2: Titip Salam
"Malam, Kak So, penyiar kecintaan sejuta umat yang makin hari suaranya makin mirip Agnes Monica. Sang pujangga dari BK Andalan mau request lagu, nih."
Rara meraih Lola--teddy bear pemberian ayahnya--lalu mendekap erat. Ia merapatkan duduknya seraya memperbesar volume radio klasik peninggalan sang kakek. Hatinya berteriak 'hore' saat SMS yang ia kirim berkesempatan untuk dibacakan. Tubuh gadis itu lantas bersandar pada ranjang indekos. Binar matanya menatap langit-langit kamar dengan senyum yang merekah.
" 'Jadi yang Kuinginkan' dari Vierra, khusus buat anak baru yang kalau jalan cuma lewat doang. Besok-besok mampir, dong! Siapa tau hati ini setuju."
Gadis itu terkekeh dengan gombalannya sendiri. Ia telah bersiap 'tuk membalas pesan masuk dari sahabat-sahabatnya, yang juga penggemar siaran radio tersebut.
"Spesial pakai alunan piano Kak Kevin buat yang inisial K-A-H-V-I. Makasih ...."
Gemas, Rara melempar Lola ke sisi kanan dan mengentak-entak kaki tak karuan. Seprai yang semula rapi seketika berubah mengenaskan. Selimut yang tertata tepat di bawahnya turut menjadi korban.
Raut Rara kian semringah dengan gigi berjajar sempurna. Ia masih saja merem melek dengan tangan memeluk lutut. Ia benar-benar mengagumi setiap kata yang ia tulis maupun ucap, meski hati sebenarnya tak berkata demikian.
~~Kau tak sepenuhnya sendiri. Aku 'kan selalu ada di sini. Mengapa oh mengapa dirimu ... penuh dengan rasa bimbang?~~
Kepala gadis itu lantas manggut-manggut. Lagu yang baru saja ia minta telah diputarkan. Rara kembali berbaring dengan tangan terentang dan kaki menyilang. Matanya terpejam 'tuk menikmati setiap melodi yang singgah di telinga.
Gadis yang juga terkenal dengan pulsa yang melimpah itu tak pernah absen untuk mengirim SMS ke siaran radio favoritnya. Sebenarnya, bukan lagu tertentu yang menjadi alasan utama Rara atas antusiasme tersebut. Toh, ia telah memiliki album Vierra yang dibelikan ibunya seminggu setelah rilis.
Salam yang terkandung di dalamnya adalah poinnya. Rasa lega dan bangga selalu menggelutinya kala untaian kalimat yang ditujukan untuk orang lain itu dapat diperdengarkan ke seluruh penjuru. Identitasnya pun aman terkendali. Hanya orang-orang di sekitarlah yang memahaminya.
Tok, tok, tok!
Rara terperanjat kaget. Ia lekas bangkit dan mendengkus kesal. Siapa yang bertamu malam-malam begini? batinnya. Meski malas, ia tetap beranjak untuk membuka pintu.
"Rara, Sayang!"
"Mama?"
Mata cokelat itu membulat saat Veni--ibu Rara--datang membawa kantong putih berisi martabak telur langganan keluarganya. Wanita sepertiga abad itu melenggang masuk tanpa dipersilakan. Rara hanya melongo melihatnya.
Bau kenikmatan yang 'tlah lama tak Rara hirup menyeruak ke seluruh penjuru kamar. Langkah yang semula enggan itu kian dipercepat mengikuti sang ibu.
"Mama kok tumben? Gak ngasih kabar dulu ke Rara," heran anak semata wayang tersebut kala menarik kursi belajar. Ia membiarkan Veni duduk di kasurnya.
"Mampir aja, kok. Tadi Mama ada arisan di sekitar sini. Ya, sekalian aja."
Rara memutar bola matanya malas sambil berkacak pinggang. Ia menggeleng tak percaya akan apa yang didengarnya. Sedikit mustahil, mengingat kediaman keluarganya tidaklah dekat.
"Duh, Ma. Kasih alasan yang logis dikit, kek."
Veni tersenyum kikuk. Tangannya bergerak menjangkau martabak yang ia letakkan di atas nakas lalu membukanya. Wanita itu menawarkan makanan favorit sang putri sebagai bentuk tawar menawar.
"Mau?"
Rara menggeleng dengan tangan terlipat di depan dada. "Jangan mengalihkan pembicaraan, dong."
