Harta Berharga
Malam yang sepi dan sunyi telah berganti menjadi pagi. Jam dinding yang menempel di kamarku, menunjukkan pukul tujuh tepat. Kalian boleh mengataiku gadis malas atau apapun itu, aku tak akan peduli. Karena kalian belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Seperti malam-malam sebelumnya, aku ketakutan berada di rumah, sendirian. Tolong jangan tanyakan di mana keluarga ku. Akan kujawab, aku sudah tak punya keluarga, jika kalian memang keras kepala untuk tetap bertanya.
Yak kembali lagi ke masalahku tadi malam. Mataku tak mau terpejam hingga pukul dua dini hari. Semalaman yang kulakukan hanya melamun. Memutar kenangan indah dalam hidupku. Hingga tanpa sadar, air mataku mengalir deras dan membuatnya bengkak. Akhirnya, aku lelah dan tertidur dengan sendirinya.
Sudah cukup jelas bukan, alasan aku bangun siang, hari ini?
Okay. Saatnya bersiap-siap untuk berangkat sekolah.
Kenapa tidak sekalian bolos saja?
Maaf, justru SMA Cakrawangsa adalah tempat pelarian terbaikku. Di sana, aku bisa melupakan sejenak masalah yang menghampiri. Teman-teman kelas yang begitu konyol sering menjadi pelipur laraku. Jadi, aku tak mau berdiam diri di rumah dan semakin memperburuk keadaan. Ya, walaupun saat pelajaran berlangsung aku memilih tidur daripada mendengar celotehan guru yang sering tak ku mengerti.
Aku heran dengan teman sekelas yang mengataiku murid gila. Padahal, aku sangat yakin, orang yang belum mengenalku akan langsung tertarik dengan parasku yang cantik ini. Ya, walaupun mukaku tak pernah di poles make up, rambut panjang yang sering ku ikat asal, dan kemeja sekolah yang ku keluarkan dari roknya.
Ngomong-ngomong tentang teman sekelas, aku jadi teringat Aca. Sudah dua tahun ini aku sebangku dengannya. Beruntung sekali gadis telmi alias telat mikir itu bisa menjadi teman sebangku seorang Saras Ambarani.
"Ran, bayar kas dong!" Nah, kalau kalimat itu sudah keluar dari mulut Azalea Yasmin a.k.a. Aca, maka aku akan segera memutar otak mencari alasan. Si bundahara kelas itu tergolong anak orang kaya, jadi dia sering nalangin kaum misqueen macam aku ini.
Sampai juga aku di sekolah diantar oleh babang Go-Jek yang tadi ku pesan. Gerbang sekolah sudah tertutup rapat. Benar saja. Sudah pukul delapan sekarang. Artinya, aku terlambat sekitar satu jam. It's okay.
Telat masuk sekolah adalah hal biasa bagiku. Karena guru BK pun sudah sangat mengenal Saras Ambarani yang imut ini. Sehari saja aku tak bertemu salah satu dari mereka, rasanya rindu. Maka dari itu, aku sengaja membuat masalah supaya bisa mempererat silaturahmi dengan mereka. Hihihi.
Aku berteriak kepada satpam yang kerjaannya hanya menonton TV di pos. Seperti sudah sangat mengenalku, dia membuka gerbang dan dengan senang hati menggiring gadis yang merasa cantik ini, ke ruang BK.
Biasanya, aku akan senang duduk manis di ruangan ber-AC ini, lalu mendengar omelan guru yang tak pernah ku tanggapi. Namun kali ini, berdiam diri walau sebentar saja, rasanya tak sudi. Kenapa? Karena ada seseorang yang amat kubenci disana.
"Rani,"
Tuh kan. Dia tiba-tiba sok akrab memanggil namaku.
Tanpa memedulikannya, aku berbalik badan, hendak menghindar sejauh-jauhnya.
Ck! Dia meraih sebelah tanganku. Lantas, tanpa babibu lagi, orang itu memelukku sangat erat.
Tubuhku membeku. Otak menyuruh untuk melepaskan diri dari pelukan itu dan pergi sekarang juga. Namun hati, tak sejalan dengan otak. Hati ku menghangat oleh pelukannya. Sudah lama aku tak merasakan perasaan ini.
"Ayah rindu sama kamu, Ran." Orang yang memelukku berkata lirih.
"Rani juga rindu ayah," harusnya perkataan itu yang keluar dari bibir manisku ini. Namun, aku malah melepas pelukannya dan mundur dua langkah.
