4: Tawaran
Yank, coba kau jujur padaku. Yank, foto siapa di dompetmu? Yank, kok kamu diam begitu? Sayang, jawab atau aku pergi, Sayang ….
Jam kosong yang berlangsung tiga puluh menit mampu mengubah kelas menjadi tempat karaoke. Dua orang siswa dengan asyik naik ke meja depan dengan sapu yang mereka bawa dari sudut ruangan. Ada yang berlagak memetik gitar dan memegang mikrofon. Tiga lainnya berjoget di bawah dengan mata terpejam dan tangan terangkat.
Aku tak mau bicara sebelum kau cerita semua. Apa maumu? Siapa dirinya? Tak betah bila ada yang lain.
Rara mendengkus. Meski tertarik dengan lagu dari Wali, ia tak mau membuang tenaganya. Gadis itu memilih bersandar pada kursi dan menatap sosok yang masih tekun membaca lembar kerja biologi.
Siswi yang memiliki nilai pas-pasan itu mengernyit heran. Ia menggeleng kala meneliti kawan sebangkunya dari atas hingga bawah. Fokusnya beralih pada kertas cokelat bermotif batik dengan plastik bening yang membalut permukaan buku. Di setiap sampul, tertulis nama lengkap serta identitas lain, seperti kelas dan alamat rumah.
Rara tertegun. Kahvi sungguh rapi. Tak hanya rambut dan pakaian, alat tulisnya pun demikian. Bahkan laki-laki itu menyimpan bolpoin dan tetek bengek lainnya pada kotak pensil.
"Ra," panggil Meta seraya menendang kursi gadis di depannya.
"Apa?"
"Gimana? Lulus belum?" sambungnya berbisik, tidak mau korban gosipnya mendengar percakapan tersebut.
Rara menggeleng, "Belum."
Si BK andalan berkata jujur. Mungkin bungkam adalah nama tengah Kahvi. Anak itu sekali-kali tak berbagi kisah dengan Rara. Setiap kali didekati, ia hanya berdecak, menggeleng, lalu berpindah lokasi.
Sinta memanyunkan bibir. "Kasihan, ih. Dia gak ada temennya."
"Ya, kan belum lulus."
Rara menelan ludah. Memang tak satu orang pun--selain dirinya--yang menawarkan pertemanan pada anak berbaju licin tersebut. MOS khusus yang diberlakukan kelasnya memang konyol.
Jika ada murid baru, dia harus 'curhat' terlebih dulu pada sang ketua kelas. Kalau menolak, tak ada satu pun yang mau mendekat. Kurang lebih, begitulah bunyinya.
Peraturan ini berlaku setelah Lola menginjak kelas IPA 1. Gadis yang sudah setengah tahun mereka terima itu lolos dengan mudah hanya dengan menceritakan alasan kepindahannya.
Namun, berbeda dengan Kahvi. Hal sepele tersebut tidaklah sederhana untuk diungkapkan, atau mungkin tepatnya tidak ingin berbagi. Apa pun itu, Rara tidak tahu dan kini kepalanya pun mendidih.
"Masak gak cerita sama sekali sih, Ra? Muka dia penuh konflik gitu," celetuk Meta.
"Iya, loh! Penuh beban." Sinta tidak mau kalah.
Raut wajah Kahvi memang tak berwarna. Bibirnya pucat dan lingkaran di bawah matanya sangatlah hitam. Beruntung masih tertutup kacamata, meski hanya sekilas. Kalau tidak, dapat dipastikan memprihatinkan.
Rara mengembuskan napas panjang. "Gue gak ngerti. Udah usaha dari kemarin, tapi dia masih diem aja."
"Beuh, seorang Rara aja gak diajak ngobrol, apalagi kita-kita," seru suara tak bertuan.
Rara, Meta dan Sinta kompak mendongak. Setelah berucap demikian, Tomi berjalan santai dan berdiri di depan Kahvi. Kedua matanya menatap sinis, sedangkan lidahnya bermain menyapu bibir.
Kahvi menghentikan aktivitasnya. Anak itu menutup buku lalu menengadah. Sekali ia membenahi letak kacamata lalu tersenyum pada pentolan kelas yang digandrungi banyak siswi tersebut.
Kedua laki-laki berhidung proporsional itu beradu tatap cukup lama. Tiga gadis yang duduk di samping mereka lekas menegapkan diri dan menunggu.
Kesal, Tomi berdecak dan menyeringai. "Mau sampai kapan lo jaga image di sini?"
"Gue gak lagi jaga apa-apa."
"Terus kenapa lo gak curhat-curhat ke Rara? Sok misterius? Biar apa? Keren?"
