7: Baik-Baik Saja
Rara berkali-kali menguap dan mengusap wajah. Suara Pak Syahrur berubah menjadi lagu tidur yang sangat merdu. Ia menepuk jidat dan mencubit tangannya sampai berubah merah dan kebiruan. Sayangnya, sakit itu hanya sepintas menyadarkan. Ia kembali terkantuk-kantuk sampai terjungkal.
Meta menertawakan polah teman di depannya itu. Mengantuk sudah menjadi rutinitas Rara saat mendengarkan kajian tentang sejarah. Gadis itu memang ahlinya mendengarkan keluh kesah, berbanding terbalik bila bertemu sejarah, bahasa, dan semacamnya.
"Ra, Rara! Nih, pakek!"
Meta menyodorkan sebotol minyak angin berukuran kecil. Rara yang sedang duduk sendiri--tanpa Kahvi--menatap kawannya bingung. Dahinya berkerut seakan bertanya-tanya. Gadis yang tidak pernah menggerai rambut itu sedang mengantuk, bukan kembung apalagi masuk angin.
"Emang ngaruh?" tanyanya.
"Ya, kali aja. Usap di bawah mata gitu, biar pedes terus melek."
Rara mengangguk pasrah. Ia mengambil minyak angin tersebut dan melakukan saran yang Meta katakan. Ia mengusapkan tepat di bawah mata seperti sedang memakai eye cream.
Perlahan, Rara menekan kantong matanya dengan hati-hati. Panas yang meresap membuatnya terbelalak. Namun, tidak hanya rasa kantuknya yang lenyap, sensasi perih pun menyebar hingga ke dalam.
"Aw, panas!"
Rara mengentak-entak kesal. Kedua tangannya sibuk mengipasi area yang sama. Tidak kuat, gadis itu mulai menitikkan air mata dan tampak gusar. Rara menepuk lengan Meta berkali-kali mencari bala bantuan.
Kawan satu SMP itu ikut panik dan meniup area mata Rara. "Gimana?"
Hanya gelengan yang menjawab pertanyaan tersebut. Tidak membuahkan hasil, Rara pun beranjak dari duduknya dan lari ke luar kelas tanpa izin. Pak Syahrur melongo sambil menurunkan kaca matanya.
"Maaf, Pak. Rara buru-buru, matanya sakit," ucap Meta sembari mengangkat tangan.
Pak Syahrur mengangguk dan melanjutkan pidatonya. Meta lekas mengusap dada dan menghela napas lega. Ia kembali menyimak papan tulis dan mencatat.
||
Rara langsung membasuh wajahnya setelah sampai di wastafel kamar mandi. Berkali-kali ia mengusap matanya dengan air untuk menghilangkan minyak angin yang menempel di sana. Ia segera bersyukur setelah dapat melihat dengan jernih.
Gadis yang sejak kelas olahraga terus mengedarkan pandangan itu mengambil beberapa helai tisu dan mengeringkan wajahnya. Ia menatap cermin lalu mengernyit. Matanya masih merah dan sensasi panas masih terasa.
"Hah ...."
Rara pun beranjak menuju UKS. Berharap dapat meminta obat tetes sebelum kembali ke kelas.
Setelah mengetuk pintu yang setengah terbuka dan melongok ke setiap penjuru, Rara masuk tiada ragu. Tempat itu sepi tanpa penjaga. Ia pun berinisiatif mencari obat yang dibutuhkan di kotak bertuliskan P3K. Tinggi yang semampai membuatnya dengan mudah menjangkau benda yang ada di atas tersebut.
Rara terkejut saat mendengar suara gorden. Ia pikir tidak ada orang lain yang ada di sini. Rautnya semakin berkerut setelah mendapati orang yang ia cari sepanjang hari-lah yang menimbulkan suara tersebut.
"Lo ngapain di sini?" ucap mereka bersamaan.
Kahvi hanya menggeleng. Ia tak mau menanggapi dan kembali berurusan dengan Rara. Laki-laki itu melengos begitu saja tanpa membalas tatapan.
Tak tinggal diam, Rara menahan dan menarik tangan teman sebangkunya tersebut. Kahvi pun berhenti dan menoleh. Ia menatap Rara dengan penuh kekesalan. Wajah pucat dengan deru napas yang tak beraturan itu menampakkan guratan lelah.
"Lepas!" suruh Kahvi.
"Gue nanya baik-baik, lo kenapa? Sakit?"
"Urus aja urusan lo sendiri." Kahvi menghempaskan tangan Rara dan kembali melangkah.
"Kalau lo gak cerita, gue aduin ke guru BP," ancam Rara.
Kahvi berdecak dan berbalik. Ia menghampiri Rara dan menyudutkan gadis itu sampai menghantam tembok.
Sang empunya julukan BK andalan itu menggigit bibir bawahnya panik. Kahvi semakin mendekat hingga wajah mereka berjarak tiga senti. Rara pun berusaha menetralkan rasa takutnya agar tetap terlihat keren.
"Makasih udah perhatian, tapi gue gak sakit. Pelajaran olahraga bikin mual, jadi gue tidur di sini sampai kebablasan."
