19: Ruang Anggrek

Di mana pun ia berada, langit-langit kamar tetap menjadi objek menarik 'tuk diselami. Hamparan putih yang dihiasi lampu gantung itu tampak terawat--bebas dari sarang dan debu. Maklum, tempat ini menomorsatukan kebersihan dan kenyamanan pasien.

Tiga puluh detik sekali Kahvi berkedip. Meski masih pucat, ia telah melepas kanul hidung yang sempat membantunya dalam bernapas. Jarum infus pun masih menancap di pergelangan tangan kirinya. Anak yang melepas kacamatanya itu belum bisa berkutik.

"Jangan diulangi lagi, Vi. Kamu harus ingat, jangan ...."

Kelelahan. Kahvi menelan ludah. Sejak kecil, peringatan itu telah menancap di alam pikirnya. Bahkan sudah menjadi peraturan utama yang tidak boleh ia langgar. Namun, apalah arti risiko bila tak diambil? Sesekali keluar jalur tidaklah salah--baginya yang telah diracuni.

"Itu gak baik buat--"

"Iya, Yah."

Kahvi spontan menyela lalu mendengkus kesal. Hatinya sakit, begitu pula jantungnya. Raganya lemah, begitu pula jiwanya. Ia hanya bisa mengembuskan napas panjang. Detik ini bagai deja vu, padahal memang sesering itulah ia berada di posisi yang sama.

"Iya-iya saja dari kemarin. Tapi lagi-lagi--"

"Sudahlah, Mas. Kalau Mas keberatan buat jaga Kahvi, aku bi--"

"Apa? Jangan memanfaatkan keadaan. Kamu gak lebih baik dariku, Ndin."

Kahvi menarik selimutnya hingga menutupi wajah. Ia lelah mendengar, ia letih melihat. Berpisah pun tak dapat mengakhiri pertikaian keduanya. Di mana dan kapan saja, Kahvi tetap disuguhi nada dan cek-cok yang serupa. Ia benar-benar bosan.

"Vi!"

Bayu memukul betis Kahvi pelan dan menarik-narik selimut putranya. Dua orang dewasa yang berdiri di samping ranjang itu lekas saling pandang dan berniat duduk. Satu di kasur, satunya lagi di kursi sebelah nakas.

Andin mengikuti aksi mantan suaminya dengan mengusap lengan Kahvi. "Nak, dibuka ya. Nanti sesek, loh."

Kahvi menggeleng di balik selimut. Pergerakan kepalanya ke kiri dan kanan membuat orang tuanya menyimpulkan demikian. Bayu pun beralih memijat kaki kiri Kahvi yang notabene lebih dekat dengannya.

"Kahvi pasti tahu, kamu adalah harapan Ayah … dan Ibu juga." Bayu mulai berpidato.

"Gak ada orang tua yang baik-baik saja kalau anaknya sakit, Vi." Andin turut menambahkan. Ia meraih tangan putranya dan menggenggam erat, mengecup lembut lalu mengusap-usapnya.

"Meski Ayah dan Ibu sudah berpisah, kamu tetap anak kami satu-satunya."

Serpihan kaca kembali hadir dalam binar netra Kahvi. Anak itu menggigit bibir bawahnya tanpa sadar. Tangan kanan nan kosong ia manfaatkan 'tuk mencengkeram kasur. Kuat, kuat sekali ia meluapkan itu semua, meski masih dalam persembunyian.

"Cepat sehat, anak Ayah kuat. Kan mau jadi juara umum. Iya 'kan?"

Pada intinya memang itu dan hanya itu yang kalian inginkan.

||

"Cap cip cup kembang kuncup, pilih mana yang mau di … cup!"

Rara memutar bola matanya malas. Semakin luas sebuah gedung, semakin ia membencinya. Terlebih bila banyak pertigaan seperti ini. Lorong yang ramai lalu lalang orang membuat nyalinya menciut. Bukannya dimudahkan, ia malah takut sendiri.

Singgah di IGD sebanyak dua kali adalah pencapaian terbaiknya. Sejak kecil, ia paling anti menginjakkan kaki di tempat ini. Bau obat, suara sirene dan brankar, serta derap petugas medis yang berlarian 'kan selalu menjadi momok terbesarnya. Sekujur tubuh pun merinding hingga ia memeluk dirinya sendiri.

"Hih! Sebel!" dengkusnya kesekian kali.

Keputusan Rara dalam menolak tawaran Meta dan Sinta yang ingin menemaninya sangatlah salah. Ia berdecak penuh penyesalan. Sudah lima menit ia berdiri di persimpangan sambil memegang tali ransel. Harus ke manakah ia sekarang?