Veni mengembuskan napas panjang. Ia mencomot sepotong martabak tersebut dan mengunyahnya. Rara yang melihat hal itu semakin geram dan tak sabar. Alis tebalnya bertaut dan dahinya berkerut. Binar yang semula bahagia itu berubah menakutkan.
"Ma, jangan main-main, ih! Mama gak mungkin dateng ke sini cuma buat mampir."
Veni berdiri dan mendekati Rara. "Segitu gak bolehnya seorang ibu buat ketemu putrinya yang cantik ini?" ucapnya seraya mengusap pipi gadis itu.
"Gak usah sok lebay deh, Ma."
"Mama kangen kamu, Ra." Veni kembali duduk ke tempatnya semula.
"Kalau kangen, Mama udah suruh Rara buat pulang."
Gadis bertubuh ramping itu berdecak. Keputusannya untuk hidup mandiri dan jauh dari rumah bukan sepenuhnya kemauan Rara sendiri. Orang tuanya-lah yang terlibat 'mengusirnya'. Selama setahun, baru ini ibunya datang tanpa kabar. Tak heran bila Rara menaruh curiga.
"Iya, deh, Mama ngaku. Tadi papamu bilang kalau Bu Diah laporan. Udah berapa hari kamu gak les, hem?"
Skak. Rara langsung terpaku. Tak sebersit pun terlintas di otaknya akan masalah ini. Seketika keringat dingin memenuhi kening dan telapak tangan. Mampus, umpatnya lirih.
"Ma-maaf, Ma."
"Bahkan harusnya sekarang ada jadwal les. Iya, 'kan?"
Rara refleks mengecek ponselnya. Hari Minggu, tidak salah lagi. Dua kosong. Kali ini ia benar-benar bergeming.
"Mm ...."
"Ra," Veni berjongkok di depan putrinya dan menggenggam kedua tangan Rara dengan erat, "kamu tau kalau Papa dan Mama kerja mati-matian buat masa depan kamu, 'kan?"
Sang anak hanya mengangguk pelan. Hatinya menghangat. Rara merasa bersalah. Namun, otaknya terus meronta meminta 'tuk diistirahatkan. Kegiatan sekolah saja sudah cukup menyiksa. Berdiam di tempat les hanya akan memperburuk sistem kerja seluruh organnya.
"Tapi Ma--"
"Mama tau ..., anak Mama satu ini selalu nurut, pinter lagi .... Iya apa iya?"
Rara menelan ludah. Ia ingin mengeluh sekali saja. Namun, lidahnya kelu hingga suaranya tertahan di tenggorokan.
"Besok, kudu masuk les lagi, ya."
||
Rara menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia segera mengganti daster batik hasil cuci gudang dengan kaos polos berwarna kuning yang didapat berkat buy one get one free. Tak lupa ia menata rambut super lebat dan merepotkan itu dengan mengucirnya tinggi-tinggi. Tangannya meraih tas ransel dan kunci kamar sebelum enyah dari ruangan tersebut.
Gadis itu kembali memantaskan diri di depan kaca yang ada di lantai dasar sebelah pos satpam. Ia memandangi sepatu putih bermotif kelinci yang turut menambah kesan lucu dan menggemaskan.
Langkahnya tergesa menuju tempat les setelah melihat jam dinding. Lima menit lagi kelasnya akan dimulai.
Hening. Mata Rara mengedar dari depan ke belakang. Belum ada aktivitas belajar mengajar di sana, bahkan kursi-kursi belum terisi penuh. Gadis penyuka pelajaran seni budaya itu menghela napas lega.
"Nih," ucap seorang gadis seraya menyodorkan air mineral.
"Makasih, Met."
Baru diserahkan sekian detik, botol itu ditenggak hingga sisa separuh. Meta hanya meringis, sedangkan dua gadis di sampingnya masih antusias melahap rujak buah yang dibeli di depan tempat les, tak jauh dari indekos Rara.
"Mau, Ra?" tawar Sinta, gadis berkacamata yang memiliki tanda lahir di pipi kiri.
Rara hanya menggeleng.
"Udah gue duga, sih, makanya nawarin. Haha."
"Dasar!"
Rara duduk menopang dagu dengan manis. Ia kerap tersenyum kala ada yang kembali menawarkan. Ia menghela napas lelah, hatinya masih terpaksa untuk hadir di tempat ini.