Kahvi segera enyah seusai berkata demikian. Bel pergantian jam membuatnya semangat karena telah berhasil menghindari sekian mata pelajaran. Ia meninggalkan Rara yang masih terdiam dengan obat tetesnya.
"Semprul!"
||
Kahvi keluar dari kamar mandi dengan wajah yang basah. Setelah pulang sekolah, ia lekas membersihkan diri, berharap penampilannya 'kan jauh lebih segar.
Meski tak menyukai keberadaan cermin di samping meja belajar, Kahvi tetap menyempatkan waktu 'tuk menatap wajahnya sendiri lekat-lekat. Warna hitam di bawah kantong matanya semakin merambat, padahal ia tidak kurang tidur. Bibirnya kian memucat dan juga kering.
Ia tidak baik-baik saja.
Kahvi mendengkus panjang. Ia kembali ke kasur dan menyalakan TV. Harinya benar-benar membosankan dan sunyi. Ayahnya masih bergulat di kantor dengan segudang laporan yang dikeluhkan. Ia telah terbiasa menunggu dan berakhir dengan bertegur sapa sepuluh detik sebelum terlelap.
Fokus Kahvi beralih pada ponsel di atas nakas yang terus bergetar. Anak itu mengabaikan panggilan yang ia tahu siapa gerangan yang menghubungi. Pekat irisnya kembali menonton kartun di TV dan mengencangkan volume.
Percuma, getaran yang dihasilkan ponsel tersebut terlalu keras. Kesal, Kahvi mengambil ponsel tersebut dan meletakkannya di bawah bantal. Syukurlah, getaran ponsel tersebut tak lagi senyaring sebelumnya.
Namun kini, tubuh Kahvi-lah yang bergetar hebat. Sial, umpatnya kesal atas kelakuan penelepon yang tak puas diri ini. Tanpa berpikir dua kali, Kahvi langsung menjawabnya.
"Halo!" Suaranya sangat tidak santai.
"Kahvi, Sayang."
Anak itu mengembuskan napas panjang. Dahinya tak lagi berkerut dan matanya lekas memejam. Sontak, Kahvi menjauhkan ponsel tersebut dari telinganya dan kembali melihat nama yang ada di layar. Andin, ibunya.
"Iya, Bu. Maaf, Kahvi lagi istirahat."
"Istirahat? Kamu kambuh?"
Kahvi menggeleng, seakan sang ibu dapat melihatnya, "Enggak, Bu."
"Beneran gak apa-apa? Dadanya sesek, gak? Pusing atau gimana gitu? Mau ke rumah sakit aja? Ibu yang jemput. Maaf ya, Ibu jarang nelpon kamu. Si tolol Bayu gak ngasih tahu Ibu apa-apa, Vi."
Kahvi terdiam. Tentu ia tidak tahu mengapa sang ayah memilih bungkam atas keadaannya, walaupun ia sendiri memang tak menginginkan kehadiran Andin. Marka hanya lelah menyaksikan perdebatan yang tak berujung.
Mungkin Bayu ingin Kahvi benar-benar istirahat, melupakan segala kepedihan di masa lalu, tanpa dibayangi oleh siapa pun. Atau Bayu ingin Kahvi tak mendengar percekcokan yang bisa saja terjadi antara ketiga dewasa tersebut--Bayu, Andin, dan Nirma. Atau bisa jadi Bayu mencoba menjauhkan Kahvi dari hal-hal yang tak diinginkannya. Entah ingin dari Kahvi, atau dari Bayu sendiri.
"Kahvi?"
Lamunan anak berambut minimalis itu buyar begitu saja saat Andin kembali memanggilnya. Ia menghela napas dan mengusap wajahnya gusar. Kahvi menelan ludah sebelum mulai beralibi.
"Gak perlu repot-repot, Bu. Kahvi gak pa-pa. Bentar lagi Ayah juga pulang."
"Ya sudah kalau begitu, kapan-kapan kamu ke menginap di rumah Ibu, ya. Jangan lupa minum obat dan istirahat yang cukup."
"Iya, Bu. Asalamualaikum."
Tak berselang lama dari salam yang Kahvi ucapkan, Andin mengakhiri panggilannya. Anak itu kembali menaruh ponselnya ke tempat semula.
Tiba-tiba mood Kahvi berubah suram. Ia tidak ingin pulang ke rumah ibunya. Namun, rumah ini juga tak sehangat yang ia mau.
Bunyi acara gosip yang mengisi ruangan seakan tak ada arti. Terabaikan begitu saja. Kahvi memilih menjatuhkan badannya ke kasur dan menatap langit-langit.
Harus bagaimana? Ia tahu apa yang diinginkan, tetapi tidak tahu cara meraihnya. Dengan mata masih menatap atap, Kahvi meraba-raba mencari remote dan mematikan TV.
Mata Kahvi belum berkedip sekali pun dalam tiga menit. Ia masih setia menatap langit-langit kamar yang tak ada indahnya sama sekali. Lama kelamaan, matanya turun dan terpejam. Usaha yang bagus untuk membuatnya lelah dan pulas setelahnya.
"Setidaknya, dalam mimpi kata 'baik-baik saja' bisa tercipta semaunya."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top