15: Masalah

Gadis yang menjangkah dan menginjak jejak milik sosok di depannya itu memegang tali ransel imut-imut. Rintik hujan yang berusaha membasahi rambut ikalnya lantas diabaikan. Ia hanya mengusap pelan lalu menarik ikat rambut.

Sebelumnya, Rara hampir terbunuh oleh sunyi berselimut bosan. Laptop dan ponselnya kompak kehabisan baterai dan tidak ada stopkontak yang bisa dipakai. Pintu dan jendela tata usaha pun tertutup rapat. Syukurlah, Kahvi keluar ruangan tepat saat langit berubah warna.

Tanpa basa-basi, pemilik tas bermotif floral itu membuntuti kutu buku yang mendekam di sekretariat selama dua jam. Ia terus menjaga jarak karena saat mendekat, Kahvi kian mempercepat langkah. Alhasil Rara memilih 'tuk berhenti sesaat kala keduanya hampir bersinggungan.

"Lo pulang sendiri atau dijemput?" tanya Rara setengah berteriak.

"Dijemput."

"Apa?" seru Rara sebab suara Kahvi bak ditelan angin. Lirih lalu hilang sebelum ia menerkanya.

"Jemput."

"Ooh, pakai apa? Motor atau mobil?" tanyanya lagi setelah berhasil menangkap jawaban yang dilontarkan.

"Mobil."

"Mo--apa?"

Seketika Kahvi berhenti dan mengentak tanah coran, meski gerbang sekolah telah di hadapan. Ia mendengkus lalu berbalik menatap gadis yang tengah terkesiap. Napasnya berderu sebab ubun-ubunnya dididihkan berkali-kali.

Rara bergeming sekian detik sebelum lutut kanannya menekuk dan kedua tangan bertaut di depan perut. Pandangannya tertuju pada tiang bendera, berusaha menghindari pekat iris yang menyorot tajam ke arahnya. Ia membenci kekikukan ini.

Binar yang membangkitkan bulu kuduk itu lekas meredup diiringi dengan gelengan pasrah. "Mobil," jawab Kahvi kemudian.

Darah Rara kembali mengalir. Senyumnya merekah dan kaki pun melangkah. Kini, ia mempersempit jarak di antara keduanya agar tidak perlu memekik.

"Boleh nebeng, gak?" Rara tak berhenti bertanya.

Kahvi menggeleng, "Enggak."

Jawaban superpadat itu cukup 'tuk membuat dahi Rara berkerut kesal. "Kos gue deket kok," kilahnya.

"Kalau deket ya jalan kaki aja."

Hah ....

Rara mengembuskan napas panjang. Tawar-menawar dengan Kahvi jauh lebih sulit dari Mbak Ningsih, penjual sayur yang kerap berkeliaran di depan indekos. Ia pun bersungut-sungut dan berjalan cepat hingga menyundul punggung lelaki di depannya.

"Aw!" rintih Kahvi sambil mengusap bagian yang tidak bisa ia jangkau. "Apa sih, Ra?"

"Ikut!"

"Ke mana?"

"Pulang. Ayolah, Vi. Kita searah, kok. Ya … ya, ya?"

Rara bergerak ke kiri dan kanan dengan tangan tak melepas tali ransel. Matanya berkedip manja bersama barisan gigi berkawat yang membentuk sebuah senyuman. Kakinya berjinjit ria guna memperkecil perbedaan tinggi mereka.

"Tau dari mana kalau--"

Suara klakson mobil lekas menginterupsi kalimat Kahvi. Kendaraan yang baru saja tiba itu sangat tidak asing. Anak yang menggantung pertanyaannya itu langsung meninggalkan Rara tanpa permisi.

"Maaf, Yah, tadi--"

"Sore, Om." Gadis tiada dosa itu memamerkan senyum kala menatap Kahvi dan ayahnya secara bergantian.