Ruang rawat anggrek nomor 12 di daerah VIP, Rara masih menghafalnya. Namun, kakinya bingung harus melangkah ke kiri atau kanan. Tidak ada papan petunjuk jalan yang dapat menuntunnya.

"Di mana ya?" kesal Rara sambil menggaruk kepala. Rambut keritingnya kini dikucir rapi.

"Mau ke mana, Dek?"

Gadis yang pundaknya disentuh orang tak dikenal itu tersentak. Ia lekas berbalik dan mengusap dada. Matanya merem melek kala tubuh mundur beberapa langkah.

"Maaf, maaf. Maaf sudah mengagetkan."

Laki-laki paruh baya berpakaian batik itu terus meminta maaf sambil menyatukan kedua tangan. Senyumnya mengembang berkat aksi konyol Rara saat terkejut. Ia menggeleng lalu menyentuh pundak gadis itu, mencoba meraih kepercayaan.

"Saya Dono, salah satu wali pasien di sini. Adek kesasar?" tanyanya.

"I-iya, Pak. Ma-mau ke ruang anggrek."

"Oh, ruang anggrek," Laki-laki berambut hitam pekat itu berbalik dan menunjuk papan yang ada di atas, "itu … setelah ini kamu ke kiri. Kalau belum ketemu, pasti ada petunjuk lagi."

Rara menepuk jidat. Benda yang ia cari di sepanjang jalan ternyata bertengger di atas. Salah sendiri ia terus menunduk seraya memainkan ponsel.

"Makasih ya, Pak. Terima kasih sekali."

Gadis yang masih berseragam lengkap itu melaju begitu saja. Ia bergegas sebelum hari semakin gelap. Azan asar yang telah berbunyi menunjukkan waktunya tak lagi banyak. Setelah magrib Rara harus berangkat les dan tentu ia perlu berganti baju.

"Anggrek, anggrek, anggrek," ucapnya berulang kali sambil menyusuri papan ruangan. Kali ini ia telah belajar dari kesalahan.

"Ini dia … nomor 12."

Rona Rara kembali bernyawa saat menemukan tempat yang ia tuju. Namun, bukannya mengetuk pintu, gadis yang mengernyitkan dahi itu malah mundur dua langkah. Mendadak rasa ragu menyelimuti benak dan membuatnya berdebar.

Perlahan, kaki ramping nan jenjang itu kembali mendekat. Rara menelan ludah saat jaraknya dengan kamar rawat Kahvi semakin dekat. Ia melongok mumpung pintu tersebut tengah setengah terbuka.

"Dia OK," gumamnya.

Pucat itu tidaklah asing. Sama seperti hari-hari biasanya. Dia bahkan duduk bersandar pada tembok sambil mendengarkan musik. Rara menduganya lewat headset yang Kahvi pakai.

Anak laki-laki itu memandang sisi yang lain. Dua suster yang menangani tak diindahkan sama sekali. Ekspresinya pun biasa saja saat sebuah jarum menusuk punggung tangan kiri. Kahvi tak mengernyit, pun tak mengaduh. Ia benar-benar tenggelam dalam lamunannya sendiri.

Hangat yang mendekap hati Rara kembali diterpa hawa yang berbanding terbalik. Teduh bola matanya berubah sendu. Khawatir yang semula menguasai menjelma menjadi keprihatinan. Selain 'kenapa', kini 'apa' juga masuk ke daftar pertanyaannya.

"Saya tidak akan memohon kamu untuk menjauhi Kahvi. Hanya saja, tolong berhenti membuatnya berada di dalam bahaya seperti ini dan tempo hari."

Rara menggeleng kuat. Kalimat terakhir dari Bayu kembali berlarian dalam memori. Benar saja, bukan waktunya ia di sini. Tidak seharusnya ia sepercaya diri itu untuk menampakkan diri. Keberadaan Kahvi di dalam sana adalah hasil kebodohan dan ketidaktahuannya.

Gadis itu menunduk. Ia kembali menggenggam tali ransel dan beranjak dari tempat yang 'tlah susah payah ia cari. Namun, baru beberapa langkah berjalan, seseorang yang entah siapa menabrak bahunya.

"Maaf, saya gak sengaja."

Seorang suster membungkukkan badan lalu mengambil botol-botol obat yang jatuh dari nampan. Rara pun turut berjongkok dan membantu wanita tersebut.

"Gak apa-apa kok, Sus. Saya juga salah," ucap Rara mengakui.

"Terima kasih ya, Mbak. Sekali lagi saya mohon maaf."

Rara hanya tersenyum dan mengangguk.

"Temannya Kahvi? Gak masuk dulu?" tebak suster itu sebelum beranjak.

"Hem?" Rara memundurkan badan dan menggeleng cepat, "Eng-enggak, enggak."

"Enggak apa, Ra?"

Hai, kurang 5 bab lagi 😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top