Aku Adalah ....

Kamu yang membuat aku datang. Kamu juga yang membuat aku pergi. 

Beragam suara dengan kata-kata yang sama itu kerap mengganggunya. Hadirketika Yafi terlalu fokus dalam pikirannya sendiri. 

Seketika mata terbuka, ada pantulan wajahnya di kaca mading. Keadaan sebelumnya sepi. Kini para murid mulai lalu-lalang. Ada yang menatapnyaaneh, adapun yang tidak peduli. 

"Lihat, kan? Tadi dia bicara sendiri lagi. Bikin merinding, deh."

"Aiiih. Daripada itu, aku salah fokus sama rambutnya yang ... pengindijambak." 

Penyuara telinga yang terpasang hanya sebagai hiasan. Menampakkanseolah-olah Yafi tak mendengar bisik mereka yang tidak bisa dikatakanberbisik, melainkan berisik. 

Tepukan di bahu membuat Yafi terkejut. Umpatan akan terucap, tetapi urungsaat melihat si pelaku. Ternyata Pak Rojack—satpam SMA Cakrawangsa yangsetia membukakan gerbang untuknya disaat matahari masih tersipumenampakkan diri. "Iya, Pak Jack?" 

"Oh, enggak apa-apa. Saya cuma memastikan. Apa Nak Yafi enggak pegal,berdiri dengan posisi yang sama ... selama satu jam lebih?" 

Yafi langsung melihat arlojinya. Jarum sudah menunjuk angka 06:56,sementara tadi ia tiba tepat 05:16.Lantas sebagai respons,Yafi hanyamenggaruk tengkuk seraya tersenyum. Sungguh, ia malu. Lagi-lagi kebiasaanburuknya terulang. 

Pak Rojack kembali menepuk bahunya. "Mencari kebahagiaan dalamimajinasi itu asyik, ya. Tapi rasanya enggak se-menyenangkan di dunia nyata,kan?" 

Eh? 

"Ya sudah. Saya mau melanjutkan tugas, berburu murid yang telat. Semogaharimu menyenangkan, Nak Yafi." 

Kuharap juga begitu. Tapi .... 

Yafi mencengkeram rambut ikalnya. Mengembus napas panjang. Menepukkedua pipi agar lebih fokus pada sekitar. Sebelum beranjak, tak lupa sebatanglollipop dibiarkan masuk ke mulutnya. 

Huh, sulit. Kini Yafi harus melakukan saran dari seseorang. Berjalan denganrasa percaya diri. Wajah ditegakan untuk menatap orang-orang yangberpapasan. Sapaan pagi disertai senyuman hangat pun dipersembahkan,meskipun tidak ada timbal balik. Yaaah, biarlah. Sudah biasa. 

Kurang dari satu tahun lagi .... Rasanya waktu berjalan cepat. Yafi engganterlepas. Ia suka menjalani kesehariannya di sekolah, walaupun tidak adayang spesial. 

Bagi Yafi, sekolah adalah tempatnya untuk melarikan diri. Karena itulah Yafibenci hari libur. Menyebabkan ia harus menghabiskan waktu di rumah, yangmenguras pasokan udara di sekitarnya. 

Sebab, daripada di rumah ditemani oleh bisingnya suara pecahan piring,barang-barang dilempar, dan disertai dua suara manusia yang saling berdebat.Lebih baik Yafi mendengar Ibu Anjani—wali kelas yang seolah tidak ada akhirsaat bercerita di waktu kegiatan belajar mengajar. Aca yang berisik saatmemalak uang kas layaknya rentenir, atau bahkan teriakan para siswi ketikamelihat cowok terlalu tampan. 

Seperti saat ini Yafi berjalan menyusuri koridor lantai dasar, melewati ruangdemi ruang. Jika dilihat dari ekor mata, para siswi tampak memperhatikannyadengan raut memuja. Sempat membuat hidungnya kembang kempis.Tapinyatanya bukan Yafi yang dituju. Lantas langkah melambat tepat di sisilapangan upacara, di sana ada Gara—anak basket yang sedang berjalanseraya menggiring bola.

Huh. Yafi langsung diempas usai dibawa terbang. "Sampai kapan aku stuck di156 sentimeter?" 

"Kapan-kapan ...," sahut seseorang membuat Yafi mendengkus. Beberapalangkah mendekati kelas, ia berhenti. 

"Yafi! Wah, tumben bawa drafting tube. Isinya gambaran lo, kan? Pasti mauditunjukin ke gue. Jadi, kapan kita belajar gambar lagi? Hari ini?" 

Yafi menoleh, sedikit menengadah menatap Rena. Lalu menggigit lollipop-nya."Kapan-kapan," jawabnya lantas melanjutkan langkah seraya sebelah tanganmerogoh kantong yang terdapat pensil. 