"Ayah? Maaf, saya sudah tidak punya orang tua. Mungkin Anda salah orang."
Jahat sekali bukan? Ya, itulah aku.
"Kapan kamu bisa menerima semua ini, Ran? Ayah ingin bisa kumpul sama-sama lagi."
Orang yang mengaku-ngaku sebagai ayahku mendekat lagi dan meraih kedua tanganku.
"Semuanya udah berubah. Rani yang sekarang bukanlah Rani yang dulu. Sekarang saya sebatang kara. Dan saya nyaman hidup seperti ini. Jadi, jangan ganggu saya lagi. Permisi." Aku menyentak tanganku agak keras, agar genggamannya terlepas.
Sudah cukup akting luar biasaku kali ini. Mati-matian aku menahan air mata namun percuma. Buliran bening itu tumpah juga bersamaan dengan keluarnya aku dari ruang BK.
Beruntung jam pelajaran tengah berlangsung. Sehingga, tak ada yang melihat aku sedang berjalan di koridor bersama air mata sialan ini.
Kemana kakiku akan membawa tuannya saat ini? Yang jelas, kelas bukanlah pilihan paling tepat. Kuputuskan untuk melangkah keluar dari area sekolah. Untung tak ketahuan satpam yang tengah fokus menonton TV.
Kini, aku mendaratkan pantat di bawah pohon yang lumayan besar. Taman yang dihiasi beragam bunga ini, hanya akan ramai saat weekend saja. Jadi, hari kerja begini, tak ada orang yang sempat untuk bersantai di sini.
Kutekuk kedua kaki dan kusembunyikan muka dengan tangan yang bertumpu dilutut. Rasanya, ingin berteriak dan mengatakan pada semesta, bahwa gadis cengeng ini sedang tidak baik-baik saja. Namun, yang bisa kulakukan hanyalah menangis dalam diam seperti saat ini.
Aku terlonjak kaget saat ada yang melingkarkan kedua tangannya di tubuhku. Segera ku angkat kepala dan melihat siapa orang tersebut.
"Aldo," seruku dengan suara serak, efek menangis.
"Kalau mau nangis, jangan di bawah pohon sendirian gini. Ntar ke sambet."
Buru-buru aku melepaskan diri dari rengkuhannya dan mengusap air mataku.
"Ngapain lo disini?" Aku bertanya heran pada Aldo.
"Ini tempat umum. Siapapun bisa datang kesini, Dodol." Dia berucap sambil menoyor jidatku.
Jika keadaanku tak seperti ini, akan kubalas toyorannya dengan timpukan tas. Kali ini Aldo beruntung.
Aldo adalah tetangga baru depan rumahku yang pindah sekitar dua minggu yang lalu. Kami tidak pernah berada dalam jarak sedekat ini sebelumnya. Bisa-bisanya dia sok akrab denganku, memeluk tanpa permisi, mengataiku 'dodol' seraya menoyor jidat. Sungguh tidak sopan!
"Kalau gitu, aku pergi dulu."
Baru saja hendak berdiri dari tempatku, Aldo menarik sebelah tanganku. Dan untuk kedua kalinya tubuh yang sudah tak bertenaga ini, jatuh ke pelukan cowok itu.
"Berhenti jadi orang sok kuat. Menangislah jika itu membuat lo merasa lebih baik." Aldo mengusap pelan rambutku. Runtuh sudah pertahanan yang baru saja ku bangun. Aku menangis dan terisak di dekapannya.
Aldo seperti mengerti perasaanku, dan mengeratkan pelukannya. Memberi rasa hangat pada hatiku yang beku. Kurasakan, pelukannya sama seperti pelukan ayah tadi.
Cukup lama posisi kami seperti ini. Aku yang mulai bisa mengendalikan diri, akhirnya mengurai pelukan.
"Lo bisa cerita sama gue, kalau mau." Aku menatap maniknya yang tulus saat berbicara barusan. Entah kenapa, aku jadi ingin mengeluarkan semua unek-unekku padanya.
"Lo pasti tahu kan, kalau gue tinggal sendiri?" Tanyaku yang dibalas anggukan oleh Aldo. Dia masih menungguku untuk melanjutkan pembicaraan.
"Bunda meninggal sekitar dua tahun lalu. Lo tahu apa penyebabnya?" Aldo hanya mengedikkan bahu sebagai jawaban. Masih menatapku lekat.
