20: Curhat

Mungkin taman akan menjadi tempat favorit mereka sepanjang masa. Tak hanya di sekolah, bahkan di rumah sakit pun demikian. Hanya tempat itu yang melintas di otak dan terlontar dari mulut. Sangat general, indah, dan menenangkan.

Namun, sejak kursi roda yang didorong itu berhenti, tidak ada satu pun yang membuka suara. Keduanya masih memalingkan pandangan dan menyibukkan diri dengan hal lain. Kahvi yang mengabsen burung-burung kecil di langit dan pepohonan, dan Rara yang menunduk sambil menggaruk sela antara ibu jari dan telunjuknya. 

Gadis itu tak berniat untuk singgah lebih lama. Hanya saja nasib terlalu baik sampai memberinya celah 'tuk bersanding. Sungguh, raga Rara terjun bebas kala suster menyarankannya untuk membawa Kahvi mencari udara segar. Hal yang 90% ingin dihindari malah menyambutnya dengan tangan terbuka.

Bukan kosong, tetapi Kahvi belum mau berspekulasi lebih jauh. Ia menunggu dan terus menunggu agar Rara mau membuka mulutnya. Sesekali laki-laki yang tak sepucat sebelumnya itu melirik dan tersenyum tipis. Hari ini, Rara sangatlah berbeda dari biasanya.

"A-anu ...."

Rara terus mengikis kukunya. Bibirnya mulai maju mundur tak menentu, digigit lalu menutup rapat. Matanya bergerak liar, ke kiri–kanan–atas–bawah. Kaki pun turut mengentak-entak kecil, sedikit bergetar seperti tangannya.

"Gu-gu ...."

Deru napas gadis berlabel pendengar terbaik itu kian cepat. Kali ini Rara beralih mencengkeram rok abu-abu yang minggu lalu kembali dipersempit. Paha tanpa dosa itu diremas kuat guna menyalurkan segala hal yang berkecamuk. Salah, takut, kalut, dan … khawatir.

"Gu-gue--"

Kahvi menghela napas panjang. Matanya terpejam sesaat lalu kembali terbuka dan menatap kedua tangan Rara. Entahlah, ia merasa prihatin, padahal seharusnya ia-lah yang lebih mengenaskan di sini.

Banyak hal yang ingin Kahvi tanyakan. Namun, semua digeser dengan satu kalimat utuh, yakni apa atau malah siapa yang membuat Rara bertingkah demikian? Walau sebenarnya kalimat itu terlalu umum untuk ditanyakan, sebab 99% Kahvi yakin dengan jawabannya, sedangkan 1% lainnya adalah Rara mengarang dengan alasan lain.

Rara meraup oksigen sebanyak mungkin sebelum berkata, "Gue … minta maaf."

"Buat?"

"Ma-maaf," ulang Rara.

Alis Kahvi bertaut heran. "Ra?"

"Gue bener-bener gak tau apa-apa … sampai lo kayak gini …, lagi."

Kahvi mulai tersenyum lalu terkekeh. Ia melepaskan tawanya seraya menengadah. Rara yang berada tepat di sampingnya hanya menatap dengan raut penuh tanya.

Laki-laki itu meredam antusiasnya sambil mengatur napas. Ia tidak boleh terlalu riang atau nyawa 'kan melayang. Kahvi lantas menoleh dan mendapati Rara tengah berkedip polos, bagai terukir kata 'hah' di jidatnya.

"Jadi maksudnya, sekarang lo harus tau apa-apa biar gue gak kayak gini lagi?"

"Hah?" Rara menggeleng sambil mengangkat tangan, "Enggak, enggak gitu. Maksud gue tuh--"

"Lo dimarahin bokap, ya?"

Agaknya kalimat tanya itu sangat tepat sasaran hingga mampu membekukan. Tangan yang semula sejajar telinga lantas luruh dan kembali ke atas paha. Syukurlah, kedua netranya tidak beralih dari iris pekat milik sang lawan bicara.

"Bener ternyata." Kahvi terkikik lalu memandang langit. Ia bersandar pada kursi roda sambil menyeringai.

"Wa-wajar kok, kan-kan memang salah gue. Ka-kalau--"

"Ra," sela Kahvi di tengah kepanikan teman sebangkunya tersebut. "Ortu gue cerai."

Hah?

Rara tak berkutik. Tubuhnya terkunci dengan mata terbelalak dan mulut menganga. Hanya ungkapan ketidakpercayaan itu yang terucap dalam hati. Tangan kanannya spontan menutup mulut agar ia tetap cantik.

"Rumah lama dijual. Gue ikut bokap sama ibu baru," Kahvi menoleh dan tersenyum ke arah Rara, "makanya gue pindah sekolah."