Kahvi berbalik dan mengepalkan tangan. Ingin rasanya ia menelan Rara bulat-bulat dan memuntahkannya dalam bentuk yang sama. Kesal pun semakin memuncak saat sebuah kedipan mata menjawab isyaratnya.

Melihat hal itu, Bayu hanya mengangguk dan memanggil putranya, "Kahvi, ayo pulang."

Tanpa mengalihkan pandangan dari Rara, anak itu masuk dan duduk di kursi belakang. Sang ayah lekas menurunkan kaca mobil dan melaju begitu saja.

Tidak ada tawaran, tidak ada basa-basi, tidak ada pamit. Rara sukses ditelantarkan oleh dua laki-laki sekaligus. Kakinya melemas hingga melipat lutut. Semilir angin yang datang membawa dedaunan seakan menghina kesendiriannya.

"Malang bener dah nasib gue!"

Rara berjalan kaki ke indekosnya. Sesampainya pun, bayangan Kahvi dan laki-laki yang menjemputnya tak enyah dengan mudah dari benak Rara. Akhirnya, ia berinisiatif untuk mengirim pesan.

Dimarahin bokap, ya?

Sebungkus camilan telah dibabat habis. Rara spontan membuangnya ke bawah kasur lalu mengambil korban selanjutnya. Urusan membersihkan kamar akan ia pikir esok hari.

Setelah mandi dan keramas, hal pertama yang ia lakukan adalah menyalakan laptop dan membuka facebook. Bukan 'tuk membuat status, melainkan menanyakan keadaan teman sebangkunya. Kalau saja Rara punya nomor telepon anak itu, urusan mereka akan lebih mudah.

Cara ayah Kahvi dalam menatap sungguh penuh tanda tanya. Ada kesan benci yang mendalam, juga kecewa yang tak berbendung. Sikap yang Rara terima tentu bukan tanpa alasan. Hal itulah yang mengusik alam pikir gadis berpiama merah muda.

Enggak.

Rara menggeleng tak percaya. Ia masih ingat seberapa tinggi nada ayah Kahvi dalam memintanya 'tuk masuk mobil. Wajah yang begitu datar bak tiada kehangatan juga dapat ia rasakan.

Pasti lo dilarang pacaran.

Rara mulai menebak-nebak. Meski terdengar sangat acak, alasan ini sering ia temukan pada kasus kawan-kawannya. Berteman dengan lawan jenis selalu mengarah ke hal-hal yang lebih intim, dan mereka--para orang tua--terlalu panik akan hal itu.

Enggak.

Kahvi kembali dengan jawaban yang sama. Namun, lagi-lagi Rara mengernyit heran. Walaupun jauh di relungnya tengah memetik bunga, ia tetap menggeleng seraya menggaruk pelipis.

Lo diminta ngehindarin gue.

Enggak.

Kali ini balasan itu lebih cepat dari sebelumnya, meskipun yang tertulis bukanlah hal baru dan cukup memuakkan. Akan tetapi, mata gadis yang membacanya kian berbinar sebab si tikus memasuki perangkap. Rara memang belum menemukan akar permasalahannya, tetapi jalan yang sebelumnya tertutup telah terbuka.

Kalau gitu, lo gak perlu ngejauh.

Gue juga.

Hanya dibaca, Rara kembali mengetikkan sesuatu.

Lo bisa cerita ke gue, Vi.

Keliatan, kok. Lo lagi ada masalah sama keluarga, 'kan?

Apa itu alasan lo pindah sekolah?

Pesan Rara kembali berakhir tanpa balasan. Gadis itu pun mendengkus lalu keluar dari kolom percakapan. Matanya lekas terbelalak setelah mendapati sebuah status yang baru saja diunggah.

Kahvizar Putra

Lo cuma sekedar liat dan gak tau apa-apa. Berhenti seakan bisa menjawab segala hal.