Rena salah jika mengira Yafi tidak bisa mengembalikan keadaan. Cewek itumenyebalkan, lantaran kerap memanggilnya Bocah Mesum. Pun menggangguusai memergokinya melakukan bakat terpendam. Dengan tawaran sesuatukesukaannya, Rena memintanya mengajari menggambar. Sial, Yafi sulitmenolak hanya karena dapat lollipop

Tak bisa memungkiri, Yafi senang. Ada seseorang yang menyadari danmengakui kemampuannya. Padahal hobinya yang terbiasa duduk meringkukdi bawah meja seraya menggambar, ia dikira bocah mesum suka mengintip.Pun sok kenal dan sok dekat. Sebatas itu Yafi tampak. Namun, kini Yafi akanmengubah pandangan mereka padanya. 

"Iya. Pasti aku bisa," gumamnya. 

"Kamu enggak akan bisa," Seseorang menyahut dengan cepat. Walhasil,gerakan tangan Yafi tertahan saat akan meraih handdle pintu kelas.Berpindah memegang tengkuknya sendiri. 

Seketika angin berembus kencang. Yafi enggan menoleh. Berkedip pun tidakingin. Keadaan menjadi senyap. Aktivitas di sekitar pun seolah-olah terhenti.Posisi pintu kelas yang hanya satu langkah darinya, jadi tampak terasa jauh. 

Sial,ia kelilipan debu. Lantas saat mengucek mata yang perih, tetibaseseorang mendorongnya. Tibalah Yafi di dalam kelas Railete. 

Sepi. Hanya ada Yafi dan ... orang itu. Yang berdiri menghadap papan tuliskapur tepat di atas loker sudut kelas. Dilihat dari belakang, cowok itu miripdengannya. 

Tangannya tampak terampil mengolah huruf dan pola dengan kapur tulis.Kemampuannya ber-chalkboard art seolah-olah tidak bisa diragukan.Membuat Yafi tercengang dan berpikir ... kapan ia bisa sekeren itu? 

"Dikritik langsung merendahkan diri. Mendapat pujian sedikit langsungterbang.Itulah kamu ...." 

"Si—siapa kamu?" tanya Yafi lantang. 

"Aku ... Yafi," jawabnya tak kalah lantang, lantas menoleh. 

Keduanya saling berhadapan. Terlalu terkejut, Yafi mundur sampaimembentur whiteboard. Orang itu mengaku sebagai dirinya. Terlebih dilihatdari sisi manapun memang sangat mirip dengannya, kecuali rasa percayadirinya yang tidak dimiliki Yafi. 

"Penipu, kamu bukan Yafi. Karena aku adalah Yafi." 

Senyumnya jelas mengejek. "Yafi bukan orang pengecut sepertimu." 

Pintu kelas terbuka, menampakkan satu per satu penghuni Railete. Bergantiansaling memberi sapa. Oh, yaampun. Situasi macam apa ini? Dan, Tunggu!Kenapa mereka melihat ke arah Yafi palsu? Justru mengabaikannya dengancara menabrak, seolah-olah ia tak kasat mata. 

"Yafiii!" Si pemilik nama langsung menoleh ke arah pintu saat suara nyaringmemanggil. Oh, Susan? Yafi tersenyum ketika mata keduanya berserobok,karena yakin Susan menyadari kehadirannya. Terlebih tangan cewek itumelambaikan lollipop bentuk pipih berwarna pelangi. Biasanya Yafi canggung,tetapi kini ia balas melambaikan tangan. 

"Hai, Susan! Akhirnya kamu liha—" 

What the fu—nny. Susan melewatinya juga. 

Yafi tidak menyerah untuk terlihat. Ketika Rena tiba, ia langsung menghampiri.Seseorang yang akhir-akhir ini dekat dengannya pasti menyadari. "Ren, ayokita belajar gambar. Aku bisa, kok, menemani sampai kamu puas. Gratis, deh. Enggak perlu bayar pakai lollipop. Ren—Rena, halo."

 Yafi mencengkeram rambut ikalnya, ia frustrasi. Tidak ada seorang pun yangmenyadari kehadirannya. 

Tampak Yafi palsu tersenyum padanya. Jauh dari kata ramah. Jelas orang itupuas menggantikan posisinya. 

Demi apa pun Yafi menyesal, kenapa harus menciptakan imajinasi seperti ini?Karena bukan begini yang ia mau. Memang, Yafi berharap dirinya adalahgambaran dari Yafi palsu. Seseorang yang penuh percaya diri, supel, dankeren. Namun, seharusnya hanya ada satu Yafi. 

Merosotkan diri, Yafi meringkuk memeluk lutut. Ini imajinasi yang sangatburuk dan menakutkan. Biasanya Yafi enggan kembali pada kenyataan.Namun, kini ... siapa pun tolong sadarkan Yafi! Rasanya ia terus hanyut, tapitidak bisa mati. 

"Nak, Nak Yafi ...." Seseorang menyerukan namanya disertai tepukan keras dibahu. Walhasil, Yafi tersentak. Lantas bernapas lega, karena berhasil tiba ditepi kenyataan. 

Yafi masih di posisinya, meringkuk di depan pintu kelas seraya tanganmemainkan pensil. "Oh! Pak Jack?" 

