu Aca tidak akan bisa mengisi jawaban ulangan dadakan Matematika. Ken sengaja menatap Pak Junaedi agar diberi kesempatan untuk membantunya membagikan kertas soal. Lalu murid berkacamata itu mengambil lebih satu lembar soal dan mengisinya atas nama Aca. Ketika Ken mengambil kertas milik Aca, diam-diam dia menukar kertas soalnya dan menyembunyikan lembar soal milik gadis itu di saku celananya.
Duduk tenang di kursinya, Ken membetulkan letak kacamatanya. Dia bisa saja memberikan Aca nilai sempurna, tapi itu bakal menimbulkan kecurigaan. Aca bukanlah seorang yang pandai dalam pelajaran Matematika jadi nilai 70 sudah terbilang bagus untuknya.
Hanya itu yang dapat diberikan Ken untuk Aca. Meskipun gadis itu pernah tahu apa yang telah dilakukan olehnya, Ken sudah merasa senang karena setidaknya bisa membantu seseorang yang dicintainya.[]
*****
Written by Daebak_Manse
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top