"Gue. Gue penyebab meninggalnya bunda. Gue adalah pembunuh." Ada penekanan di akhir kata yang ku ucapkan. Ku lihat raut wajah terkejut Aldo, yang sedari tadi diam mendengarkanku.
"Kalau aja saat itu gue nggak minta jemput dari bimbel, Bunda mungkin masih disini, disamping gue, nemenin gue tidur tiap malam, bangunin supaya gue nggak telat sekolah, bikinin gue sarapan, dan lakuin hal indah lainnya. Itu semua salah gue, Do. Kenapa bukan gue aja yang mati dalam kecelakaan itu? Kenapa, Do?" Emosiku meningkat saat kembali mengingat kejadian itu.
"Ssttt. Ini bukan salah lo. Itu udah takdir dari yang kuasa, Ran." Aldo lagi-lagi menenangkanku dalam pelukannya.
"Semesta nggak adil! Bukan cuma Bunda yang ninggalin gue. Ayah juga ikut pergi, Do. Harta berharga yang gue punya udah hilang. Rasanya, gue pengen mati aja kalau endingnya bakal kaya gini."
"Ayah lo?" Aldo bertanya dengan aku yang masih nyaman bersandar di dada bidangnya.
"Nikah lagi. Tega-teganya dia ngelupain Bunda gitu aja. Gue nggak terima! Sekuat apapun ayah ngebujuk gue buat tinggal sama mereka, gue tetap nggak akan mau."
"Jadi, itu kenapa sekarang lo bisa tinggal sendiri?"
Kali ini aku yang mengangguk.
"Lo harus tahu. Gue dulu manja. Sekarang, gue harus berpura-pura sekuat baja. Di luar, gue selalu tersenyum. Tapi saat gue masuk rumah, kenangan masa kecil gue kembali berputar seperti film yang terus terulang. Dan saat itulah, gue berubah menjadi gadis cengeng. Setiap malam gue ketakutan tidur sendiri, Do. Gue pasang earphone kenceng-kenceng, buat ngisi kekosongan yang ada."
"Terus, apa yang saat ini mau lo lakuin?"
Aku tertawa miris mendengar pertanyaan Aldo.
"Mati. Gue pingin mati sekarang juga. Tolong bunuh gue, biar semuanya selesai. Gue capek, Do." Aku memukul pelan dada Aldo untuk meluapkan emosiku.
"Lo pikir, dengan mengakhiri hidup, semua masalah lo bisa selesai? Nggak semudah itu, Ran. Tolong buka pikiran lo yang sempit itu. Bunda lo pasti sedih ngelihat anaknya yang frustasi begini. Tuhan memberikan cobaan seberat ini supaya lo bisa jadi cewek kuat. Gue yakin anak SMA seusia lo udah bisa berpikir dewasa."
Aku terdiam memikirkan kata-katanya barusan. Benar apa yang dibilang Aldo.
"Maafin Rani, Bunda," ujarku dengan suara bergetar. Aku menerawang ke depan, seolah-olah bunda ada di sana dan mendengar ucapanku.
"Bunda pasti maafin lo kok."
"Thanks, Do."
Aldo melepas pelukannya dan mengusap pipiku yang basah.
"Udah lega kan?"
Aku mengangguk. Memang benar, curhat pada orang yang terpercaya bisa membuat diri kita merasa tenang.
Tunggu!
Terpercaya? Apa aku benar-benar sudah mempercayainya? Semoga saja dia memang bisa dipercaya dan tidak menyebarkan masalahku pada orang lain.
"Gue siap jadi tempat curhat lo, kapan pun lo butuh. Jangan pendam semuanya sendiri. Karena manusia memiliki sifat sosial, nggak bisa hidup sendiri. Kalau malam-malam lo ketakutan, lo bisa nginap di rumah gue. Atau, gue yang nemenin lo lewat telfon. Ngerti?"
Aku mengangguk lagi tanda mengerti. Memberi senyum setulus mungkin. Lalu Aldo mengusap pelan rambutku yang sudah berantakan sedari tadi.
"Sekarang, lo mau kemana?" Tanya Aldo.
"Entah. Gue lagi nggak pengen balik. Di rumah sepi. Gue juga nggak mungkin balik ke sekolah lagi. Bisa aja ayah lagi nunggu gue disana."
"Ayah lo ada di sekolah?" Aldo bertanya heran.
"Iya, makanya gue bolos. Gue nggak mau ketemu dia. Padahal sekolah bisa jadi tempat pelarian gue dari rumah. Tapi ayah malah disana. Ya udah gue kabur aja kesini."