"Btw, gimana kabar si Kahvi?" tanya Meta tiba-tiba.
"Udah mau curhat, belum?"
Rara menggeleng. Jangankan berbagi kisah, permintaan pertemanan di facebook saja tidak di-ACC. Laki-laki itu sungguh misterius dan menggugah selera.
Ia mengingat-ingat. Setiap detail gerak-gerik Kahvi yang ia pantau selama di sekolah. Rara termenung beberapa menit guna memperjelas semuanya.
"Sejauh yang gue lihat, anaknya tertutup banget. Dari kelas sampai kantin, dia cuma baca buku. Gak ngobrol sama siapa-siapa, gak niat nyari temen. Anehlah pokoknya. Dan juga ...." Rara menjeda kalimatnya.
"Apa?" kesal Lila tak sabar.
Rara menelan ludah. Wajah dingin laki-laki itu melintas tanpa permisi membuatnya berdebar tak karuan. Tatapan yang beberapa kali ia rekam itu perlahan menghipnotis. Rara mulai ragu, tetapi juga penasaran.
"Dia gak tertarik sama gue."
||
Laki-laki itu meregangkan kedua tangan. Ia memijat lengannya bergantian dengan mata tertutup. Netranya lekas terbuka kala rasa nyeri merambat dari punggung tangan hingga ketiak.
Kahvi berkedip heran. Ia lekas mendongak, mengikuti arah selang infus yang digantung di sebelah kirinya. Setelah mengedarkan pandangan, ia pun mengembuskan napas panjang. Ia telah berada di ruang rawat.
"Udah bangun?"
Anak berwajah pucat itu menoleh ke sumber suara. Ia tersenyum pada Nirma yang muncul dari ambang pintu. Ibu tirinya itu menenteng tas berukuran sedang dan juga termos kecil.
"Kamu demam dari semalam. Tadi Ayah yang bawa kamu ke sini."
"Ayah--"
"Ada keperluan dadakan sama pelanggan. Paling bentar lagi ke sini."
Kahvi mengangguk canggung. Ia tak pernah nyaman bila duduk berdua hanya dengan Nirma seperti ini. Terlebih saat sakit, ia merasa seperti ada budi yang harus ia bayar di lain hari.
"Ck, kamu kok bisa sakit lagi sih, Vi? Banyak pikiran? Baru juga masuk sekolah baru. Kenapa? Ada masalah?"
"Eng-gak kok, Tan."
Laki-laki itu merasa risi kala tangan mulus Nirma mengusap kepalanya. Telapak tangannya mulai berkeringat diiringi getaran kecil yang muncul. Kahvi menelan ludah dan menggeleng pelan. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Tenang, tenang, lirihnya.
Memang bukan kali pertama Kahvi berakhir di rumah sakit. Malah entah telah ke berapa kali. Laki-laki itu bisa menghabiskan uang sebanyak tiga kali dalam satu bulan. Kondisi fisik dan batinnya kompak bermasalah.
"Jaga kesehatan baik-baik. Ayah tentu gak senang kalau nilaimu merosot lagi. Jauh-jauh kita pindah ke sini bukan untuk melihatmu seperti ini, Nak."
Kahvi menyembunyikan kekesalannya dengan senyum yang dipaksakan. "Makasih, Tan. Doanya saja supaya cepat sembuh."
"Doa-doa ini bakal percuma kalau kamu gak ada usaha, Vi."
Anak berzodiak virgo itu tak lagi menyanggah. Lelah berurusan dengan orang yang terlalu banyak memakan asam garam kehidupan. Statusnya sebagai anak tak akan pernah menang bila berhubungan dengan suatu pengalaman.
Cklek!
"Eh, udah bangun." Bayu--sang ayah--menghampiri putranya. "Enakan, Vi?"
"Iya, Yah."
Kahvi dan Nirma berurutan mencium tangan Bayu. Laki-laki paruh baya itu menaruh camilan favorit putranya di atas nakas dan menarik kursi. Ia memilih duduk di kanan ranjang Kahvi.
Ia mengusap rambut sang anak dengan lembut. "Alhamdulillah. Kata dokter, kalau udah enakan nanti sore bisa pulang."
"Nanti sore?"
"Iya, dan besok bisa sekolah. Gak harus absen. Gimana? Kuat, gak?"
Kahvi tersenyum tipis. "Kuat, Yah."
Sepi, tidur yuk, Vi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top