Baru saja. Publik
Suka. Tanggapi. Komentar. Berita Lengkap. Simpan. Lainnya

||

Hari berganti. Bel istirahat siang telah berdentang. Tiga siswa XI IPA 1 yang kelaparan segera keluar ruangan tanpa menunggu Pak Imam terlebih dulu. Wali kelas yang baru menangani mereka selama setengah tahun itu hanya menggeleng pasrah.

"Yang mau istirahat langsung keluar gak apa-apa."

Mata penuh kaca yang terus menatap ponsel itu memejam sempurna. Setetes air yang turun ke pipi lekas diusap sebelum menyita perhatian. Kahvi pun beranjak dari duduknya dengan kepala menunduk dan tubuh membungkuk. Langkahnya begitu cepat hingga Rara tak dapat menangkapnya.

"Kenapa tuh?" tanya Meta seraya mendorong kursi Rara.

"Gak tau."

"Kalian berantem, ya? Kok tumben lo gak gangguin dia?" heran Sinta yang diikuti anggukan oleh Meta.

Rara menoleh ke ambang pintu. Ia menelan ludah sebelum berpamitan, "Gue gak gabung dulu, ya."

"Mau ke ma--"

Hanya lambaian tangan yang menyela sekaligus menjawab pertanyaan tersebut. Dengan cepat Rara menerjang kerumunan menuju tempat favorit Kahvi. Namun, kakinya berhenti di tengah lorong yang bercabang.

"Perpus atau taman?" bingungnya. Kaki terus menghentak, sedangkan gigi menggigit kuku hingga tak beraturan. "Taman dulu deh," putus Rara kemudian.

Gadis itu terus tersenyum dan sesekali membungkuk kala bertemu dengan kakak kelas dan para guru. Meski memiliki tujuan, matanya tetap mengedar ke kiri dan kanan. Barangkali sosok yang dicari tengah tersangkut di suatu tempat.

Hanya saja, pilihan utamanya tetaplah sang juara. Tepat saat lututnya meronta-ronta, Rara berhasil menemukan Kahvi di hamparan rumput hijau belakang sekolah. Anak itu tengah berbaring sambil melempar batu-batu kecil.

Rara pun mendekat 'tuk menyaksikan bagaimana batu yang dilempar ke atas itu jatuh mengenai wajah Kahvi. Tidak tega, ia menangkap batu tersebut dengan sempurna.

Sadar akan kehadiran orang lain, Kahvi mengambil kacamata yang ada di saku baju dan mengenakannya. Belum sampai ia menatap, gadis berambut keriting itu beralih duduk di sampingnya. Ia segera menoleh tanpa berniat bangkit. Tidak lain dan tidak bukan pasti Rara, batinnya berbicara.

"Tumben lo gak nanya kenapa gue di sini," ucap Rara membuka pembahasan.

"Capek nanya hal yang sama."

"Sama."

Kahvi melirik, teduh pada binar gadis itu menyayat relungnya. Ia segera menggeleng dan kembali menatap langit.

"Gue juga capek nanya hal yang sama ke lo. Satu sama."

Rara tersenyum tipis, meski tidak ada yang melihatnya. Ia segera berbaring dan menjadikan tangan kanannya sebagai bantal. Sontak hal itu membuat Kahvi bergidik hingga bulu kuduknya berdiri. Jarak mereka hanya sejengkal.

"Lo tau gak ...."

Kahvi menelan ludah. Refleks, ia menoleh dan semakin terbelalak sebab Rara juga melakukan hal yang sama. Kini kedua netra mereka beradu dalam kalimat yang terjeda.

"Manusia itu butuh TPM--tempat pembuangan masalah. Mereka curhat bukan karena mencari solusi, tapi untuk didengarkan."

Aneh, Kahvi tak berkutik dan tenggelam dalam lembutnya suara Rara. Tubuhnya terkunci hingga mampu mendengarkan setiap huruf yang dirangkai. Untaian kalimat itu masuk dan menohok hati.

"Lo bisa cerita apa dan kapan saja … karena gue rela, Vi. Gue rela jadi TPM lo."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top