"Ibu tiri lo jahat?"
"Nggak tahu. Gue belum pernah ketemu. Dan nggak akan sudi buat ketemu orang yang udah ngrebut ayah gue."
"Hm, yaudah. Kalau gitu, sekarang kita jalan-jalan aja." Aldo mengusulkan ide menarik.
"Eh tunggu, lo nggak ngampus hari ini?" Aku teringat sesuatu. Sedari tadi kami hanya membahas tentang ku. Sampai lupa bahwa Aldo mungkin sedang ada kesibukan lain.
"Emang anak SMA doang yang bisa bolos? Anak kuliah juga bisa kali."
See? Dia mengejekku. Kali ini aku tak bisa menahan untuk menimpuknya dengan tas.
Aldo menghindar saat aku bersiap-siap untuk menimpuknya. Aku tak tinggal diam. Mengejarnya dengan tawa gemas.
Aldo, terima kasih telah mengembalikan moodku.
***
Seharian ini ku habiskan hari bersama tetangga depan rumah yang super duper menyebalkan. Siapa lagi jika bukan Aldo. Tapi, berkat dia juga aku bisa lupa akan masalahku.
Saat ini kami sedang dalam perjalanan pulang karena hari sudah petang.
Akhirnya motor Aldo berhenti di depan rumah kami yang berhadapan. Aku pun langsung turun dari jok motornya.
"Besok pagi mau gue anter nggak?" Tawar Aldo.
Hmm boleh juga tawarannya. Itu bisa menghemat uang sakuku. Oke deh kuterima saja ajakannya.
"Boleh lah kalau nggak ngrepotin. Hehe," kataku dengan cengiran.
"Siap, bos. Sekali antar jemput delapan puluh ribu, ya mbak."
Sial! Lagi-lagi aku masuk jebakannya.
Ku pasang muka sebal. Lantas berbalik sambil menghentakkan kaki persis seperti anak kecil. Bodo amat. Ku tinggalkan saja dia disitu.
Pergerakan tanganku membuka gerbang terhenti kala dari dalam sana keluar seseorang yang sangat asing bagiku. Siapa dia? Berani-beraninya masuk ke 'kandang singa'.
Ku hampiri wanita berusia sekitar tiga puluhan itu dengan muka heran.
"Anda siapa?" Tanyaku to the point setelah sampai di hadapannya.
"Ternyata benar apa kata ayah kamu. Rani ternyata sangat cantik," ujarnya sambil mengusap rambutku.
Apa dia bilang? Ayah? Oh, mungkin dia adalah istri ayahku.
Aku tak menggubris ucapannya barusan. Tak mau berurusan dengan 'nenek sihir' itu, aku pun kembali berbalik menuju gerbang.
Pandanganku menangkap Aldo yang masih terdiam ditempatnya sedang memperhatikanku. Aku pun melangkah kembali mendekati Aldo.
"Bawa gue pergi lagi, Do," pintaku dengan wajah memelas.
"Lo nggak bisa terus-terusan lari dari masalah. Lo cewek kuat. Jadi, hadapi masalah itu meski terasa berat. Ayo, selesaikan maslah lo. Gue temenin." Aldo turun dari jok motornya dan menarikku ke halaman rumah.
Wanita tadi masih berdiri di depan rumah. Aldo menyalaminya dan menyapa sok akrab. Aku memutar bola mata malas. Aku tak suka berada di situasi ini.
Do, jangan sampai aku ikut membencimu seperti aku membenci orang dihadapanku ini.
"Boleh saya berbicara dengan Rani?" Wanita yang belum kuketahui namanya itu mengajukan pertanyaan entah pada siapa. Padaku atau pada Aldo.
Aldo dengan seenak jidatnya menjawab, "Boleh, Tan. Silakan."
Kemudian, Aldo memundurkan langkah dan melepas genggamannya padaku.
Dengan segera aku menariknya kembali dan meraih tangannya. Aku butuh kekuatan yang kali ini hanya bisa diberikan oleh Aldo.
"Silakan bicara, tapi Aldo harus tetap disini," ujarku datar.
"Biar ngobrolnya lebih enak, mending kita masuk dulu saja."
Aku mendahuluinya dengan menarik tangan Aldo untuk mengikutiku. Aku duduk di ruang tamu dengan sebelah tangan masih mengenggam Aldo.
