21: Absen

Gadis yang membelah rambutnya menjadi dua bagian itu bersandar pada kursi dan meletakkan kepalanya di meja belakang. Ia kembali mendengkus sambil menggumamkan lirik lagu yang terputar lewat headset. Bangku tanpa penghuni di sebelah pun turut mengosongkan hari-harinya.

Tiga hari berlalu setelah nama Kahvi diserukan oleh ayahnya sendiri. Rara masih ingat betapa sinisnya wajah Bayu saat mengambil alih kursi sang anak dan mendorongnya hingga kamar rawat. Tanpa senyum-sapa-salam, laki-laki itu meninggalkan gadis nan kaku dengan raut penuh kalut.

Bel istirahat siang telah berdentang. Satu per satu siswa IPA 1 lekas keluar kelas. Maklum, Pak Imam selalu meninggalkan pelajaran sebelum waktunya. Hitung-hitung sebagai diskon sebab kejailan yang bertubi-tubi.

"Ikut ke kantin gak, Ra?" ajak Meta.

Gadis yang mengerucutkan bibir itu bangkit dan menggeleng, "Enggak. Gue langsung ke gazebo aja."

"Nitip apa?"

"Emm … susu cokelat."

"Ok," Meta meraih tangan Sinta, "ayo!"

"Eh!" Rara menahan kedua kawannya dengan berteriak lantang. "Yang dingin."

Tanpa suara, Meta mengangkat jempolnya lalu hilang dari ambang pintu, begitu pula dengan Sinta. Rara pun tersenyum dan menggeleng kecil. Ia lekas mengambil laptop dari dalam laci dan berjalan menuju lokasi Wi-Fi terkencang di SMA-nya.

Sepatu yang dibeli penuh pengorbanan--dalam menawar harga--diseret malas. Setelah satu lalu dua berganti menjadi tiga, lelahnya telah di ujung tanduk. Rindu yang Rara tuju sedang berada di luar jangkauan. Rasa takut terlalu mendominasi hingga kakinya enggan menginjak lantai rumah sakit lagi.

Namun, ia benar-benar resah sampai berjalan gontai. Angin yang tak seberapa kencang mampu membuatnya terhuyung-huyung. Siapa sangka, ketidakhadiran Kahvi begitu menyiksa Rara dan membakar ubun-ubun.

Gadis itu duduk tanpa melepas sepatu di tempat favoritnya, tepat di ujung lorong di samping ruang guru. Bahkan kala berpindah ruang pun, sepi terus menemaninya. Benar-benar tidak ada siswa yang singgah di sekitar sini. Kantin memang lebih harum dan menggugah selera untuk dikunjungi.

"Gurubakti2020," gumam Rara seraya mengetikkan password yang ia bobol dari laptop wali kelasnya.

Rara Si BK Andalan

Kemarin
Sorry

Kahvi?

Gue minta maaf, lo pasti dimarahin Om lagi.

Vi? Lo gak apa-apa, 'kan?

Hari ini
Hai

Gimana kabar lo?

Masih gak mau bales, ya?

Vi?

Gue kangen.

Tanda titik pada pesan terakhirnya belum juga mendapat balasan. Dibaca pun tidak. Kahvi hilang bak ditelan raksasa pada bulan purnama. Rara hanya bisa mengacak rambut seraya mengentak-entakkan kaki.

"Argh! Sial!"

Gadis itu mendekap laptopnya pelan. Lagi-lagi ia mengembuskan napas panjang dengan tatapan yang semakin sayu. Rara menelan ludah dan menggigit bibir bawahnya.

"Hih!"

Kepalan tangannya menggebrak lantai yang terbuat dari kayu. Napasnya kembang kempis hingga mengerutkan dahi. Dengan cepat Rara melampiaskan kekesalannya pada papan ketik.

Jangankan 'nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi' karena nomor lo aja gue gak punya. Mungkin lebih tepatnya 'nomor yang Anda tuju tidak terdaftar' sebab gue gak tau lo masuk golongan mana.

Yang jelas, gue kangen. Udah itu aja.

Baru saja. Publik
Suka. Tanggapi. Komentar. Berita Lengkap. Simpan. Lainnya

Seketika setelah statusnya terkirim, Rara menutup laptop tanpa mematikannya terlebih dulu. Ia pun berbaring dengan kaki tetap menyilang. Netranya memandang langit-langit yang bersih dari sarang jenis apa pun.

Rara mengambil ponsel yang ia simpan di saku baju. Jarinya memilah menu dan mencari ikon musik. Album Vierra tetaplah menjadi pilihannya.

" 'Ku tahu kamu bosan, 'ku tahu kamu jenuh, 'ku tahu kamu … tak tahan lagi."

Rara mulai bernyanyi. Meski lirih, suara merdunya cukup 'tuk membuat siswa yang sekadar lewat lekas mencari-cari. Gadis itu tak lagi acuh dan melanjutkan lantunannya tanpa berkedip.

"Ini semua salahku, ini semua sebabku, 'ku tahu kamu … tak tahan lagi."

"Jangan sedih, jangan sedih, aku pasti setia."