Kahvi tertawa pelan. Ia menggeleng tanpa mengalihkan pandangan. "Kalau iya, emang kenapa?"
"Lo--"
Dua siswa di belakang Tomi lekas menahan tangan anak itu kala hendak melayangkan pukulan. Rara yang melihat hal itu refleks berdiri dan menarik tangan Kahvi secara paksa.
"Heh!"
"Ikut gue sini!"
Tenaga Rara cukup kuat untuk mencengkeram dan menyeret Kahvi keluar kelas. Gadis itu terus mengeratkan genggamannya saat Kahvi mencoba melarikan diri. Keduanya berhenti di lorong yang sepi tepat di depan UKS.
"Kenapa sih narik-narik?" kesal Kahvi menghempaskan tangannya. "Gue kan dah bilang, jangan i--"
"Curhat aja kenapa, sih? Ribet amat jadi orang. Mau lulus, gak?"
"Hah?"
"Please, bilang 'dengerin curhat gue dong, Ra' gitu."
"Hah?"
"Hah heh hah heh. Ih, cepet."
Dahi Kahvi spontan berkerut, ditemani dengan alis yang terangkat. Ia pun menggeleng dan berlalu. "Sarap lo, ya!"
||
Piring yang masih menyisakan separuh porsi ditinggalkan begitu saja. Anak yang baru menelan dua pil putih tanpa air terlihat tergesa-gesa 'tuk segera enyah. Alasannya masih sama, ia lelah dibayangi oleh sosok yang mengikuti tanpa henti.
Kahvi menghentikan langkahnya. Ia berbalik dan menatap Rara yang berlagak menatap atap kantin. Gadis itu tampak kikuk dengan kaki terus mengentak-entak.
Istirahat siang masih dua puluh menit lagi. Sangat sia-sia bila Kahvi kembali ke kelas dan tak menghabiskan kenikmatan yang diberikan. Alhasil, anak itu berbelok ke taman yang ada di belakang sekolah.
Rara masih setia menunduk dan mengikuti. Gadis yang memakai headset itu berjalan riang--sedikit melompat--berkat iringan 'bersamamu' dari Vierra. Ia menapaki setiap jejak yang dihasilkan Kahvi dengan mulut bersenandung.
Langkah Rara berhenti saat orang yang diikutinya telah duduk bersandar pada pohon rindang. Meski hampir dua tahun bersekolah di SMA Bakti, gadis itu belum pernah menghabiskan waktu di sana. Tak ingin mengganggu, ia pun duduk beralas rumput dan beratapkan langit.
Bener kata Kak Widy, memandang wajah lo bikin cerah, bikin gue tersenyum senang. Indah banget dunia.
Baru saja. Publik
Suka. Tanggapi. Komentari. Berita Lengkap. Simpan. Lainnya
Rara segera mengantongi ponselnya. Netra indah gadis itu tak berpaling sedikit pun pada sosok yang kembali membuka buku. Senyumnya mengembang saat Kahvi menurunkan kacamata dan menggumamkan bacaannya.
Sungguh unik. Sepertinya incaran Rara kali ini menjadikan buku sebagai kekasih. Selain kelas dan perpustakaan, Kahvi juga membaca di kantin, taman, tempat parkir, dan masih banyak lagi.
Jenisnya pun beragam. Mulai dari buku pelajaran, novel, hingga kamus bahasa Inggris. Rara hanya bisa menelan ludah dan menggeleng ria.
"Mau sampai kapan lo panas-panasan di situ?" ucap Kahvi tiba-tiba.
"Hem?" Rara celingak-celinguk. "Lo ngomong sama gue?"
"Enggak."
"Terus?"
"Sama buku."
"Ooh."
Kahvi mendengkus. "Ya sama lo, lah! Jangan sok begok."
Rara mengerucutkan bibirnya. "Udah begok, ngapain sok-sokan."
Kahvi refleks terkikik. Jujur sekali, batinnya.
Rara membelalakkan matanya. "Lo ketawa? Sumpah? Ih gemes," serunya sambil menyatukan kedua tangan.
"Ehm," Kahvi berdeham dan memasang wajah serius, "enggak. Kata siapa?"
Rara beranjak dan berjongkok di depan lawan bicaranya tersebut. "Gue. Tadi gue denger lo ketawa. Udah gak usah bohong. Gue lucu, 'kan?"
Kahvi melirik sekilas lalu kembali menatap buku. "Kudu banget dijawab 'iya'?"
Rara mengangguk mantap, "He'eh."
"Hem. Lo lucu, kok."
Meski dingin, Rara tetap semringah mendengarnya. "Jadi, udah mau curhat, nih?"
Tetap bertahan 🤧
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top