"Rani, kenalkan, saya Lena, mama baru kamu. Maaf, baru bisa menemuimu kali ini. Ayahmu selalu melarang saya, karena katanya kamu belum bisa terima apa yang terjadi. Tapi, kali ini tante nekad kesini dan mengambil kunci cadangan dari tas ayah kamu. Sebenarnya, saya sangat ingin bertemu denganmu semenjak tante tahu kalau ayah kamu punya anak." Jelas ibu tiriku panjang lebar.
Pertanyaannya, memang aku peduli? Tidak sama sekali. Aku tahu dia hanya akting di depanku. Dimana-mana, ibu tiri itu jahat. Bahkan ada lagu yang menggambarkan betapa kejamnya ibu tiri itu.
"Nak, tinggal bersama kami, ya. Tante akan berusaha menjadi ibu dan istri yang baik untuk kalian. Jangan bikin tante jadi merasa bersalah karena telah memisahkan ayah dan anak," ujarnya sendu.
"Anda sadar telah merebut ayah saya? Selamanya saya tak sudi tinggal satu atap dengan Anda. Jika Anda tak mau semakin merasa bersalah, tinggalkan ayah saya. Biarkan kami bahagia," ucapku tegas.
"Apa kamu benar-benar tidak bisa menerima kehadiran saya?"
Ku tatap mukanya yang ternyata telah berlinang air mata. Sorot matanya menampakkan sakit yang amat dalam. Entah dia tulus atau hanya pura-pura.
"Jika memang itu mau kamu, tante akan menurutinya. Tante akan meninggalkan ayah kamu, Ran. Yang penting kalian bahagia." Suara Tante Lena bergetar saat mengatakannya.
Harusnya aku senang mendengar ucapannya barusan, namun rasa bersalah kini menyelimutiku. Aku tak tahu apa yang di inginkan oleh diriku ini sebenarnya. Aku hanya diam dan membuang muka ke arah lain.
"Tante Lena sayang sama lo, Ran. Gue tahu itu dari perlakuannya ke lo barusan. Dia rela ninggalin ayah lo demi kebahagiaan lo. Coba buka hati sedikit aja, untuk nerima dia jadi ibu lo. Ubah pola pikir lo yang berasumsi bahwa semua ibu tiri itu jahat. Tante Lena nggak gitu."
Aku menatap Aldo yang entah kenapa, setiap ucapannya selalu bisa menghipnotisku.
Aku menunduk dan menangis terisak. Kututup muka dengan kedua telapak tangan.
Untuk kesekian kalinya aku mendapat pelukan dari orang di sampingku hari ini. Dengan mata terpejam, aku membalas pelukan Aldo yang berada di samping kananku.
Wait! Samping kanan? Seingatku, tadi Aldo duduk di sebelah kiri, deh. Lantas, siapa yang ku peluk saat ini?
Kubuka kedua mata dan mendongak keatas. Netraku menangkap tante Lena yang memelukku sangat erat sambil mengusap puncak kepalaku. Hatiku tersentuh. Aku merasa seperti bunda yang sedang memelukku. Kubuang egoku jauh-jauh dengan mengeratkan pelukan kami. Kurasakan air mata Tante Lena menetes di atas kepalaku karena dia menumpukan dagunya disana.
"Maafin Tante ya, Nak. Kalau gitu tante pergi dulu. Tunggu ayah kamu pulang kesini ya." Dia mengurai pelukan kami. Mengusap pelan pipiku yang terus berlinangan air mata. Lantas dia bangun dari tempatnya.
Baru selangkah dia berjalan, aku bangkit dan memeluknya dari belakang.
"Maafin Rani, Tan. Jangan tinggalin kami. Rani butuh kasih sayang dari seorang ibu," isakku lirih.
Tante Lena berbalik badan dan memeluk serta mencium dahiku berkali-kali.
"Jadi kamu udah nerima tante jadi mama kamu?" Tanya Tante Lena ragu.
"Iya, Ma."
Ibu tiriku itu terharu mendengar anak barunya memanggil dengan sebutan 'Mama'.
"Alhamdulillah, Ya Allah."
Kami menoleh kepada pemilik suara bariton barusan. Entah sejak kapan ayah sudah berdiri di ambang pintu tengah menyaksikan pelukan antara ibu dan anak ini.
Setelah itu, pandanganku terarah pada Aldo yang hendak keluar dari rumahku. Dia menatapku sambil tersenyum sangat tampan. Kubalas dengan senyum tulus yang mungkin terlihat mengerikan karena menangis berkali-kali hari ini.
Tuhan, terima kasih telah mengembalikan harta berharga ku, lagi.
*****
Written by IndAwsoka
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top