8: Butuh Curhat
"Ice blend cookies and cream satu, strawberry milkshake satu, dan ... lo apa, Ra?"
Pandangan gadis berbaju Minnie Mouse itu tampak kosong. Tangannya menopang dagu hingga bibirnya mengerucut. Matanya berkedip malas, tak terhitung berapa kali ia mengembuskan napas panjang.
Kesal, Meta pun menggebrak meja. "Rara!"
"Hah?" Sang empunya nama terperanjat dan menatap kedua kawannya bergantian. "Apa?"
Sinta spontan menepuk jidatnya. "Lo mikir apa, sih? Cepet pesen, kasihan mbaknya nungguin."
Rara menengadah. Ia lekas tersenyum dan mengangguk kala orang yang disebut 'mbaknya' itu tengah menatap penuh harap. Secepat kilat matanya memindai nama-nama minuman dalam menu. Aksi Meta yang melipat tangan di depan dada semakin membuatnya panik.
"Em, moroccan mint tea aja deh, Mbak."
"Siang bolong begini mau minum teh?" heran Meta seraya menggeleng. Alisnya tak lagi bertaut dan ia telah menurunkan kaki yang semula menyilang.
"Iya, gak apa-apa. Lagi pengen," Rara mengembalikan daftar menu ke pelayan kafe, "makasih, Mbak."
Gadis itu kembali terdiam. Otaknya seakan penuh, tetapi tidak satu pun masalah dapat diidentifikasi. Minggu yang dihiasi terik dan hawa panas terasa suram tanpa sebab yang jelas.
Meta dan Sinta lantas saling pandang. Bukan hal wajar bila Rara tenggelam dalam alam pikirnya sendiri. Gadis yang selalu menikmati hari libur itu berubah 180° dari biasanya.
"Lo kenapa dah, Ra?" tanya Sinta tak kuasa menahan rasa penasarannya.
Rara hanya menggeleng, "Gak apa-apa."
"Terus lo pikir kita percaya gitu?"
Sinta turut mengangguk atas pernyataan Meta. "Jujur gak dosa kali, Ra. Kayak sama siapa aja."
Rara menenggelamkan wajah. Ia merelakan dahi lebarnya membentur meja kafe yang terbuat dari kayu. Ia menatap lantai lekat-lekat, seakan di bawah sana tertulis kalimat panjang sebagai jawaban.
Rara mendongak dan memanyunkan bibir. "Gue sendiri gak tau mikir apaan."
"Lah!"
"Gubrak!"
Rara sedikit terkikik saat Meta dan Sinta berlagak jatuh dari kursinya masing-masing. Rona kelam yang semula terpatri mulai mengembang. Gadis berkawat gigi itu menyunggingkan senyum sembari menegapkan tubuh.
"Kayaknya … gue lagi bingung. Tapi gue sendiri bingung kenapa bingungin hal ini."
Mulut Sinta masih terbuka dengan mata yang mengedip pelan. "Kalau lo aja bingung, apalagi kita."
"Ya makanya gue gak cerita," kesal Rara.
Gadis yang mengikat rambutnya menjadi dua bagian itu mengalihkan pandangan ke jalan raya. Angin semilir yang tiada sejuk berhasil menembus kulit berkat desain kafe yang semi outdoor. Lokasinya pun cukup strategis, dekat dengan beberapa sekolah, toko buku, swalayan, dan rumah sakit.
Sambil mengipas wajah, Rara memicingkan mata--mencoba fokus pada satu titik. Sesosok laki-laki yang mengenakan kaos navy berlengan panjang dan celana jeans berukuran pendek menyita perhatiannya. Pemilik ransel yang sangat Rara hafal itu lekas hilang ditelan pintu gramedia.
Tidak salah lagi, Rara menelan ludah dan mengangguk yakin. Gadis itu segera mengemasi barangnya dan berniat memastikan kebenaran yang baru ia lihat.
Dua gadis yang duduk di hadapan Rara mengernyit bingung. Mereka bertukar pandang dan kompak menggeleng. Setelahnya Sinta mengangkat bahu dan memutar bola matanya malas, sedangkan Meta pun mendengkus dan menyilangkan kaki.
"Buru-buru mau ke mana, Ra?" Lagi-lagi Sinta-lah yang bertanya.
"Ke toko buku depan," jawab Rara cepat.
"Ngapain? Minum lo aja belum dateng."
Dengan sinis, Rara menatap Meta. Ia memicing lalu berkata, "Kira-kira kalau ke toko buku mau ngapain? Nyari cowok?"
"Ya bisa aja sih kalau itu lo."
