18: Larangan

Gadis itu meringkuk memeluk lutut. Dingin yang dibawa semilir angin tak henti menghajar kulit. Ia telah basah kuyup. Namun, sehelai baju pun enggan ditanggalkan.

Rara menggigit dua jari kirinya dengan kesadaran tinggi, meski kedua netra yang menatap lantai penuh kekosongan. Giginya bergeretak dan tubuh yang belum kering itu bergeming. Air matanya kembali menetes tanpa permisi. Ia pun mengusap sambil mengelap ingus.

Gadis yang berjongkok di samping pintu IGD itu mendongak. Lagi-lagi suara sirene ambulan dan brankar pasien mengusik perenungan. Hal itu mengingatkan Rara pada kejadian lima belas menit yang lalu. Saat hujan memeluk mereka hingga tawa merenggut daya.

"Ayo, cepat sini!"

Gemas sebab tidak segera disusul, Rara menarik tangan anak baru itu 'tuk turut menari di bawah hujan. Geraknya yang terlalu tiba-tiba membuat Kahvi hanya melempar tasnya dan mengikuti permainan tersebut. Ia tak kuasa menolak dan ia pun tak ingin menyia-nyiakan ajakan Rara.

"Yeay!!"

Rara berputar-putar sambil menengadah. Ia menantang langit untuk menambah kapasitas. Ia tak ragu 'tuk merentangkan tangan dan membiarkan setiap titiknya menghantam tubuh. Senyumnya mengembang dengan mata tertutup. Ikal rambutnya kian menjadi.

Kahvi menatap tangan kanannya lekat. Rara baru saja melepasnya lalu berseru tanpa henti. Arah pandangnya beralih pada sosok yang entah telah berapa kali menghujaninya dengan kata 'mengapa'. Sudut bibirnya ikut terangkat saat gadis itu menampakkan giginya.

"Hiii," ucap Rara mempersilakan hujan masuk ke mulutnya.

Kahvi terkikik. Hanya konyol yang dapat ia ungkapkan untuk mendeskripsikan sifat Rara. Iris cokelat yang kini menatapnya itu tetap berbinar, meski hujan kian deras dan mendung menutup mentari.

Gadis itu berlari menghampiri Kahvi dan kembali meraih tangan yang semula ia lepas. "Ikut gue!"

"Eh--"

"Aaa!!"

Rara mendongak dan berteriak. Matanya terpejam dan genggamannya semakin erat. Tangan kanannya berayun agar Kahvi mengikuti apa yang ia lakukan.

"Ayo," ajak Rara.

"Hah?"

"Ayo teriak. Aaa!!!"

Kahvi belum berkutik, sedangkan Rara terus mengulang teriakan yang sama. Gadis itu bahkan mengentak-entakkan kaki kirinya tanpa sadar. Pipi tembamnya membentuk bulatan imut saat ia tersenyum.

Rara selalu tersenyum setelah berseru sekencang itu.

Lagi-lagi Rara terkikik. Alis Kahvi pun bertaut tanpa menurunkan kadar senyumnya. Tawa gadis itu menular hingga ia ikut bersemi. Kini, anak berbibir pucat itu mengikuti arus dengan memasuki dunia Rara.

"Aaa!!" teriak Kahvi sambil menengadah, persis seperti yang dilakukan kawan sebangkunya. Ia juga memejamkan mata dan mengeratkan genggaman.

"Aaa!!!" serunya lagi, dan lebih lantang dari sebelumnya.

Rara membuka mata dan menoleh. Hatinya menghangat, walau hawa yang dibawa hujan sangat tidak bersahabat. Napas dan deru jantungnya kian lancar, seolah batu yang menghambat perjalanannya telah hancur dan mengalir.

Senyum ini bukan yang pertama kali, tetapi aura yang ditawarkan sungguh berbeda. Rara bisa merasakan ketulusan, puas dan lega di waktu yang sama, juga syukur yang merambat lewat sela-sela jari.

Gadis itu kembali ke aksinya semula, menantang langit dan berteriak, "Aaa! Aaa!!"

"Haha … gue suka. Aaa!!"

Berhasil, berhasil, hanya itu yang terngiang dalam benak. Suara Kahvi terus meloloskan diri dan Rara bangga akan hal itu. Ia tak henti tersenyum meski hujan kian deras, buku-buku tangannya memutih, dan jari-jari turut mengeriput.

"A … a--"

Rara tertegun. Masih terpejam, ia terus mencari tangan Kahvi yang terlepas darinya. Namun, hanya angin bercampur air yang menyambut. Ia pun membuka mata dan menoleh.

"Kahvi!"

Luruh, betapa terkejutnya Rara saat mendapati lelaki di sampingnya itu terbaring kaku dan juga dingin. Binar yang semula terpancar lantas sirna, berubah kilat yang merusak suasana. Biru yang muncul di tengah pucatnya bibir Kahvi pun semakin membuat Rara panik.

Lo harus baik-baik saja demi lo sendiri.

"Kamu!!"

Rara terkesiap. Panggilan keras dan tamparan dari sosok yang berdiri di depannya itu mengusir lamunannya. Ia lekas mengusap wajah dan berdiri sejajar.