Rara tersentak lalu bangun dari pembaringannya. Ia mengelus dada kala Meta dan Sinta menginterupsi aksinya. Kedua gadis itu hanya terkekeh sambil melepas alas kaki.

"Resek lo!" kesal Rara.

"Nyambung lirik apa salahnya?" Meta pun menyanggah.

"Ya kan bisa salam dulu atau ngomong apa gitu kek!"

"Asalamualaikum," ucap Sinta lembut nan manja.

"Telat!" Rara berdecak dan melipat kedua tangan. Dagunya terangkat sembari berkata, "Mana susu gue?"

"Nempel."

"Hih, serius, Met!"

Meta semakin tergelak hingga sakit perut. "Duh, habisnya lo gak jelas mulu dari tadi pagi."

Sinta menggeleng sambil menyodorkan pesanan Rara, "Nih!"

"Makasih."

Raut yang menekuk mulai mengembang membentuk senyuman. Susu cokelat tidak akan pernah berkhianat. Rara telah jinak, Meta dan Sinta tak lagi ragu untuk mendekat.

"Ra?" panggil Meta

"Hem."

"Anu … lo lagi ada masalah, ya?"

Rara mengatupkan bibir sebelum menjawab, "Hah?" Mata Rara bergerak liar lalu menghindari kedua sahabatnya, "ngaco lo."

"Kita serius." Sinta ikut bersuara. "Status lo di FB galau terus dari kemarin."

"K-kan biasanya juga gitu."

"Enggak, beda. Ini … kayak lo," ucap Meta.

"Ya iyalah itu gue. Emang biasanya siapa kalau bukan--"

"Orang lain. Kata-kata 'bijak' lo itu dari curhatan anak-anak. Iya 'kan?"

Rara menggeser duduknya sedikit ke belakang. Ia menunduk lalu menoleh, menatap Meta dan Sinta bergantian. Kuku-kuku yang tak bersalah pun ia kikis hingga bergeretak.

"Ra ...." Meta meraih kedua tangan Rara dan menggenggamnya erat. "Gue tau, eh enggak, kita semua tau … lo emang konselor terbaik di sekolah ini. Tapi bukan berarti lo bisa bebas dari masalah."

Sinta tersenyum lalu mengusap punggung Rara. "Kalau lo butuh tempat pembuangan, jangan lupa … kita ada di sini."

Gadis yang kini menunduk itu mulai meneteskan air mata. Rara tersenyum atas pedih yang bercampur syukur. Ia mengangkat wajah lalu menatap kedua temannya lekat-lekat. Sebuah anggukan ia berikan sebelum kembali memeluk erat.

"Makasih ...."

||

"Untuk mencari nilai x, kamu harus menyelesaikan persoalan ini dulu. Rumusnya--"

Kahvi mendongak. Infusnya kembali diganti oleh suster yang baru terlihat hari ini. Ia tersenyum tipis kala mata wanita tersebut bertemu dengan miliknya.

"Nah selanjutnya--"

Laki-laki itu mendengkus. Ia benar-benar bosan mendengar penjelasan berulang dari guru les privat yang dipesan oleh ayahnya. Sudah dua jam dan berkali-kali pula Kahvi mengembuskan napas panjang. Hawa panas yang bergelut di tubuh tak tertolong oleh double AC.

"Gimana? Sudah paham?"

Kahvi hanya mengangguk. Ia paham dan sangat paham. Materi yang diterima kali ini telah ia telan kemarin sore. Bagaimana tidak, sang ayah menyita ponsel dan hanya memberinya buku paket. Setiap menit Kahvi dihantui oleh pertanyaan yang sama, yakni 'sudah belajar atau belum'.

"Hah ...."

Kahvi menjatuhkan tubuhnya. Ia berlagak memegang kepala sembari mengernyit. Ia mengeraskan keluhannya, mencoba meraih simpati.

"Kenapa, Vi?"

Sang mentor pun mulai panik. Ia sedikit berdiri sambil mengusap lengan kiri Kahvi. Bayu yang sedari tadi membaca koran dan menyilang kaki lekas beranjak dan mendekat.

"Pusing, Kak," ucap Kahvi sambil melirik ke arah ayahnya. "Aduh ...."

Anak itu mengedipkan mata kanan lalu menutup keduanya seolah memberi syarat. Gadis berhijab biru muda itu mengernyit lalu mengangguk setelah menangkap sinyal yang diberikan.

"Em, kalau gitu lesnya sampai sini dulu, ya. Besok Kakak datang seperti biasa. Met istirahat." Ia beranjak keluar setelah berpamitan, "Mari, Pak."

Belum sampai terlontar, kalimat Bayu menggantung di udara. Ia spontan bertolak pinggang dan menatap putranya sinis. Ia menarik kursi lalu duduk dengan kasar. Amarahnya semakin memuncak kala Kahvi menutup wajahnya menggunakan selimut.

"Ayah tau kamu bohong."

Kahvi menggeleng kuat agar gerakannya terbaca sang ayah, "Enggak, Yah. Kahvi beneran pusing."

"Halah--"

"Kahvi pusing, Yah."

Pusing dengan segala pelajaran yang ajarannya patut dipusingkan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top