Pak Rojack mendekat untuk berbisik, "Bagaimana? Lari dari imajinasi lebihbaik, kan. Daripada lari dari kenyataan." Sontak Yafi tertawa mendengarnya. 

"Oooh. Bisa-bisanya, ya, tertawa setelah buat kami menunggu,"ucapseseorang. Perlahan Yafi menoleh. 

"Aduh, Yafi. Padahal kami mau masuk kelas, tapi gegara lo ... ini kayak lagiantre sembako. Untung jam pertama kosong, karena Bu Anjani enggakmasuk," Rena menggerutu. 

Mendengarnya, Yafi cengengesan. Lalu ia berbisik pada Pak Rojack, "Berapalama saya seperti ini?" 

"Ekhm. Hampir satu jam." 

"Oh! Hahaha. Maaf, teman-teman. Ayo masuk. Biar aku yang bukain pintu."Niatnya ingin memperbaiki suasana, justru sebaliknya. Karena gugup, Yafilupa cara membuka pintu. Didorong, ditarik, atau digeser? 

Sikap anehnya terlalu kentara. Malu Yafi mengingat kejadian tadi pagi. Entahapa yang dipikirkan teman sekelas tentangnya. 

"Belum pulang? Oh! Lagi-lagi melamun, ya." 

"Oh! Lagi-lagi Pak Jack, ya." Keduanya tertawa, menemani detak jam di kelasRailete. 

"Jadi, kenapa belum pulang? Padahal sudah sore." Pak Jack berdiri santai didepan whiteboard, sementara Yafi tetap di kursinya dengan tangan kirimemainkan sebatang lollipop dan tangan kanan menggenggam pensil.

 Sebelum Yafi merespons, Pak Jack kembali bersuara, "Saya punya anakperempuan, sebaya Nak Yafi. Entah kenapa ... melihat Nak Yafi mengingatkansaya padanya. 

"Si pemimpi yang hanyut dalam imajinasinya. Iya, dia sering melamun sepertiNak Yafi. Tapi ...." 

"Tapi?"

"Karena sesuatu ... putri saya tidak bisa lagi membedakan mana imajinasi danmana kenyataan. Sekarang dia sedang dirawat." 

Mendengarnya, hati Yafi terasa dicengkeram. 

"Nak Yafi jangan tersinggung, ya. Begini ... saya merasa simpati. Kalau NakYafi jelas bisa membedakan da—" 

"Iya, saya paham maksud Pak Jack." Yafi meyakinkan dengan senyuman. 

Yafi sadar betul, tapi melamun ... bagai candu untuknya. Memang! Daripadamempraktikkan langsung apa yang ingin dilakukannya, Yafi lebih seringmenuangkan dalam imajinasi. Dan, sejak mamasuki kelas XI, bergabung diRailete. Yafi mengenyahkan kebiasaannya itu. Pun mencoba keluar dari zonanyaman. Namun, tidak semudah yang dikira. 

"Nak Yafi sudah berusaha, tapi sikap buat-buatannya begitu kentara. Karenamemperbaiki diri tidak berarti berubah jadi orang lain, kan." 

Huh! Tepat sasaran. Selain satpam sekolah, Pak Rojack ini sebenarnya siapa?Untungnya beliau seorang pria, coba kalau perempuan. Mungkin Yafi akanjatuh hati. Aiiih, Yafi mengikik geli memikirkannya. 

Yafi menggeleng saat Pak Rojack menatapnya dengan menyelidik. "Serius.Saya enggak lagi melamun, kok. Ekhm, omong-omong ... putri Pak Jackseperti apa? Pasti cantik, ya." 

"Putri saya namanya Putri. Ya, dia cantik. Rambutnya panjang. Katanya, inginbisa memainkan biola. Lalu ...." 

Seraya mendengar Pak Rojack yang tampak antusias menceritakan sosokputrinya, pensil yang hanya digenggam Yafi kini bergerak. Perlahan kertaskosong itu menampakkan seorang gadis sedang memainkan biola. Lantasucapan salam, hasil gambarnya, dan lollipop ... Yafi titipkan untuk Putri. 

Langit mulai redup, Yafi masih bertahan di dalam kelas. Berdiri menatappapan tulis polos. Tangan kanan menggenggam kapur, sementara tangan kirimemutar-mutar sebatang lollipop yang dikulumnya. Membayangkan apa yangingin digambar, Yafi memejam kan mata. Sepintas lalu wajah teman-temansekelas hadir dalam angannya. 

"Belum pulang?" Suara itu sontak membuat Yafi tersentak sebelum dirinyamemasuki ruang imajinasi lebih jauh. Lantas ia menoleh ke sudut jendela,tampak seorang cewek melongokkan kepala sambil mengulum lollipop

"Sedang apa? Tadi ... gaya kamu kayak pemeran utama di iklan permen, deh!"Cewek itu mengikik, lalu melambaikan dua lollipop bentuk pipih berwarnapelangi. 

Sebagai respons pertama, Yafi tersenyum cukup lama pada cewek itu. "Ya.Aku memang bukan pemeran utama, tapi aku juga punya cerita." 

*******

Written by akuausi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top