Siapa sangka, ia kembali bertemu dengan wanita yang sama. Tempatnya pun tak berubah, sama-sama IGD walau pada rumah sakit yang berbeda. Kepala yang sempat terangkat itu kembali menunduk. Rara tidak sanggup dan tidak berani 'tuk menatap netra ibu Kahvi.

"Andin!"

Laki-laki yang berdiri di belakang Andin meraih tangan mantan istrinya dan membawa wanita itu untuk mundur. Ia menatap sinis dan memberi peringatan lewat kalimat tanpa suara, sebelum mendekati Rara dan memegang pundak gadis tersebut.

"Kamu gak pa-pa?"

Rara dengan tubuh nan bergetar berusaha untuk mengangguk, "Gak pa-pa, Om. Ma-maaf. Ta-tadi ...."

"Terima kasih sudah membawa Kahvi ke sini dan menghubungi kami," ucap Bayu setenang mungkin.

"Ma-makasih?" Rara terbata dalam ketidakpercayaan. Bukankah harusnya mereka ....

"Iya, Om sama Tante berterima kasih sekali, sekaligus minta tolong ...."

Rara menelan ludah. "A-apa, Om?"

"Cukup dua kali ini saja kamu membuat anak Om masuk IGD."

Ya, kalimat inilah yang Rara khawatirkan.

||

"Dia tuh kalau gue ajak jalan selalu alasan, Ra. Dari latihan band, basket, janji sama temen, ngantar ortu, nemenin belanja, dan lain-lain. Kesel deh pokoknya. Abis itu ...."

Gadis yang diajak bicara masih memainkan sedotan dari air minum kemasan. Matanya tertuju pada bangku yang kini diduduki oleh siswi kelas seberang. Belum juga masuk, ia sudah berkunjung membawa segudang masalah tentang calon gebetannya.

"Ra!"

"Hah?"

Sang empunya nama tersentak. Hampir saja gelas di tangannya jatuh membasahi rok dan lantai. Rara lekas mengusap dada dan meletakkan air minumnya di atas meja.

"Lo dengerin gue gak, sih?" kesal gadis berambut terang tersebut.

"Emm, anu … gimana?"

Gadis itu mendengkus lalu menggebrak meja. "Ih, resek!"

Ia pun berlalu cepat meninggalkan kelas XI IPA 1 tanpa solusi yang berarti. Rara hanya bisa mengembuskan napas panjang dan bersandar pada kursi. Matanya tak berkedip dan menatap langit-langit dengan serius.

"Kira-kira anak ini kenapa lagi?" ucap Meta pada Sinta yang tentu terdengar oleh Rara.

"Tau tuh! Cerita aja kagak," jawab Sinta setengah menyindir.

"Sekarang kita udah gak penting lagi kali, Sin."

"Bisa jadi."

Rara menghela napas lelah. Ia memejamkan mata sepuluh detik sebelum berbalik dan menatap kedua kawannya. Sontak Meta dan Sinta meraih buku pelajaran dan berlagak membacanya.

"Kalian kalau mau ngerumpi bisa gak sih jangan di depan gue?" kesal Rara.

"Em, kan kita di belakang lo, Ra," elak Sinta.

"Hih! Bukan itu maksud gue!"

"Ah!" Sinta lekas menutupi wajahnya saat gadis di depannya itu hendak memukul menggunakan buku paket.

"Ra!" Meta beranjak dan mengambil alih buku tersebut, "lo kenapa, sih? Kesambet?"

Pemegang rambut terkeriting se-SMA Bakti itu menurunkan tangannya. Ia kembali menghadap depan dan menenggelamkan wajah. Selang beberapa detik, Meta dan Sinta pun mendengar suara isakan yang seperti ditahan.

"Ra," panggil Meta lembut seraya mengusap punggung sahabatnya.

Tak berkutik, ia pun pindah ke bangku depan dan diikuti oleh Sinta. Meta duduk di tempat Kahvi, sedangkan Sinta berjongkok di samping Rara.

"Apa ini ada hubungannya sama absennya si Kahvi?" tebak Meta secara lembut.

Dua kawan itu beradu tatap. Bahu pun terangkat kala sosok di antara mereka tak segera menjawab. Sinta pun ikut menepuk pundak Rara dan mencoba menenangkan.

"Kalau emang iya, kita tetep di sini buat lo."

Mendengar kalimat itu, Rara menegakkan duduknya sembari mengusap pipi yang basah akan air mata. Ia meraih sapu tangan yang ada di laci dan membersihkan ingus. Meta dan Sinta hanya bergidik tanpa melepaskan tangan mereka pada punggung sahabatnya.

"He'eh." Rara membuka mulut. "Tentang Kahvi."

"Ada masalah apa?" heran Sinta. Setahunya, beberapa hari ini dua anak itu telah baik-baik saja.

Rara pun menggeleng, "Bukan … gak gitu."

"Terus?" Meta tidak mau kalah.

"Gue, Met … gue yang salah."

Atau lebih tepatnya, selalu salah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top