Rara menggeleng lalu mengangguk. "Mau nyari temen 'curhat' "
Setelah mengucap demikian, gadis itu menyebrang ke tempat yang ia tuju. Saat sampai, dalam diam kaki Rara berjinjit-jinjit. Sesekali ia bersembunyi di balik rak sambil menutup wajah dengan buku resep masakan yang diambil secara acak. Hampir setiap menit matanya mengintip sosok yang tak henti memilah bacaan.
Sekitar lima belas menit mengitari buku motivasi dan biografi, hampir setengah jam bergelut dengan sastra lama dan novel terjemahan, kini Kahvi berhenti di tumpukan komik episode terbaru.
Laki-laki itu melepas tasnya dan duduk tanpa alas. Ia mengambil satu buah komik yang sudah terbuka. Ia sedikit menurunkan kacamata yang tak pernah dilepas untuk mempermudah aktivitas membacanya.
Rara pun refleks berjongkok. Ia paling anti menyentuh dinginnya lantai, meski cuaca sedang panas-panasnya. Irisnya masih mengawasi gerak-gerik Kahvi yang tak cepat beranjak.
"Eh?"
Gadis itu menautkan alisnya. Dari kejauhan, senyum dan gelak Kahvi terlihat begitu jelas. Tangan yang sedikit bergetar itu spontan menyentuh dada, hatinya berdesir hingga degupnya kian berpacu.
Laki-laki itu sungguh manis, otaknya berbicara.
Rara lantas menggeleng. Ia mengusap wajah dan menepuk pipi kirinya kencang. "Sadar, Ra."
Kahvi telah masuk ke dalam cerita yang ia baca. Mata anak itu terkunci dan tak lagi peduli dengan dunia sekitar. Sontak hal tersebut dimanfaatkan oleh Rara 'tuk mempersempit jarak.
Dengan hati-hati, gadis yang menenteng tas bermotif polkadot itu mulai melangkah. Ia sedikit berterima kasih pada flat shoes hasil berburu diskon yang tidak menimbulkan suara.
Setelah dirasa cukup dekat, Rara kembali jongkok dan berbalik badan. Ia menelan ludah berkat posisi yang hanya berjarak lima kaki tersebut. Batinnya terus merapal doa agar Kahvi tak menyadari keberadaannya.
Rara kembali menurunkan buku bertulis 'Kumpulan Racikan Herbal dalam Menurunkan Berat Badan' tersebut. Matanya kembali antusias 'tuk memandang Kahvi yang sibuk mengambil ponsel.
Gadis itu cukup kesal akan rambut yang menutupi telinga. Ia terus menyingkirkan sambil menggumamkan berbagai umpatan. Kini, indra pendengarannya pun kian menajam.
"Halo, Yah?"
Ayahnya yang ada di balik panggilan itu, tebak Rara. Ia sedikit bergeser agar dapat mendengarkan percakapan mereka, tetapi nihil. Keberaniannya terbatas karena semakin ia mendekat, sama saja dengan bunuh diri. Tentu Rara tidak ingin ketahuan jika tengah membuntuti si anak baru itu.
"Ini kan hari Minggu, Kahvi gak ada les. Ngapain pulang cepat?"
Raut yang sempat semringah itu kembali meredup. Wajah pucatnya juga kian memutih. Bulir keringat pun perlahan muncul di sekitar kening, diiringi dengan napas yang tersengal.
Rara tertegun dan menatap khawatir. Pasalnya, perubahan wajah Kahvi terlalu mendadak dan mengundang tanya. Ia semakin ingin mendekat dan melontarkan kata 'ada apa'.
"Kenapa kudu les bahasa di rumah? Kan di tempat kemarin juga ada, Yah. Masalah seni, Kahvi bisa ikut di sekolah, kok."
Rara terus menyimak. Ia menggigit bibir dalamnya sambil mendekatkan telinga ke sumber suara. Ia masih bersikeras 'tuk menguping pembicaraan.
"Tapi Yah--, Yah? Halo? Ish!"
Kahvi melempar ponselnya ke sisi samping. Beruntunglah benda tersebut mendarat dengan aman di atas tasnya. Laki-laki itu mengepal kuat dengan dada kembang kempis.
Rara terpaku. Selama Kahvi masuk ke kehidupannya, baru kali ini raut superkesal itu datang, bahkan jauh lebih besar dibanding saat ia menjaili. Guratan wajahnya seakan menjelaskan perasaan kecewa yang bertubi-tubi. Ia semakin iba kala anak berperawakan kurus itu mengacak rambut dan memeluk lutut.
Perlahan, Rara mengeluarkan ponsel dan mulai mengetikkan sesuatu. Mata yang semula sibuk mengawasi Kahvi itu menatap layar tanpa jeda.
Kalau orang yang benar-benar kelihatan butuh curhat malah diam saja, kira-kira kenapa, ya?
Baru saja. Publik
Suka. Tanggapi. Komentari. Berita Lengkap. Simpan. Lainnya
Menurut kalian kenapa?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top