Gadis yang tengah beradu tatap itu menelan ludah. Ia tak pernah mengira perpisahan seperti inilah yang menyebabkan Kahvi menginjakkan kaki di IPA 1. Rara memukul mulutnya berulang kali setelah menyadari kebodohannya. Orang tua pindah tugas? Sungguh konyol!

"Dan masalah kenapa harus SMA Bakti …, semua murni karena guru les gue, salah satu orang kepercayaan Ayah." Kahvi kembali menghadap depan, membenahi duduknya lalu menautkan kedua tangan. "Dia yang menyarankan segala hal, mulai dari sekolah hingga tempat les."

Rara mengangguk ria. Tubuhnya tidak lagi sekaku sebelumnya. Telinga yang menajam dan batin yang mencerna membuatnya nyaman dalam menyesuaikan diri. Ia masih mendengar dan terus mendengar, tanpa ingin menanggapi sebelum dipersilakan.

"Ayah hanya ingin yang terbaik, buat gue dan dari gue," Kahvi menoleh dan memiringkan ke kanan, "menurut lo, ada yang salah, gak?"

Rara terkesiap. Ia belum siap menerima pertanyaan tersebut. Sangat tiba-tiba sampai membuatnya salah tingkah. Ia mengusap daun telinga dan menurunkan roknya yang sekali-kali tidak terlipat.

"Emm," ucapnya mengulur, "kalau dinilai dari kalimat itu …, gak ada yang salah, Vi."

Kahvi manggut-manggut dan melanjutkan, "Lalu salahnya kalau dinilai dari mana?"

"Porsi, situasi, kondisi."

"Porsi?"

Rara mengangguk, "He'em. Porsi. Lo tau, 'kan? 'Segala sesuatu yang berlebihan itu tidaklah baik'. Se-ga-la," terang Rara menekankan.

"Meskipun itu kebaikan?"

"Emm ...." Rara kembali mengulur, "seharusnya."

Kahvi menggeleng tanpa sebab. Ia bukan tidak setuju, hanya tidak percaya. Kini ia paham, mengapa Rara menyematkan kata andalan di belakang BK pada nama akun facebook-nya.

"Nyokap juga mau nikah lagi."

"Hah?" seru Rara tak terbendung. "Eh, sori-sori," ralatnya secepat mungkin.

Kahvi terkikik sambil menatap langit yang sesungguhnya. "Gak masalah. Memang itu kenyataannya."

"Jadi kemarin lo nangis karena ...."

Anggukan pun memotong kalimat Rara. "Semua ini terlalu tiba-tiba. Gue belum bisa nerima ibu baru, apalagi ayah baru. Kehidupan baru ini terlalu rancu."

Tanpa panggilan, sekumpulan kaca muncul di binar netra Rara. Hatinya menghangat, meski bak dihantam beraneka macam bebatuan. Batinnya terus bersyukur, setidaknya papa dan mama di rumah tengah baik-baik saja. Rindu pun terpanggil 'tuk bersua.

Gadis itu meraih tangan kiri Kahvi tanpa permisi. Ia menggenggam erat sambil mengusap-usapnya. Sontak hal tersebut membuat Kahvi terperanjat dan lagi-lagi memandang Rara dari ujung rambut hingga ke kedua tangan mereka.

"Vi," panggil Rara lembut.

Kahvi menggeleng seraya tersenyum. "Lo gak perlu ngedrama dengan rasa kasihan. Gue OK. Untuk sekarang."

"Bukan, bukan itu."

"Lalu?" heran Kahvi tanpa menarik tangannya, meski ia risi saat telapak nan basah bertemu dengan milik orang lain.

"Kenapa?" Akhirnya Rara mengucapkan kata itu kembali.

"Hem?"

"Kenapa lo ceritain hal ini ke gue?"

Laki-laki yang kini banjir peluh itu menunduk, berusaha menyembunyikan senyumnya. Setelah sekian lama lari dari teror curhat dari Rara, ia dengan senang hati meluapkan semuanya. Tidak heran bila gadis itu bertanya demikian. Kahvi tahu dan paham akan hal tersebut.

Ia pun mengangguk yakin dan melihat manik mata Rara yang masih berair. "Seperti yang lo bilang kemarin," Kahvi mengeratkan genggamannya, "gue butuh tempat pembuangan masalah."

Mendengar hal itu, Rara dapat bernapas lega. Akhirnya dan akhirnya terus terngiang di kepala dan batinnya. Kedua remaja itu bertukar senyum dan tawa. Semilir angin yang membawa hawa panas menjadi saksi kehangatan mereka.

"Kahvi!!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top